ArtikelEdisi KemerdekaanKliping

Mangayubagyo 50 Tahun GAI Ibu Hardjosoebroto

Kami merasa bersyukur dan berbahagia atas ridla Allah, dengan diberinya umur panjang, hingga saat ini kami dapat ikut serta mangayubagyo dalam menyongsong hari Ulang Tahun Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia yang ke-50 dengan menyampaikan sepatah dua patah kata.

Sampai saat ini di GAI cabang Purwokerto, kami sebagai angota yang paling tua. Pada kira-kira akhir tahun 1927, kami belajar menuntut ilmu agama (ngaji) bersama suami, kepada almarhum Bapak H. Djojosoegito, dan baru tahun 1930 kami menjadi anggota resmi GAI pada urutan nomor yang ke-17.

Bagi pribadi kami, pengajian pada saat itu hanyalah ikut-ikutan saja. Dalam peribahasa daerah mengatakan, “belo melu seton”. Lagipula, pelajaran agama yang ditajdid, yang diberikan oleh almarhum Bapak Djojosoegito, belum dapat difahami dengan baik. Mungkin karena usia yang masih muda dan ilmu yang masih rendah.

Di samping itu, kami sendiri kurang aktif dan masih setengah terpaksa dalam mengikuti pengajian tersebut. Hal ini rupa-rupanya dipengaruhi oleh suasana, karena kebetulan saat itu kami dalam suasana penganten baru, yang pada umumnya waktu yang seperti inilah, waktu yang paling tepat dan harmonis untuk bersenang-senang.

Namun berkat ketekunan dan ketelatenan suami, setelah pulang ngaji, pelajaran yang diberikan oleh almarhum Bapak Djojosoegito itu diulang-ulang sampai dapat difahami betul.

Pada saat itu, peserta pengajian masih sedikit dan kami sendiri termasuk satu-satunya wanita yang hadir dalam pengajian tersebut. Lama kelamaan peserta pengajian bertambah banyak, baik pria maupun wanita.

Memang kami dapat merasakan juga ikut membela serta bergerak untuk mempertahankan ajaran-ajaran Islam yang murni, yang disajikan oleh Ahmadiyah, yakni ajaran-ajaran Islam yang telah ditajdid oleh Pendiri Gerakan Ahmadiyah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, Mujaddid abad ke-14 Hijrah ini.

Betapa hebatnya tantangan-tantangan, caci maki, hinaan serta fitnah yang diderita atau yang dialami oleh Gerakan Ahmadiyah sebelum berdiri hingga berdirinya Gerakan Ahmadiyah dengan resmi, artinya diakui oleh Pemerintah sebagai Gerakan Islam di Indonesia yang berbadan hukum.

Apalagi setelah almarhum Bapak Djojosoegito selaku Ketua GAI pindah dari Purwokerto ke Malang. Jabatan Ketua diserahkan kepada almarhum Bapak Hardjosoebroto. Seperti halnya di zaman Rasulullah sewaktu ditinggalkan oleh Siti Khadijah dan Abu Thalib, serangan-serangan dari fihak musuh semakin bertambah hebat. Hingga timbullah dalam fikiran para musuh yang dalam peribahasa daerah dikatakan “suwe mijet wohing ranti”, artinya “mudah dimusnahkan dan mudah terkalahkan.” Serangan itu datang bagaikan guruh, halilintar, badai dan topan yang datang bertubi-tubi silih berganti.

Tidak antara lama, Bapak Mirza Wali Ahmad Baig dari Yogyakarta pindah ke Purwokerto sebagai guru kami. Namun cobaan-cobaan tidak mereda. Akan tetapi bagi kita selaku orang Ahmadi, walaupun jumlah anggota pada waktu itu baru sedikit, karena iman yang benar dan keyakinan yang setiap waktu ditanam, disirami dan dipupuk oleh ajaran-ajaran yang diberikan oleh Bapak Mirza Wali Ahmad Baig itu, iman kita hidup dengan subur, kuat, hingga tahan menderita dan mampu menghadapi apa saja yang menimpanya, dengan selalu ingat bahwa kita adalah orang Ahmadi. Harus menunjukkan sifat jamalinya. Rasulullah sukses karena sifat jamalinya (uswatun hasanah). Tidak hanya baik saja, tetapi indah dan menarik.

Dalam segala hal, kita harus hasanah (baik, rendah hati, bijaksana, pengampun, sabar, ikhlas serta tawakal). Memang nyata benar, GAI sampai pada waktu sekarang ini boleh dikatakan sukses walaupun belum sempurna. Masih panjang lagi jalan hidupnya.

Bagi pribadi kami, yang diberi anugerah umur panjang, insya Allah ada kesempatan untuk menyaksikan Hari Ulang Tahun yang ke-50, yang tak lain Hari Kemenangan GAI, yakni Kemenangan Islam.

Sungguh-sungguh bagi kami, jika mengenang perjalanan hidupnya GAI dari masa ke masa, maka terbentanglah gambar seperti pita film yang panjang, yang sedang diputar di hadapan kita, terlihatlah jerih payah, lara derita dan suka duka para saudara Ahmadiyah, terutama para sabikun.

Kita mengenyam hasil karya serta jihad para almarhum dan para almarhumah. Beliau-beliau itu telah mewarisi kita contoh-contoh serta tauladan-tauladan yang baik (hasanah). Beliau-beliau telah melaksanakan sumpahnya, “Menjunjung Agama Melebihi Dunia”.

Mengabdikan diri dan berserah diri kepada Allah. Begitulah pribadi orang yang taqwa kepada Allah. Iman, amal saleh dan tawakal! Sungguh mengesankan.

Sekarang bagaimana kita? Kami sebagai orang tua yang telah mengalami maju mundur, naik turun dan pasang surut jalannya sejarah GAI, maka pesan kami kepada saudara-saudara Ahmadiyyin, khususnya kepada anak-anak muda kita, mengingat orang-orang tua yang masih giat bekerja dalam GAI tinggal beberapa saja, bangun dan bangkitlah. Tampil ke depan menyiapkan dirinya untuk mengganti beliau-beliau itu sebelum beliau-beliau dipanggil menghadap Tuhan.

Mengapa anak-anak muda kita itu tenang-tenang saja? Seolah-olah GAI itu hanya pekerjaan orang-orang tua. Biarlah mereka sibuk. Agama adalah soal (urusan) orang tua. Anak muda belum waktunya. Anak muda belum akan mati, fikir mereka.

Wahai anak-anak muda, pria maupun wanita, kami menghimbau. Sadarilah, mau tidak mau kalian akan menjadi tua. Children of today are leaders of tomorrow.

Tidak inginkah kalian menjadi penerus orang tua, penegak dan pembela kebenaran! Orang tua kalian adalah penerus Rasulullah, sebagai waris dalam rohani. Kalian calon generasi mendatang, sudah mengerti dan menyaksikan bagaimana manusia kehilangan kebenaran serta petunjuk. Mereka, tanpa budi atau tanpa moral. Peribahasa mengatakan, “Hidup budi, hiduplah bangsa”. Budi hilang, matilah bangsa. Dan yang menghidupkan adalah agama.

Zaman ini disebut zaman pembangunan di segala bidang. Kita tidak boleh sepi tanpa membantu. Kita harus berpartisipasi. Maka kita turut aktif dalam membentuk mental spiritual, agar cita-cita membangun manusia seutuhnya (fisik maupun mental) sungguh-sungguh terwujud dengan baik. Punya kepribadian luhur, sanggup dan mampu sebagai khalifah di bumi dan pengejawantahan Wajah Allah.

Ya Allah, berilah sinar kasihMu kepada kami, cahaya yang akan menembus jiwa kami, untuk menyingkap tirai yang menutupi rasa kesadaran serta kematian. Jauhkanlah kami dari segan, malas dan acuh tak acuh. Lindungilah kami dari perbuatan jahat serta jauhkanlah dari api neraka. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Hidup GAI sepanjang masa! Gerakan yang diridhai oleh Allah. Percayalah, Tuhan beserta kita dengan segala kasih, sayang, rahmat dan berkah serta lindungan pertolonganNya.

Tidak lupa, kepada almarhum Bapak H. Djojosoegito dan Bapak Mirza Wali Ahmad Baig, kami mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya, yang telah memberi tuntunan, bimbingan dan pengarahan, hingga kami mengerti ajaran agama Islam yang sebenarnya serta dapat menjalankan dengan baik dan betul.

Mudah-mudahan amal saleh beliau-beliau itu diterima oleh Allah dan mendapat balasan pahala yang berlipat ganda. Demikian pula para ahli warisnya yang ditinggalkan, semoga diberi ketentraman, ketenangan dan kesabaran. Amin.

Kami menyeru, ketahuilah bahwa apa-apa yang telah menjadi keyakinan, apalagi itu benar, jika kita pegang teguh, kita bela dengan tangguh, sungguh pasti akan menjadi senjata yang ampuh.

Tidak tersangka, tidak terduga, bahwa di tempat lahirnya GAI yang kini para anggotanya sebagian besar sudah tua-tua, tidak berdaya, tumbuh tunas muda. Tunas yang kelihatan memberi harapan besar bagi kesinambungan GAI. Apalagi tunas tadi telah pergi ke tempat bekas kediaman Mujaddid Imamuzzaman, guna mempelajari/memperdalam ilmu agama Islam yang ditajdid langsung dari sumbernya. Legalah kita para pinisepuh, punya penerus muda, segar dan kelihatan punya jiwa taqwa serta ikhlas.

Pulang dari belajar (mengaji) dapat turut menyaksikan perayaan Ulang Tahun berdirinya GAI setengah abad. Sungguh, suatu kebahagiaan luas biasa dari Allah. Alhamdulillah. Tidak lain, itu semua dari peninggalan jerih payah, pendidikan, pelajaran, bimbingan, tuntutan serta pengorbanan lahir maupun batin dari almarhum Bapak H. Djojosoegito, lalu dilanjutkan oleh Almarhum Bapak Mirza Wali Ahmad Baig.

Kita mencari sukses mencari mardlotillah, serta husnul khatimah. Itulah tujuan hidup kita. Fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah.

Cukup sekian. Segala kekuarangan, kesalahan, kelupaan, mohon dimaafkan.

 

Purwokerto, 17 Maret 1979

Ibu Hardjosoebroto

 

Sumber: Buku Kenang-Kenangan GAI Usia 50 Tahun (Golden Jubilee)

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here