“Sungguh pun masuk ke debat vergadering itu dengan bayaran, tetapi penuh gedong itu, dari depan sampai ke belakang. Kaum ibu pula tidak ketinggalan…” demikian verslag (laporan) perdebatan yang ditulis Commite Anti Ahmadiyah, Batavia Centrum, saat menceritakan sebuah perdebatan yang terjadi antara A. Hassan, tokoh Persis yang saat itu mewakili Komite Pembela Islam, dengan Tuan Abu Bakar Ayyub dan Maulana Rahmat Ali H.O.T yang mewakili Ahmadiyah Qadiani di Gedung Permufakatan milik tokoh Betawi, Mohammad Husni Thamrin, di Gang Kenari, Batavia pada tahun 1934.
Sebelum perdebatan, pamflet disebar di seantero Batavia dan sekitarnya. Karena akan dilangsungkan secara terbuka, apalagi menyangkut isu agama yang sangat hangat dan kontroversial, maka perdebatan tersebut ditunggu-tunggu banyak orang. Ormas dan lembaga-lembaga Islam siap datang, begitu juga dengan para wartawan dari berbagai media massa. Pemerintah Hindia Belanda pun memberikan perhatian terhadap perdebatan ini dengan mengirim wakilnya sebagai peninjau, juga mengirimkan aparat kepolisian untuk mengawal jalannya acara.
Di antara lembaga Islam yang hadir adalah Pendidikan Islam (Pendis) yang dipimpin oleh M. Ali Al-Hamidy, tokoh Islam Tanjung Priok. Ia mengerahkan murid-muridnya untuk hadir dalam acara debat itu. Dengan menaiki delman atau andong, Ali Al-Hamidy yang dikenal dekat dengan A. Hassan, bersama murid-muridnya berangkat berbondong-bondong menuju Gang Kenari, Batavia. Majalah Al-Muslimun yang terbit beberapa tahun kemudian menuliskan,”Armada delman “kaum muda” itu di parkir di halaman Gedung Permufakatan di Gang Kenari kepunyaan MH. Thamrin, pendekar kaum Betawi di Volksraad alias Dewan Rakyat Betawi…”
Perhelatan bertajuk Openbare Debat Vergadering (Pertemuan Debat Terbuka) antara Pembela Islam vs Ahmadiyah Qadian itu berlangsung selama tiga malam berturut-turut. Acara berlangsung pada 3-6 November 1934 (empat hari). Ribuan orang datang mengular sampai ke luar gedung. Inilah perdebatan terbesar sepanjang sejarah Indonesia, dan perdebatan terbesar umat Islam di negeri ini dalam melawan kelompok Ahmadiyah Qadiani. Anda bisa bayangkan, ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan sebuah perdebatan ilmiah. Sebuah peristiwa langka yang jarang terjadi di negeri ini, bahkan sampai hari ini.
Aparat kepolisian berjaga-jaga. Pers yang hadir siap siaga meliput jalannya peristiwa dan apa saja yang terjadi di arena. Surat kabar Pemandangan, Sing Po, Bintang Timoer, dan lain-lain turut mengirim wartawannya untuk meliput jalannya persidangan.Wakil pemerintah turut hadir. Begitu pula para pimpinan dan perwakilan volksraad (Dewan Rakyat). Bahkan, pemerintah Hindia Belanda mengirim Dr. G.F Pijper, Adviseur voor Inlandsche Zaken (Penasehat Urusan Dalam Negeri) untuk datang ke perdebatan tersebut. Di kemudian hari, Pijper begitu mengagumi ketajaman pemikiran A. Hassan dan mengoleksi berbagai karya tulisnya.
Debat pada tahun 1934 tentu sangat ditunggu-tunggu, sebab inilah perdebatan yang terakhir antara organisasi Pembela Islam dengan Ahmadiyah, setelah sebelumnya perdebatan yang sama berlangsung di Bandung pada 1932, dan juga di Batavia pada 1933, sebagaimana keterangan tertulis dari Comite Anti Ahmadiyah Batavia Centrum dan keterangan karcis masuk lokasi perdebatan.
Dalam Majalah Pembela Islam, pers milik Persatuan Islam (Persis) yang terbit di Bandung diinformasikan kepada para pembacanya terkait perdebatan itu,”Dengan ini kami beri tahoekan kepada semoe pembatja bahwa perdebatan yang kedoea akan diadakan di Batavia Centrum dalam boelan Sept. j.a d pada tgl 28, 29, 30—” Majalah itu melanjutkan,“Selain dari itoe, kami dari Pembela Islam ada menerima satoe soerat dari Ahmadijah Qadian bertanggal 20 Juli 1933, maksoednya menerangkan tanggal perdebatan jang terseboet dan memberi taoe, bahwa tanggal 6 Agoestoes mereka hendak datang ke Bandoeng beremboek dengan kami tentang punt-punt (poin-poin, pen) jang hendak dibicarakan.”Demikian pemberitahuan dari Pembela Islam tertanggal 25 Juli 1933.
Selain meminta pihak Ahmadiyah untuk tidak berkelit soal materi perdebatan, Pembela Islam dengan tegas menyatakan bahwa perdebatan kedua di Batavia itu haruslah membicarakan tentang Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yang diakui oleh Ahmadiyah Qadian. Karena inilah yang menjadi keyakinan Ahmadiyah dan pemicu keresahan di kalangan umat Islam. Pembela Islam juga meminta agar Ahmadiyah menentukan siapa voorzitter (ketua sidang) yang memimpin jalannya perdebatan dan siapa yang menjadi juri dalam acara tersebut. “Kalau sekiranya perdebatan nanti di openbare pake kartjis, harap toean-toean sediakan kartjis oentoek 500 orang dari pihak kami,” demikian permintaan Pembela Islam.
Perdebatan pertama antara Pembela Islam dengan Ahmadiyah pertama kali dilakukan di Bandung, di Gedung Societeit Oriningen, Naripanweg (Jalan Naripan) pada 14, 15, 16 April 1932. Dalam perdebatan di Bandung, ini A. Hassan didampingi oleh Mohammad Syafi’i, pimpinan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Perdebatan di Bandung dihadiri lebih dari seribu orang yang mengular sampai ke luar gedung yang berada di tepi jalan tersebut. Dari Jakarta, rombongan Ahmadiyah yang berangkat ke Bandung adalah S. Sumapradja, H. Abdullah, Taher St. Maharadjo, Th. Dengah, Sirati Kohongia, dan M Nadjib. Sedangkan dari kalangan Pembela Islam yang hadir kebanyakan adalah para aktivis yang tinggal di bumi Priangan dan wilayah di sekitar Jawa.
Hadir dalam acara tersebut beberapa perwakilan dari ormas-ormas Islam, seperti Persis Bandung, Moehammadiyah Garut, Muhammadiyah Pekalongan, PSII Bandung, Jong Islamietend Bandung dan Betawi, Pendidikan Islam Tanjung Priok, dan lain-lain. Sementara pers yang meliput jalannya perdebatan tersebut adalah Bintang Timoer (Milik komunis), Sinar Islam (Milik Ahmadiyah), Het Licht (Milik Jong Islamietend Bond), Pembela Islam (Milik Persatuan Islam), dan Pers Beurau Hindia Timoer.
Ada tiga hal penting yang menjadi materi perdebatan, dua diantaranya adalah soal kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan turunnya Isa Alaihissalam dan Imam Mahdi. Dalam perdebatan itu, A Hassan yang dikenal piawai dalam berdebat, mengemukakan sebuah ‘hadits’ yang dikutip dari kitab Mirza, yang berbunyi: “Di hari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meninggal, bumi berteriak. Katanya: “Ya Allah, apakah badanku ini akan Engkau kosongkan daripada diinjak oleh kaki-kaki nabi sampai hari kiamat?” Maka Allah berfirman kepada bumi itu: “Aku akan jadikan di atas badanmu (di atas muka bumi, red) manusia yang hatinya seperti nabi-nabi.”
Secara spontan, Abu Bakar Ayyub menanyakan kepada A Hassan tentang riwayat hadits ini. Dengan berpura-pura, A Hassan menjawab “tidak tahu” sambil mengatakan, “Apakah tuan suka hadis ini? Bila tuan suka silakan pakai, bila tidak silakan tolak.” Mendengar jawaban A Hassan yang tidak mengetahui siapa perawi hadits itu, Abu Bakar Ayyub dan para pengikut Ahmadiyah yang hadir menyunggingkan senyum dan bersorak kemenangan. Mereka mengganggap A Hassan sudah kalah karena mengutip ’hadits’ yang tak jelas siapa perawinya, diambil dari kitab mana dan siapa penulisnya. Karena tak jelas, Abu Bakar Ayyub menolak ’hadits’ itu.
Setelah sorak sorai ’kemenangan’ itu reda, A Hassan menyebutkan bahwa ’hadits’ itu ada dalam kitab yang ditulis Mirza, yang berjudul Tuhfah Baghdad halaman 11, terbitan Punjab Press Sialkot, Muharram 1311. Seketika, Abu Bakar Ayyub dan para pendukungnya tersentak dan pucat pasi. Selanjutnya, giliran A Hassan tersenyum sambil menyuruh Abu Bakar Ayyub bertanya kepada ’nabinya’ (Mirza Ghulam Ahmad) untuk menanyakan siapa perawi hadits itu dan dari kitab mana diambilnya. Tanyakan pula, kata A Hassan, bagaimana bumi bisa bicara kepada manusia, sebab ’hadits’ itu bukan hadits Nabi, mengingat dalam kitab Mirza itu ditulis, bumi berteriak setelah Rasulullah wafat. ”Tentu ada orang lain yang mendengar omongan bumi. Siapa dia? Tanyakan kepada ’nabi’ Mirza,” ketus A Hassan.
Meski sudah terdesak, Abu Bakar Ayyub masih berkelit dan mengatakan bahwa ’hadits’ itu bisa jadi terdapat dalam Kitab Kanzul Ummi yang juga milik Ahmadiyah. Namun saat itu, Abu Bakar Ayyub mengatakan tidak membawa kitab tersebut, jadi tidak bisa dicek. A Hassan kemudian menegaskan, dengan adanya perkataan itu yang ditulis oleh Mirza Ghulam Ahmad sudah cukup menunjukan palsunya kenabian Mirza.
Dalam beberapa kali perdebatan dengan A. Hassan, Ahmadiyah selalu berputar-putar untuk menutupi selubung dustanya. Sehingga A. Hassan yang nampak kesal dengan sikap para pendukung Nabi palsu itu kemudian minta diadakan juri khusus, agar menilai siapa yang keliru. “Saya heran, apa sebab Ahmadiyah takut diadakan juri. Kalau Ahmadiyah merasa benar, mengapa takut kepada juri. Juri tidak makan orang!” tegas A. Hassan.A. Hassan menambahkan, “Juri itu untuk keadilan, seperti voorzitter (ketua) menjaga keamanan. Kalau Ahmadiyah tidak palsu, marilah adakan juri. Lihatlah saya, saya merasa benar, jadi berani. Mengapa Ahmadiyah tidak berani seperti saya?”
Isi perdebatan lengkap antara A. Hassan yang mewakili pembela Islam dengan Tuan Abu Bakar Ayyub dan Maulana Rahmat Ali H.O.T dapat dilihat di laporan perdebatan yang dibukukan oleh Pembela Islam. Risalah perdebatan itu berjudul “Verslag Debat Luar biasa “Pembela Islam vs Ahmadiyah Qadiani“, Penerbit Al-Muslimun,1976. Pihak Ahmadiyah juga menerbitkan risalah perdebatan tersebut, namun tentu
![](https://ahmadiyah.org/wp-content/uploads/2023/10/image-2-681x680.png)
Pihak Comite Anti Ahmadiyah yang memfasilitasi debat antara A. Hassan (Pembela Islam) dengan Ahmadiyah juga kecewa dengan sikap para pengikut nabi palsu itu. Komite tersebut kemudian menyebarkan pamflet, untuk diadakan lagi debat terbuka. Sayang perdebatan yang diminta urung terlaksana. Berikut isi pamflet dari Comite Anti Ahmadiyah:
Di dalam perdebatan di Betawi tahun 1934 dan 1933, dan di Bandung 1932, dan di kitab-kitab Mirza (Mirza Ghulam Ahmad) ada terdapat banyak kesalahan yang besar2 dustanya, dan putar belitnya akan arti Qur’an dan hadits-hadits Walau bagaimanapun diunjukkan kesalahan2 itu, ummatnya Mirza terus putar memutar dalam ma’na dan dalam bahasa Arab Lantaran itu kami dari Comite “Anti Ahmadiyah” minta diadakan satu munazharah (debat) lagi dengan Pembela Islam, yang mana dihadiri oleh juri2 yang mengerti bahasa Arab, buat menimbang siapa yang benar dan siapa yang curang dalam hal mema’nakan ayat2 dan hadits2 dan lain-lainnya, dengan syarat:Tiap2 kritiek yang Pembela Islam majukan, kalau diputuskan tidak betul, Comite (Comite Anti Ahmadiyah) sanggup bayar f 10 (10 gulden), dan kalau betul Mirza salah, Ahmadiyah harus bayar f 10 buat tiap2 satu kesalahan dan kedustaan.Uang-uang itu akan didermakan kepada Rumah Piatu Muslimin di Batavia-Centrum (Jakarta Pusat sekarang).Kalau Tuan Muhyidin (anggota Ahmadiyah) merasa benar, adakanlah perdebatan sekali lagi. Pembela Islam ada sedia senantiasa!Kalau Ahmadiyah tidak mau berjuri, berarti Ahmadiyah palsu, dusta, pengabui mata orang dengan alasan-alasan palsu itu.
Tuan Muhyiddin! Jadikanlah lekas supaya tuan dapat tahu siapa Mirza yang tuan mengakui jadi nabi tuan.
Kalau benar, jangan takut! Coba lihat Pembela Islam, berani lantaran merasa benar
Comite ANTI AHMADIYAH
Batavia-Centrum 1934
Demikianlah kisah tentang perdebatan yang mampu membuka tabir kesesatan kelompok Ahmadiyah Qadiani. Peristiwa ini begitu dikenang dalam sejarah sebagai bukti bahwa setiap penyimpangan atau pelecehan terhadap Islam, bisa diselesaikan dengan jalan dialog, selain tentu diproses secara hukum jika memang diperlukan. Tentu saja, dalam dialog atau debat, masing-masing pihak harus berlapang dada menerima kebenaran, tidak memutarbalikkan fakta yang sesungguhnya. Abdul Razaq, salah seorang anggota Ahmadiyah Qadian kemudian keluar dari Ahmadiyah dan kembali ke Islam, setelah menyaksikan perdebatan itu. Ia kemudian bergabung menjadi anggota Persatuan Islam (Persis), lalu membuat sebuah risalah kecil berjudul, “Apa sebab Saya Keluar dari Ahmadiyah Qadian.” (Artawijaya)
Retrieved from artaazzamwordpress.com
Comment here