Sentuhan Rohani

Mengapa Syariat sebelum Al-Quran di-Mansukh?

Hukum atau syariat dari Taurat dan Injil bersifat sementara, sesuai dengan kebutuhan zamannya. Sementara, syariat Al-Quran yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad saw. adalah syariat yang permanen dan abadi. Karenanya, hukum atau undang-undang yang terdapat di dalamnya benar-benar lengkap dan sempurna.

Tetapi andaikata Al-Quran tak diturunkan pun, Taurat dan Injil tetaplah perlu di-nasakh (dihapus), karena syariatnya tidak bersifat permanen dan abadi.

Beberapa orang yang tak memahaminya berkeberatan dan melontarkan kritikan, mengapa Allah Ta’ala me-mansukh (menghapus) Kitab-kitab yang Ia turunkan sebelumnya? Apakah Dia tak memiliki pengetahuan yang sempurna, sehingga Ia tak menurunkan syariat yang sempurna, permanen dan abadi sejak awal?

Sungguh, kritikan ini muncul semata karena ketidaktahuan mereka akan perkara ini. Penghapusan ini tidak berarti karena tiadanya ilmu (pengetahuan) dari Allah.

Pakaian untuk anak usia balita, tentu tak bisa dipakai oleh remaja usia belasan tahun, atau bahkan orang dewasa. Secara logika, kita semua tentu setuju bahwa seorang pria dewasa tentu tak bisa menyandang pakaian seorang anak kecil. Kita pasti tertawa jika melihat ada orang tua yang mengenakan pakaian anak kecil.

Contoh kasus ini menjawab pertanyaan, bahwa penghapusan syariat yang telah lalu itu tidak disebabkan karena kekurangsempurnaan ilmu Tuhan.

Kebutuhan kita akan apa yang diperlukan oleh tubuh kita akan berubah setiap waktu, sesuai dengan perubahan tubuh itu sendiri. Karena itu, penghapusan syariat yang dilakukan Tuhan sesuai dengan perubahan dan perkembangan manusia, itu bukan karena ketiadaan pengetahuan, tetapi justru didasarkan pada kebijaksanaan dan ilmuNya.

Sehingga, kritik yang muncul atas dihapuskannya syariat yang sudah-sudah itu dipastikan hanyalah berdasarkan ketidakpahaman semata.

Sebagaimana kita tak bisa memberikan roti atau daging ke dalam mulut bayi yang baru lahir, begitu pula perkara syariat yang diperoleh manusia yang sudah lebih sempurna tidak bisa diberikan kepada manusia yang tahapannya masih belum sempurna.

Ketika pasien susah BAB, maka dokter tentu akan memberikan obat pencuci perut (pencahar) kepadanya. Tetapi di lain waktu, ketika si pasien itu menderita diare, tentu sang dokter akan memberikan obat yang berbeda. Tidaklah mungkin satu resep obat digunakan untuk semua keadaan.

Al-Quran adalah Kitab kebijaksanaan, syariat yang sudah permanen sebagai khazanah dari semua ajaran Allah. Mukjizat atau keajaiban Al-Quran yang pertama adalah isi ajarannya yang sangat tinggi. Mukjizat kedua adalah nubuatan (ramalan) di dalamnya yang tergenapi. Kita bisa baca dalam surat Al-Fatihah, At-Tahrim dan An-Nur misalnya, yang mengandung beberapa nubuatan yang sangat berharga.

Kehidupan Rasulullah Muhammad saw. selama di Mekah penuh dengan nubuatan. Jika orang yang bertakwa dan bijaksana merenungkan, maka akan jelas bahwa betapa banyak kabar ghaib dari Allah Ta’ala yang diberitahukan kepada Nabi Muhammad saw. di kala itu.

Pada saat hampir seluruh umat memusuhi beliau, dan hampir tidak ada simpatisan dan kawan, beliau menerima wahyu, sayuhzamul jam’u wayuwalluunad-dubura, “Pasukan gabungan akan segera dikalahkan dengan lari tunggang-langgang dan berbalik punggung.” (Al-Qamar, 54:45).

Apabila orang melihat keadaan Rasulullah saw. secara lahiriah pada kala itu di Mekah, mereka akan berasumsi bahwa beliau akan mengalami kegagalan dan kehancuran. Tetapi, beliau malah menerima nubuat atau kabar gaib dari Allah tentang kemenangan yang akan beliau peroleh, dan kehinaan serta keputusasaan yang akan dialami oleh musuh-musuhnya. Dan di kemudian hari, nubuat di dalam ayat itu tergenapi.

 

Sentuhan Rohani oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad | Dinukil dari Kitab Malfuzat Ahmadiyyah, jld. 3a, hlm. 20-21.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »