Artikel

Masjid Al-Aqsha dan Riwayat Silih Bergantinya Penguasa di Yerusalem

white concrete building

Istilah Al-Masjid al-Aqshâ termaktub di dalam Quran Suci Surat Bani Israil ayat 1 (QS 17:1), manakala Allah meriwayatkan peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi Suci Muhammad saw. Oleh Maulana Muhammad Ali, dalam karya terjemah tafsirnya bertajuk “The Holy Qur’an,” istilah ini diterjemahkan sebagai “masjid yang jauh” (dari Mekah –pen.).

Masjid Al-Aqsa yang dimaksud dalam ayat tersebut, masih menurut Maulana Muhammad Ali, merujuk kepada Rumah atau Bait Suci Bani Israel atau Bangsa Yahudi yang ada di Yerusalem kala itu, yakni kala ruhani beliau diperjalankan oleh Allah Ta’ala (isra’).

Perjalanan spiritual atau ruhaniah Rasulullah saw. ke Bait Suci di Yerusalem itu menurutnya mengandung arti bahwa Rasulullah saw. akan mewarisi berkat para Nabi Bani Israel.

Bait Suci bagi Bani Israel itu disebut juga sebagai “Bait al-Maqdis” atau “Bait al-Muqaddas” (artinya: rumah atau kota suci), karena terletak di Tanah Suci yang ditetapkan Allah bagi bangsa Israel (Bibel: Tanah Yang Dijanjikan), selama mereka menetapi iman dan tetap taat kepada Allah SWT (lihat QS 5:21-26).

Orang Barat menyebutnya sebagai “Temple Mount” (Bukit Kuil), karena teletak di atas Bukit Moria. Atau disebut juga “Salomon Temple” atau “Haikal Sulaiman” (Bait Sulaiman), karena Bait Suci itu dibangun oleh Nabi Sulaiman. Sulaiman membangunnya sebagai realisasi perintah Tuhan melalui perantaraan Nabi Musa pada sekitar tahun 1400 SM (Lihat Ul 12:1-8; Ul 28:47-68).

Jadi, Masjid Al-Aqsa yang dimaksud QS 17:1 di atas adalah Bait al-Maqdis atau Bait Suci yang dibangun oleh Nabi Sulaiman itu, bukan Masjid Al-Aqsa yang dibangun oleh Khalifah Umar Bin Khaththab pada sekitar tahun 636 M.

Untuk memahami perkara ini, perlu kita runut secara kronologis riwayat berdirinya Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, atau Palestina sekarang ini. Kronologi itu dimulai setidak-tidaknya sejak 10 abad sebelum Masehi.

Bait Suci yang pertama di Yerusalem

Diriwayatkan, Bangsa Israel sepeninggal Musa terlunta-lunta selama 40 tahun di Semenanjung Sinai (QS 5:26). Hingga akhirnya, kira-kira tahun 1200 SM, mereka dapat kembali memasuki Tanah Suci, Tanah yang dijanjikan oleh Tuhan kepada mereka. Di sana, mereka berhasil mendirikan kerajaan, yang mencapai kejayaan setelah Daud naik tahta menggantikan Saul (Thalut), Raja pertama bagi bangsa Israel (QS 2:247-248), yang memerintah tahun 1030-1015 SM (1 Sam 9:2; 10:23).

Daud lantas menjadikan Yerusalem sebagai ibukota kerajaannya (2 Sam 5:6-12; bdk QS 6:1-17). Ini terjadi pada tahun 996 SM. Tiga tahun berikutnya (993 SM), Daud menginisiasi pembangunan Bait Allah dan menunjuk putranya, Sulaiman sebagai pelaksana pembangunannya (2 Sam 7:1-13; 1 Taw 21:18-26). Tahun 990 SM, Daud membeli Bukit Moria, tempat pengirikan ornan (gandum) orang Yebus, guna dijadikan sebagai lokasi Bait Suci itu (2 Sam 24:18-25; 1 Taw 21:18-26). Tetapi sesudah 30 tahun berlalu (960 SM), material pembangunan Bait Suci itu baru bisa dipersiapkan (1 Taw 22).

Baru pada sekitar tahun 857 SM, Sulaiman mulai membangun Bait Suci itu. Pembangunan pun selesai kurang lebih tujuh tahun kemudian. Bangunan inilah yang kemudian dikenal sebagai Bait Suci Allah yang pertama di Yerusalem, dan menjadi kiblatnya Bangsa Israel. Di sebelah kanan Bait Suci itu, Sulaiman juga membangun istana kerajaan yang megah, yang pembangunannya memakan waktu hamper 13 tahun lamanya.

Induk bangunan Bait Suci yang pertama di Yerusalem itu kecil: panjang 60 hasta, lebar 20 hasta, dan tingginya 30 hasta. Di depannya berdiri lepas dua tiang tembaga besar setinggi 18 hasta, tak mempunyai tugas sangga. Dua tiang itu diberi nama Yakhin dan Boas (1 Raj 7:15-22).

Terdapat tempat khusus yang dikuduskan di Bait Suci ini, yang hanya boleh dimasuki oleh para imam, berisi 10 meja, 10 kaki pelita keemasan (2 Taw 4:7-8) dan meja pedupaan (1 Rak 6:22; 7:28). Di belakang balai utama adalah tempat maha suci (1 Raj 6:16), dimana di situ ditaruh Tabut Perjanjian dan Dua Kerub (1 Raj 6:27-28).

Di halaman depan sebelah timur Bait Suci itu terdapat “mezbah korban bakaran yang asapnya membumbung tinggi,” dengan panjang 20 hasta, lebar 20 hasta dan tinggi 10 hasta (2 Taw 4:1). Sementara di kanan kiri Bait Allah itu, terdapat bangunan tambahan berupa ruang bagi para imam, ruang penyimpanan alat-alat kebaktian dan pakaian kebesaran, dan juga ruang bagi perolehan gandum dan hasil-hasil bumi lainnya, serta ruang harta Baitullah.

Di sebelah kiri Bait itu ada “mesbah tembaga” dengan panjang 20 hasta, lebar 20 hasta, tinggi 10 hasta. Lalu dibuatlah pula “Kolam Tembaga” dengan garis tengahnya 10 hasta dan tingginya 5 hasta, berbentuk kelopak bunga teratai bervolume 72.880 liter. Air dari kolam ini dipakai untuk kebaktian Arca Lembu, yang mendukung kolam itu ditempatkan bertiga-tiga, ada dua belas jumlahnya, dengan kepalanya menghadap ke arah empat mata angin (2 Taw 4:1-11).

Area Bait Suci itu berbentuk segi empat bersigi beberapa gedung yang indah, karena seluruh bangunan bertatahkan emas pada langit-langit, tonggak-tonggak, pintu-pintu dan dinding-dinding, bahkan gagang-gagang lilin, pedupaan dan mundam.

Tetapi perbendaharaan Bait Suci yang megah, indah dan mewah ini dijarah oleh Nebukadnizer, Raja Babilonia, pada tahun 605 SM. Nebukadnezar mengambil dan menyimpan segala sitaannya itu di Kuil Babilonia (2 Taw 36:7). Penjarahan itu dilakukan kembali olehnya pada tahun 597 SM (2 Raj 24:13; 36:7).

Hingga akhirnya, pada tahun 587 SM, Nebukadnezar menyerang Yerusalem dan menghancurkan Bait Suci itu (2 Raj 25:13-17; Yer 52:17-22). Seluruh wilayah Yerusalem, atau Negeri Yang Dijanjikan bagi bangsa Israel itu pun akhirnya dikuasai oleh Babilonia. Bangsa Israel sendiri diangkut secara besar-besaran ke Babilonia dan menjadi budak Bangsa Babilonia.

Sejak saat itu, Bani Israel adalah bangsa yang tak punya negara, hidup menumpang dan dikuasai oleh bangsa lain. Menurut Al-Qur’an, hal ini diakibatkan oleh dosa-dosa mereka sendiri (lihat QS 5:18). Bahkan karena itu, Israel dilukiskan oleh Al-Qur’an sebagai “kera yang hina” (QS 7:166-168).

Di masa yang disebut oleh Bibel sebagai “masa pembuangan” itu, bangsa Israel tetap dipimpin oleh para Nabi. Antara lain Yehezkial (573 SM), yang menerima kasyaf atau visiun tentang akan dibangunnya kembali Kota Yerusalem dan Bait Sucinya (Yeh 40-48; bdk QS 2:260). Juga Nabi Daniel, yang dikaruniai ru’ya shalihah tentang pencemaran Bait Suci (Dan 9:24-27; bdk. QS 11:31). Ia juga memperoleh nubuat atau ramalan tentang para penguasa yang akan menguasai Yerusalem sesudah Babilonia (Dan 2:7).

Bait Suci Yang Kedua Bagi Bani Israel

Pada bulan Juli 539 SM, Babilonia dihancurkan oleh Cyrus Yang Agung, Raja dari Kerajaan Persia. Atas izinnya, bangsa Israel dipersilahkan kembali ke Yerusalem pada tahun 538 SM di bawah kepemimpinan Zerubabel (Ezr 2:2). Dalam masa ini, pembangunan Bait Suci yang kedua pun dimulai (Ezr 3:8). Tetapi pembangunan ini macet, karena ditentang oleh orang-orang Samaria. Kemacetan itu berlangsung hampir selama 15 tahun.

Baru pada tahun 525 SM, Zerubabel dapat kembali melanjutkan pembangunan, setelah Darius Yang Agung mengembalikan perkakas Bait Suci yang sebelumnya dijarah oleh Nebukadnezar (Ezr 6:3-15). Pembangunan Bait Suci yang kedua itu dilakukan di atas reruntuhan bangunan Bait Suci yang pertama, dan menurut pada ukuran yang pertama pula.

Pembangunan Bait Suci yang kedua ini selesai di tahun 515 SM, ketika Yerusalem masih berada di bawah Kekuasaan Persia. Hal ini selaras dengan apa yang telah dinubuatkan oleh Allah kepada Nabi Daniel (Dan 2:39).

Setelah Persia dikalahkan oleh Aleksander Yang Agung pada tahun 332 SM, Yerusalem berpindah tangan ke dalam kekuasaan Yunani. Bait Suci tak dirusak, tetapi dirampas paksa oleh Antiochus IV Epiphanes yang dikenal bengis. Epiphanes mengharamkan upacara korban bakaran dan menajiskan Bait Suci itu, dan mengalihfungsikannya sebagai kuil untuk menghormati Dewa Zeus. Ini berlangsung antara tahun 169-167 SM.

Kekejian Epiphanus ini seolah menggenapi nubuat Daniel (Dan 9:276). Tak lama kemudian, Yudas Makabe berhasil merebutnya dan mentahbiskannya kembali pada tahun 164 SM (1 Makabe 4:36-61).

Pada tahun 655 SM, Aristobulus mengepung Yerusalem dan mempersembahkan babi sebagai ganti domba untuk mengakhiri persembahan korban bakaran di Bait Suci ini. Dua tahun berikutnya, Pompey, kaisar Romawi, menaklukkan Yerusalem dan memasuki Ruang Maha Suci. Kaum Yahudi pun kembali berada di bawah kekuasaan Romawi Baru.

Tahun 20 SM, Herodes Yang Agung (37-4 SM) merenovasi Bait Suci kedua ini dengan perluasan dan tambahan-tambahan bangunan, sehingga nampak lebih indah dan megah dari sebelumnya. Tetapi pada tahun 70 M, Jendral Titus putra Kaisar Vespasianus dari Kerajaan Romawi, meluluh-lantakkan Yerusalem dan Bait Suci yang kedua ini. Sehingga, yang tersisa dari reruntuhan itu hanyalah sebuah tembok, yang kini dikenal sebagai “Tembok Ratapan” (Wailling Wall), tembok yang disucikan oleh kaum Yahudi hingga saat ini. Di tembok ini, kaum Yahudi beribadah dengan cara mengenang dan meratapi peristiwa dihancurkannya Bait Suci yang kedua ini.

Untuk yang kedua kalinya Bani Israel tercerai berai kembali dan berdiaspora ke seluruh penjuru dunia, tanpa tanah air (QS 7:166-168). Nasib buruk yang kembali menimpa mereka itu, menurut Qur’an Suci, disebabkan karena mereka menolak Isa bin Maryam sebagai Al-Masih (Mesias) dan Nabi Utusan Allah SWT (QS 5:78; bdk Mat 23:37-39).

Tahun 132-135 kaum Yahudi memberontak kepada pemerintah Kerajaan Romawi. Tetapi pemberontakan itu berhasil digagalkan oleh Kaisar Hadrianus. Sebagai hukuman atas pemberontakan itu, kaum Yahudi tak diperkenankan tinggal di Yerusalem. Mereka diperbudak dan diperjualbelikan dengan harga teramat murah, sehingga bahkan membuat harga budak di pasaran dunia merosot tajam.

Hadrianus bahkan kemudian mengubah nama Kota Yerusalem dengan Aelia Capitolina (kota suci untuk Dewi Aelia), sesembahan bangsa Romawi. Di atas reruntuhan Bait Suci yang kedua, didirikanlah kuil Jupiter Capitolinus yang berisi patung Kaisar Hadrianus, berhadap-hadapan dengan patung dewa pelindungnya, Jupiter.

Pada masa Kaisar Konstantinus Yang Agung, agama Kristen telah menjadi agama resmi Romawi. Kuil Dewa Yupiter yang berdiri di Bukit Moria itu pun diruntuhkan pasca diselenggarakannya Konsili Nicea I. Tahun 320 M, Konstantin Yang Agung membangun Holy Sepulchre (Gereja Makam Kudus) tidak jauh dari reruntuhan Bait Suci yang kedua. Ini melambangkan bahwa kekristenan menjadi pusat kerohanian yang baru di Yerusalem.

Yerusalem pun sejak itu menjadi salah satu kota suci bagi umat Kristen. Meski demikian, pusat kerohanian bagi umat Kristen, khusunya Katolik Roma, tetap berada di Gereja Santo Petrus di Vatikan, yang dalam nubuat Daniel dilukiskan sebagai “tanduk” yang mempunyai mata dan mulut (Dan 7:19-22).

Pada tahun 614 M, orang-orang Yahudi ikut membantu Persia melawan Romawi di Yerusalem. Romawi pun berhasil dikalahkan pada tahun 615 M. Kaum Yahudi memperoleh penghargaan tersendiri atas keberhasilan ini. Mereka pun berharap dapat kembali membangun Bait Suci di Yerusalem.

Tetapi harapan tinggal harapan, sebab sembilan tahun kemudian, tepatnya tahun 624 M, Romawi mengalahkan Persia dan menguasai kembali Yerusalem. Kekalahan Persia atas Romawi ini dinubuatkan oleh Daniel (Dan 2:41-42) dan diabadikan pula di dalam Quran Suci (QS 30:1-7).

Masjid Al-Aqsa: Bait Suci yang ketiga di Yerusalem

Selama enam ratus tahun lamanya, tak ada bangunan Bait Suci di Yerusalem. Bahkan lokasi Bait Suci itu tercemar dan dinajiskan, baik secara jasmani maupun rohani, di bawah kuasa Romawi, baik Romawi yang paganis (yang berkuasa sejak abad pertama s/d awal abad ke-4 Masehi) maupun Romawi Kristen (sejak abad ke-4 s/d awal abad ke-7 Masehi). Artinya, umat Kristen sekalipun tak peduli kepada Masjid (QS 17:7) atau Bait Suci yang dibangun oleh Sulaiman ini.

Pada tahun 636 M, Yerusalem ditaklukkan oleh pasukan Islam di bawah komando Khalid bin Walid dan Amr bin Ash. Tetapi Sophronius, Patriark Gereja Makam Kudus yang juga menjadi penguasa Kota Suci Yerusalem kala itu, menghendaki untuk menyerahkan Kota Yerusalem secara langsung kepada Khalifah Umar bin Khaththab, pemimpin tertinggi umat Islam kala itu.

Pada tahun 638 M, Khalifah Umar pun datang ke Yerusalem, guna serah terima Kota Yerusalem. Saat itu pula Umar membuat perjanjian tertulis dengan penduduk setempat untuk mengatur hak dan kewajiban antara umat Islam Yerusalem dan penduduk non-Islam. Perjanjian ini ditandatangani oleh Umar bin Khattab, Uskup Sophronius, dan beberapa panglima perang Islam.

Isi perjanjian itu antara lain jaminan perlindungan terhadap agama dan umat Kristen di Yerusalem. Atas permintaan Sophronius “tak seorang Yahudi pun tinggal bersama mereka orang Kristen di Aelia” dipenuhi, dengan cara

Sejak saat itu, Kota Yerusalem terbagi menjadi empat wilayah bagi empat agama yang ada di sana: wilayah Islam (terbesar) yang mencakup kompleks Al-Haramusy-Syarif dengan Shakhrah-nya, wilayah Yahudi dengan Tembok Ratapannya, wilayah Kristen Yunani dengan Gereja Holy Scpulchre-nya, dan wilayah Kristen Armenia. Jadi, umat Islamlah pemilik dan penguasa wilayah Suci di mana Bait Suci atau Baitullah itu berdiri.

Usai membuat perjanjian, Khalifah Umar meminta Sophronius untuk menunjukkan lokasi Haikal Sulaiman atau Baitul Maqdis. Beliau pun lantas dibawa ke puncak Bukit Moria di mana Sakhrah (Batu Karang) bekas reruntuhan Baitul Maqdis berada.

Khalifah Umar sangat kecewa melihat lokasi yang ditunjukkan. Sebabnya, lokasi suci yang pernah dijadikan kiblat umat Islam itu, menjadi tempat pembuangan sampah di bawah kekuasan Kristen. Maka, Khalifah Umar pun lantas membersihkan lokasi itu, lalu mengajak umat Islam untuk mendirikan sebuah masjid di lokasi itu. Masjid yang dibangun oleh Umar itu disebut Masjid Al-Qibli.

Pada tahun 691 M, di masa kekuasaan Dinasti Umayyah, Khalifah Abdul Malik membangun sebuah kubah besar yang indah di atas Shakhrah dan dinamakan Qubbatush-Shakhrah (Dome of the Rock atau kubah batu). Ini bukan masjid, tempat mengerjakan shalat, tetapi hanya sekedar monumen untuk mengenang sejarah penting atas kedurhakaan kaum Yahudi dan ketidakpedulian kaum Kristen terhadap tempat suci itu. Di tempat suci inilah, Yesus Kristus diberkati oleh Simeon dan menyampaikan risalahnya.

Kubah itu juga dibangun untuk mengenang jasa Khalifah Umar yang menerima penyerahan Kota Yerusalem dari kaum Kristen, juga sebagai penghormatan atas kiblat para Nabi yang pernah diikuti pula oleh Nabi suci Muhammad saw dan para sahabatnya sampai tahun 624 M.

Barulah kemudian, di masa Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, dibangunlah sebuah masjid di sebelah selatan Qubbatush-Shakhrah. Dan masjid inilah yang kemudian diberi nama Masjid al-Aqsha.

Masjid Al-Aqsa ini adalah Bait Suci atau Baitullah ketiga di Yerusalem, karena di tempat inilah “nama Tuhan berdiam di sana” (Ul 12:11). Dan kehadiran masjid ini, menurut Quran Suci, adalah rahmat bukan hanya bagi umat Islam, melainkan pula rahmat bagi umat Yahudi dan Kristen (QS 17:8).

Sejarah menjadi saksi, di bawah panji-panji Islam pada zaman Umar, umat Yahudi kembali bebas berdiam di Yerusalem, setelah ratusan tahun dihalangi dan ditindas oleh Penguasa Romawi yang paganis (dari abad pertama sampai awal abad keempat), dan kemudian oleh penguasa Romawi Kristen (dari awal abad keempat sampai awal abad ke tujuh). Padahal, Kristen sendiri aslinya hanyalah salah satu sekte dari Bangsa atau agama Yahudi (QS 5:14; bdk Kis 24:5).

Dengan kata lain Kristen adalah “anak durhaka” dari Bangsa Yahudi. Seperti yang diperagakan oleh Sophronius, seorang Kristen yang tak mau bertetangga dengan orang Yahudi. Terbukti pada saat penyerahan Yerusalem kepada Islam, ia meminta kepada Umar agar “tak seorang Yahudi pun tinggal bersama mereka (kaum Kristen) di Ailea.” Karena permintaan itu, Yerusalem dibagi menjadi empat wilayah oleh Umar, yaitu wilayah Islam, Yahudi, Kristen, Yunani dan Kristen Armenia.[]

Penulis: K.H. S. Ali Yasir
Penyunting: Asgor Ali

Sumber Artikel : Naskah Buku “Ensiklopedia Ahmadiyah”

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »