Bulan Rabiul Awwal, sebagaimana kita sudah maklumi, adalah bulan di mana Nabi kita tercinta, Rasulullah Muhammad saw. lahir. Rasulullah lahir di Kota Mekah pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal, bertepatan dengan 20 April Tahun 571 Masehi, lebih kurang 53 tahun sebelum hijrah ke Kota Yatsrib, yang saat ini lebih populer dengan sebutan Kota Madinah.
Tetapi, kita tentu juga tahu, di hari, tanggal dan bulan yang sama, Rasulullah saw. wafat. Rasulullah wafat dalam usia 63 tahun di Kota Madinah. Beliau wafat sekitar 10 tahun sesudah hijrah, tepatnya pada 12 Rabiul Awwal Tahun 11 Hijriyah, atau pada 8 Juni 632 Masehi.
Lantas, mengapa hari-hari ini, umat Islam hanya merayakan momentum kelahiran Rasulullah saw., yang kita sebut sebagai “Maulid Nabi”, tetapi tidak merayakan momentum kewafatannya?
Mengapa kita tidak merayakan kewafatan Rasulullah saw., sebagaimana tradisi haul, yang dilaksanakan pada hari wafatnya para ulama atau pahlawan, misalnya?
Bapak Quraish Shihab, mufassir Qur’an kebanggaan Indonesia, dalam salah satu kajiannya, memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Beliau menerangkan bahwa umat Islam diperintahkan untuk bergembira dengan kelahiran Nabi, tetapi tidak dengan kewafatannya.
Mengapa bergembira? Setidaknya ada beberapa alasan dari jawaban itu. Pertama, tentulah Rasulullah saw berbeda atau bahkan tak tertandingi kemuliaan dan kesuciannya, baik oleh para para ulama, apalagi orang awam seperti kita.
Kedua, karena pada umumnya, kelahiran merupakan suatu hal yang menggembirakan, sementara kematian tidak menggembirakan, tetapi sebaliknya, menyedihkan.
Ketiga, ulama atau pahlawan dikenang pada hari wafatnya setelah terlihat jasa dan perjuangannya semasa hidupnya. Sementara Rasulullah saw., bahkan sebelum kelahirannya pun, sudah membawa banyak keberkahan bagi seluruh alam.
Alasan lain yang lebih istimewa adalah karena kelahiran Rasulullah saw. menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sebab, keterutusan Rasulullah saw. di dunia ini adalah rahmat bagi seluruh alam.
Allah Ta’ala berfirman, “Innaa arsalnaaka illaa rahmatan lil ‘aalamiin.” Sungguh, Allah mengutus engkau, Muhammad, sebagai wujud rahmat atau kasih Allah kepada semesta alam dengan segala isinya.
Jadi, kita diperintahkan bergembira atau bersuka cita di hari kelahiran Rasulullah Muhammad saw. semata-mata karena dengan lahirnya beliau Allah berkenan menumpah-ruahkan cinta kasihnya kepada kita sekalian, umat manusia, bahkan kepada seluruh makhluk di jagat raya ini.
Bahkan, menurut salah satu riwayat hadits, seorang Abdul Uzza, alias Abu Lahab, mendapat ampunan dan dispensasi di setiap hari lahir Rasulullah saw., karena ia turut bersuka cita pada saat Sang Nabi dilahirkan.
Padahal di dalam nash al-Qur’an, baca Surat Al-Lahab, paman Rasulullah saw. itu ditetapkan sebagai penghuni neraka, karena kezalimannya kepada Rasulullah saw.
Meskipun tentu, boleh jadi pada saat Rasulullah saw. lahir itu, Sang Paman bergembira bukan karena tahu Muhammad akan menjadi nabi dan menjadi rahmatan lil ‘alamin, melainkan semata karena mendapat keponakan baru.
Tetapi, karena kegembiraan Abu Lahab yang semacam itu saja, atas dasar riwayat hadits itu, ia mendapat ganjaran dari Allah SWT berupa “waktu istirahat” dari siksa api neraka.
Jadi, sekali lagi, perayaan atau peringatan Maulid Nabi, adalah wujud kegembiraan, kesukacitaan, kecintaan, sekaligus kesyukuran umat Islam atas kehadiran junjungannya yang mulia, Rasulullah Muhammad saw., yang menjadi sarana turunnya rahmat Allah kepada semesta alam, termasuk kita, manusia yang hidup di dalamnya.
Karena itu, peringatan maulid nabi, jika hendak diselenggarakan, baik secara seremonial maupun tidak, harus dilandasi dengan niatan, dengan maksud dan tujuan untuk memperoleh hikmat kebijaksanaan dari peringatan itu sendiri, yakni keharusan kita untuk meneladani Rasulullah saw., menjadi rahmat bagi semesta alam.
Rasulullah saw. adalah uswatun hasanah, contoh manusia sempurna yang yang patut kita teladani, supaya kita dapat menjalani hidup dengan selamat dan penuh rahmat.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Laqad kaana lakum fii rasuulillaahi uswatun hasanah, limankaana yarjullaahi wal yawmil akhir. Wadzakarallaaahu katsira.” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS: al-Ahdzab ayat 21)
Misi utama diutusnya Rasulullah SAW di muka bumi ini adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Sebagaimana beliau saw. sendiri bersabda, “Innama buistu li utammima makarimal akhlak.”Sesungguhnya Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak (HR Al-Baihaqi)
Praktik kehidupan Nabi, baik di Mekah ataupun Madinah, sebagaimana bisa kita baca dalam berbagai kitab sirah nabawiyah, memberi gambaran kepada kita bahwa peranan akhlak dalam kehidupan ini sangatlah penting dan utama.
Masyarakat dapat bersimpati, dan akhirnya menerima dan mengikuti kebenaran dan kebaikan, apabila para penyeru atau pendakwah kebenaran dan kebaikan itu, menampilkan akhlak atau moral yang baik dan benar pula.
Tidaklah mungkin orang akan percaya kepada kebaikan dan kebenaran yang disampaikan oleh orang yang tidak baik dan tidak benar.
Tidaklah mungkin orang akan bersimpati kepada orang yang selalu mengajak dan menyeru orang kepada kebenaran dan kebaikan, tetapi dia sendiri tidak baik dan tidak benar.
Kebenaran dan kebaikan hanya akan meresap cepat ke dalam hati sanubari siapa pun, dan diterima oleh banyak orang, apabila disampaikan dengan cara-cara yang baik, dengan cara-cara yang santun, dan dengan teladan yang baik.
Karena itu, sebagai umat Islam pengikut Rasulullah saw., sudah selayaknya kita menjadi orang yang baik, menjadi orang yang benar, yang berlandaskan pada nilai-nilai akhlakul karimah.
Dan jadilah pula seorang muslim yang senantiasa berdakwah, dalam arti mengajak serta orang lain menjadi baik dan benar, dengan cara-cara yang baik, dengan tutur kata dan sikap yang baik, dan dengan cara menampilkan teladan moral atau akhlak yang sebaik-baiknya, seperti yang dicontohkan oleh Nabi kita tercinta, Rasulullah Muhammad SAW.
Peringatan hari kelahiran atau maulid Nabi Muhammad saw., sudah seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan kecintaan kita kepada Rasulullah saw., sekaligus terus berusaha meneladani akhlak Rasulullah saw.
Dengan kita meneladani Rasulullah saw., mudah-mudahan, Allah mencintai kita, dan mengampuni dosa-dosa kita. Sebagaimana janji Allah dalam al-Qur’an, Inkuntum tuhibbuunallaaha, fattabi’uunii. Yuhbibkumullaahu wayaghfirlakum dzunuubakum. Walloohu ghofuurur-rohiim. Jika engkau mencintai Allah, maka ikutilah aku, Muhammad. Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Sungguh, Allah itu Yang Maha Pengampun Yang Maha Pengasih.[]
Comment here