Artikel

Konsep Perdamaian Islam Dalam Perspektif Ahmadiyah

Hakikat kemenangan Islam adalah terciptanya keadaan damai, yang dicapai dengan cara-cara yang damai pula, maka tidak ada pihak yang dikalahkan atau merasa kalah, karena sejatinya yang menang adalah nilai-nilai kebenaran universal.

Oleh : Mulyono | Sekretaris PB GAI

Gerakan Ahmadiyah Indonesia, atau yang lebih populer dengan nama Ahmadiyah Lahore, bertujuan untuk menegakkan Kedaulatan Tuhan, agar umat Indonesia mencapai keadaan jiwa (state of mind) atau kehidupan batin (inner life) yang disebut salâm (damai). Kata salm atau silm, berarti damai. Dari kata inilah nama agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. itu diambil, yakni Islâm, yang berarti masuk dalam damai. Pemeluk Islam disebut Muslim, artinya orang yang damai.

Dalam istilah Islam, Muslim adalah orang yang damai dengan Allah dan damai dengan sesama manusia. Damai dengan Allah berarti berserah diri sepenuhnya (aslama) kepada kehendak Allah, sedangkan damai dengan sesama, bukan saja berarti menyingkiri perbuatan jahat dan sewenang-wenang, melainkan pula selalu berbuat baik kepada orang lain. Selaras dengan namanya, Islam bukan saja cinta damai, tetapi bahkan ‘pencipta’ perdamaian. Sebagai pemeluk agama damai, setiap Muslim sudah seharusnya rela melakukan pengorbanan yang sebesar-besarnya demi terciptanya perdamaian.

Keadaan damai, dalam Qur’an dilukiskan sebagai suatu keadaan yang tidak ada ketakutan dan tidak ada kesusahan (lâ khaufun ‘alaihim wa lâ hum yakhzanûn). Kondisi tersebut bisa dicapai lewat dua hal, yakni berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama (aslama wajhahu lillâh wahuwa muhsinûn).

Islam, agama dakwah

Islam adalah agama dakwah. Artinya, Islam menyeru, memanggil, mengajak, dsb. kepada manusia untuk melaksanakan nilai-nilai yang ada di dalamnya, agar tercapai keadaan salam. Dengan kata lain, Islam memberikan tawaran berupa nilai-nilai, yang jika nilai-nilai itu dilaksanakan maka akan tercipta keadaan damai. Oleh karena itu, konsepsi iman dalam Islam bukan sekedar kepercayaan, tetapi kepercayaan itu sebagai motivasi untuk memanifestasikan iman itu dalam perbuatan (âmanû wa ‘âmilush-shâlihât).

Sebagai sebuah tawaran, maka Islam tidak memaksa siapa pun dan tidak boleh dipaksakan oleh siapa pun (lâ ikraha fid-dîn). Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk menerima atau tidak menerima nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam (barangsiapa suka boleh beriman, barangsiapa suka boleh kafir), dengan konsekuensinya masing-masing. Bahwa setiap Muslim berkewajiban untuk berdakwah, harus dilakukan dengan cara-cara yang bijaksana (bil hikmah) dan tutur kata yang baik, menyejukkan (mau’idlatil-hasanah).

Kita pasti tidak akan menemukan satu contoh pun pada diri Nabi saw. yang dapat dirujuk untuk melakukan dakwah dengan paksaan, apalagi dengan kekerasan. Memang benar, pada awal sejarah Islam, kaum Muslim banyak melakukan peperangan, tetapi tidak satu peperangan pun yang dimaksudkan untuk menyiarkan (dakwah) Islam. Perang dilakukan semata-mata untuk membebaskan diri dari ketertindasan dan ketidakadilan. Itu pun dilakukan dengan etika yang tidak ada taranya, seperti misalnya: tidak membunuh anak-anak, wanita dan orang tua kecuali nyata-nyata diketahui sebagai mata-mata, tidak merusak tanaman, tidak merusak tempat ibadah agama apa pun, dan tidak mengganggu siapa pun yang tengah beribadah, meskipun bukan menyembah Tuhan. Fakta menunjukkan bahwa salah satu poin penting dalam Piagam Madinah agalah adanya jaminan kebabasan beragama.

Ada fakta lain lagi yang sangat mengagumkan, yaitu perjanjian damai di Hudaibiyah. Bersama 1500 orang sahabat, Nabi saw. berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Sesampainya di Hudaibiyah, rombongan jamaah calon haji itu dihadang oleh orang-orang kafir Makkah, hingga memicu ketegangan yang serius, yang mengarah pada pertempuran. Para sahabat mengikrarkan sumpah setia (bai’at) kepada Nabi saw. Dengan kata lain, mereke siap melakukan pertempuran, meskipun tanpa senjata yang memadai. Tetapi, agaknya kaum kafir Makkah harus berpikir ulang untuk sekali lagi melawan kaum Muslimin, mengingat dalam sejumlah pertempuran sebelumnya selalu berakhir dengan kegagalan yang memalukan. Maka perjanjian damai ditawarkan kepada Nabi saw. dengan sejumlah syarat. Kendati beberapa poin tampak merendahkan martabat Nabi saw. dan kaum Muslimin –dan oleh karena itu sahabat Umar, dkk. menunjukkan sikap menolak– namun Nabi saw. bersedia menandatangani akta perdamaian itu. Sikap Nabi saw. itu ternyata dibenarkan oleh Allah, terbukti sesaat setelah itu turun wahyu Ilahi yang menyatakan bahwa penerimaan beliau terhadap akta perdamaian itu sebagai kemenangan yang terang atau kemenangan yang sesungguhnya (fatham-mubînâ). Menariknya, kemenangan hakiki itu dicapai tanpa setetes darah dan secuil luka pun. Ini memberikan penjelasan yang terang benderang kepada siapa saja, bahwa di satu sisi Islam mengajarkan pengorbanan yang sebesar-besarnya demi terwujudnya perdamaian, dan di sisi lain juga memberikan penjelasan bahwa hakikat kemenangan Islam adalah menangnya perdamaian, yang untuk mencapai itu tidak perlu menggunakan pedang.

Arti kebangkitan dan kemenangan Islam

Abad ini diyakini oleh banyak kalangan sebagai abad kebangkitan Islam. Dalam perspektif Ahmadiyah, kebangkitan Islam bukan berarti bangkitnya umat Islam melawan dominasi umat lain secara fisik (senjata), karena Islam tidak pernah memposisikan orang atau umat non-muslim sebagai musuh. Musuh Islam bersifat abstrak, seperti misalnya kemusyrikan, kekafiran, kemunafikan, dlsb., yang praktik-praktik seperti itu bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh orang yang secara formal sebagai penganut Islam. Oleh karena itu Ahmadiyah, ketika membicarakan Islam, lebih sebagai nilai dan bukan orang (Islam). Islam adalah sebuah sistem nilai, yaitu nilai-nilai kebenaran universal yang fitriah dan kodrati. Faktanya, orang yang secara formal pemeluk Islam pun bisa melakukan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, dan sebaliknya orang yang secara formal bukan muslim pun dapat melakukan nilai-nilai Islam.

Sebuah Hadits Nabi saw. mengatakan bahwa pada zaman akhir matahari terbit di barat. Ahmadiyah memahami Hadits ini secara metaforis, yakni matahari kebenaran dan keindahan Islam akan terbit di barat (Eropa dan Amerika). Fenomena yang kita saksikan adalah bahwa orang-orang Barat semakin menyadari bahwa nilai-nilai yang selama ini mereka anut, yang lahir dari sosialisme, kapitalisme, dll. terbukti gagal membangun peradaban yang dicita-citakan, dan oleh karena itu mereka sekarang ini tengah mencari alternatif. Melalui proses pencarian yang panjang, mereka menemukan apa yang mereka cari itu dalam Islam. Kenyataan menunjukkan, beberapa aspek nilai-nilai Islam secara bertahap telah diterima oleh bangsa-bangsa Barat. Jika matahari telah terbit, maka pantang untuk surut kembali, selain terus membubung tinggi, dan cahaya akan memancar dan menerangi seluruh bumi.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan Islam di Timur? Sesungguhnya sekarang ini tengah berlangsung ‘pertempuran sengit’ antara Islam substantif (Islam sebagai nilai) versus Islam formalis, di dalam dada hampir setiap Muslim. Seperti telah disinggung di atas, hakikat kemenangan Islam adalah terciptanya keadaan damai, yang dicapai dengan cara-cara yang damai pula, maka tidak ada pihak yang dikalahkan atau merasa kalah, karena sejatinya yang menang adalah nilai-nilai kebenaran universal. Dalam falsafah Jawa, kemenangan seperti ini dilukiskan dengan kalimat menang tanpa hangasoraké. Pihak yang kalah justru akan mengklaim sebagai pemenang, karena dialah yang berhasil menemukan kebenaran, setelah melalui pertempuran batin yang dahsyat.

Lalu bagaimana pula dengan agama-agama non-Islam? Islam adalah rahmatan lil-‘âlamîn, dalam arti bahwa nilai-nilai kebenaran yang terdapat dalam Islam bersifat universal, yang dengan demikian menjadi milik siapa saja, apa pun agamanya. Sebagaimana di internal Muslim sendiri juga akan terjadi proses koreksi terhadap pola keberagamaan dan pola pemahaman agama, maka pada agama-agama lain pun akan terjadi hal serupa. Contoh riil adalah ketika Paus Yohanes Paulus II meminta maaf kepada Galileo Galilei. Orang ini dianggap telah membuat dosa besar melalui pernyataannya bahwa bumi itu bulat, yang berarti mendustakan ajaran Alkitab, yang menyatakan bahwa bumi itu datar. Karena dosanya itu ia dihukum mati. Belakangan disadari bahwa vonis terhadap ilmuwan itu keliru, dan secara ksatria Paus mengakui kesalahan itu.

Jihad masa kini

Jihad artinya bersungguh-sungguh, berupaya sekeras-kerasnya, dsb. Orang Islam harus berjihad, dalam arti bersungguh-sungguh atau berupaya sekeras-kerasnya untuk melaksanakan nilai-nilai Islam. Jihad fî sabîlillâh artinya bersungguh-sungguh dalam upaya meniti jalan atau menjalani hidup berdasarkan petunjuk Allah. Jihad berbeda dengan perang (qatl). Ada kalanya orang Islam harus berperang melawan musuh dengan senjata, tetapi menurut Hadits Nabi saw. hal itu justru dikatakan sebagai jihad kecil, sedangkan jihad besar adalah melawan nafsu. Jadi, manakala seorang Muslim harus berperang melawan musuh dengan senjata pun, sekaligus harus berperang pula melawan hawa nafsunya sendiri, seperti misalnya nafsu untuk berbuat sewenang-wenang atau tidak adil terhadap musuh, nafsu merusak, dll. Tetapi seperti telah dikemukakan di atas, peperangan kaum Muslimin tidak ada hubungannya dengan menyiarkan agama Islam. dalam konteks dakwah, jihad adalah usaha yang sungguh-sungguh, dengan segala kemampuan, untuk menyebarluaskan keindahan nilai-nilai kebenaran Islam yang universal dan kodrati.

Sekarang ini Islam tengah mendapat serangan dari dua arah sekaligus, yaitu dari dalam diri umat Islam sendiri dan dari luar umat Islam. dari dalam diri umat Islam antara lain ditunjukkan oleh segelintir orang yang mengekspresikan keagamaanya secara radikal, yang notabene bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang santun, humanis, dsb., sehingga stigma Islam sebagai anti perdamaian, disiarkan dengan pedang, dll., mendapat pembenaran. Sementara itu materialisme tengah mengeluarkan kekuatan terakhirnya untuk melawan Islam dengan pesona keindahannya yang menggiurkan setiap orang.

Dalam terminologi Hadits, yang tersebut belakangan disebut sebagai fitnahnya Dajjal. Dajjal adalah personifikasi pola hidup materialistik, yang melengahkan manusia dari makna dan tujuan hidup yang sesungguhnya. Dua lawan Islam itu hampir mustahil dapat dikalahkan dengan senjata fisik, karena kedua-duanya bersemayam di dalam dada hampir setiap orang. Artinya, serangan terhadap Islam sekarang ini tidak dengan menggunakan senjata fisik, melainkan melalui tipu daya kenikmatan duniawi yang memabukkan. Oleh karena itu cara melawan serangan itu juga tidak menggunakan senjata fisik, melainkan dengan kekuatan spiritual, yakni kekuatan takwa, kekuatan ilmu, dan kekuatan argumentasi.

Dalam hal melakukan perlawanan terhadap musuh-musuh Islam, Ahmadiyah berjihad antara lain lewat penerbitan buku-buku yang menguraikan tentang keindahan nilai-nilai kebenaran yang diajarkan oleh Islam secara ilmiah, argumentatif, yang memenuhi tuntutan fitrah manusia zaman ini, yang rasionalistik dan sekaligus spiritualistik. Wallâhu a’lam.[]

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here