Sentuhan Rohani

Menjunjung Al-Quran di atas Sunnah dan Hadis

Kemuliaan Quran Syarif hampir hilang di kalangan umat Islam. Orang-orang Syi’ah lebih mengutamakan perkataan para imam mereka. Para pengikut Ahlul Hadits menjadikan hadis sebagai hakim terhadap Quran Majid.

Maulwi Abdullah Chakkaralwi bersikap tafrith (terlalu merendahkan) terhadap hadis. Mereka menganggap hadis itu tidak ada artinya. Sebaliknya, Maulwi Muhammad Hussain Batalwi bersikap ifrath (terlalu melebih-lebihkan atau mengagungkan) terhadap hadis, menganggap bahwa tanpa hadis Quran tidak ada artinya.

Menurut kami, ada tiga hal yang layak diamalkan, yaitu: Kitab Allah, sunnah yakni perbuatan Nabi Muhammad saw., dan hadis (sabda Nabi Muhammad saw.). Para penentang kami melakukan kesalahan, yakni menggabungkan sunnah dengan hadis. Kepercayaan kami tentang hadis, selama hadis itu jelas tidak bertentangan dengan Quran Syarif dan sunnah Rasul Muhammad saw., ia seharusnya tidak ditinggalkan walaupun menurut menurut ahli hadis ia termasuk hadis yang paling lemah (dhaif).

Orang yang menjadikan hadis sebagai hakim terhadap Quran Syarif, berarti dia benar-benar tidak menghormati Quran Syarif.

Seorang perempuan tua menyampaikan hadis di hadapan Umar bin Khattab r.a. Sehubungan dengan apa yang disampaikan perempuan tua itu, kemudian Umar r.a. mengatakan bahwa beliau tidak dapat meninggalkan Quran Syarif. Begitu pula, ada seseorang yang mengatakan di hadapan Aisyah r.a. bahwa dalam hadis disebutkan, bahwa meratapi jenazah itu berarti  menimpakan kesulitan atau beban pada almarhum/almarhumah. Menanggapi hal itu Aisyah r.a. mengatakan bahwa dalam Quran Syarif terdapat firman Allah:

“Tidak ada orang yang memikul beban, akan memikul beban orang lain.” (Bani Israil, 17:15).

Jadi Ahlul Hadits yang menjadikan hadis sebagai hakim terhadap Quran Syarif telah melakukan kesalahan besar. Apabila karena kelalaian atau ketidakcermatan mereka, mereka tidak menemukan suatu perkara di dalam Quran Syarif, seharusnya mereka mencari dalam  sunnah Rasul Muhammad saw.

Kami terpanggil untuk menunjukkan jalan yang lurus, jalan yang sebenarnya, pada masa umat Islam terlibat dalam sikap ifrath dan tafrith. Seperti halnya kedatangan Islam di dunia (melalui Nabi Muhammad saw.) pada waktu kaum Yahudi dan Nasrani terlibat dalam sikap ifrath dan tafrith.

Apa yang ditunjukkan dalam perbuatan Nabi Muhammad saw. secara terus menerus itu benar sepenuhnya. Selain hadis, tarikh (sejarah) Nabi Muhammad saw. hendaklah juga dihargai. Peringkat hadis di bawah sunnah Rasulullah Muhammad saw., karena hadis merupakan cermin sunnah. Sunnah itu sesuatu yang meyakinkan, sedangkan hadis itu sesuatu bersifat asumsi atau anggapan. Sesuatu yang bersifat asumsi tidak mungkin menghakimi sesuatu yang meyakinkan, karena dalam asumsi bisa dikhawatirkan adanya kesalahan atau kebohongan.

(Disarikan dari Malfuzat Ahmadiyyah, jld. 6, hlm. 402-403).

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »