ArtikelKhutbah

Kiblat Umat: Bukan Ke Timur, Bukan Pula Ke Barat

Di Bulan Rajab, ada berbagai peristiwa atau momentum sejarah yang amat penting dalam khazanah dunia Islam. Selain peristiwa Isra mi’raj di penghujung bulan ini, terdapat juga peristiwa berpindahnya kiblat umat Islam dari Baitul Maqdis di Yerusalem, atau Palestina hari ini, ke Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarromah.

Berpindahnya kiblat umat Islam ini didasarkan atas perintah Allah Ta’ala, yang termaktub di dalam Quran Surat Al-Baqarah Ayat 144. Adapun arti dari ayat tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:

“Sungguh Kami melihat wajah engkau menengadah ke langit, maka dari itu Kami akan menjadikan engkau yang menguasai Kiblat yang engkau sukai. Maka hadapkanlah wajah engkau ke arah Masjidil-Haram. Dan dimana saja engkau berada, hadapkanlah wajah engkau ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab tahu bahwa itu itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tak sekali-kali lalai akan apa yang mereka kerjakan.”

Ayat 144 dari surat Al-Baqarah ini turun pada pertengahan bulan Rajab tahun kedua Hijrah, kurang lebih 16 atau 17 bulan sesudah Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah.

Inti ayat ini, secara praktis, adalah perintah Allah kepada Rasulullah saw. untuk merubah arah kiblat shalat, dari mengarah ke Baitul Maqdis di Yerusalem, menjadi mengarah ke Ka’bah atau Masjidil Haram di Mekah.

Menurut riwayat, ketika ayat ini turun, Rasulullah saw. baru melaksanakan sholat dua rekaat berjamaah di sebuah masjid di pinggiran kota Madinah. Dengan turunnya ayat itu, maka beliau segera menghentikan sholat sebentar, kemudian beliau berputar 180 derajat menghadap arah baru, sehingga para sahabat yang ikut shalat pun terpaksa berjalan memutar agar supaya tetap berada di belakang Rasulullah.

Untuk mempertahankan bukti sejarah perubahan kiblat ini, hingga kini masjid dimana Nabi shalat kala itu masih mempertahankan dua mimbar, satu menghadap ke Ka’bah dan satu lagi menghadap ke Baitul Maqdis. Masjid itu kini dikenal sebagai Masjid Qiblatain, artinya masjid yang memiliki dua kiblat, terletak di atas sebuah bukit kecil di utara kota Madinah.

Tetapi jika kita tinjau secara politis, perubahan kiblat yang diperintahkan di dalam ayat ini adalah suatu cara bagi Allah untuk menguji kekuatan aqidah, kesetiaan dan ketaatan kaum Muslimin kepada Allah dan Rasulnya.

Disamping itu, ayat ini juga mengisyaratkan perlunya umat Islam untuk bersatu padu dalam mencapai satu tujuan, yakni menghambakan diri dan mengabdi hanya kepada Allah, dan tidak berpaling ke lain hati dan lain tujuan. Hal ini diisyaratkan dalam ayat sebelumnya, yakni Surat Al-Baqarah Ayat 143 sebagai berikut:

“Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang unggul, agar kamu menjadi saksi atas manusia dan Rasul menjadi saksi atas kamu. Dan Kami tak membuat apa yang kamu inginkan sebagai kiblat selain agar Kami dapat membedakan, siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berpaling muka.

Dan sesungguhnya ini adalah ujian berat, kecuali bagi mereka yang mendapat hidayah dari Allah. Dan Allah tak akan menyia-nyiakan iman kamu. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha Penyayang, Yang Maha Pengasih kepada manusia.”

Di samping alasan di atas, ayat 144 dari surat Al-Baqarah ini menjadi penanda yang membedakan antara akidah Islam dengan akidah lain, dalam hal ini akidah kaum Yahudi dan kaum Nasrani. Sebab, sebelum turunnya ayat ini, umat Islam melaksanakan shalat dengan berkiblat ke Baitul Maqdis di Yerusalem. Sehingga, Yahudi dan Nasrani menganggap ajaran Islam tidak ada bedanya dengan mereka, karena arah dan cara ibadah umat Islam serupa dengan mereka.

Pemikiran itu digunakan pula oleh mereka untuk menyebarluaskan keragu-raguan dan hasutan tidak baik terkait Islam pada masyarakat umum. Karena itulah, Rasulullah SAW kemudian berdoa meminta petunjuk kepada Allah SWT, hingga akhirnya Allah menurunkan ayat 144 dari surat Al-Baqarah di atas.

Sesudah arah kiblat berubah, kaum Yahudi dan Nasrani kala itu masih juga menyebarkan anggapan dan pemikiran yang tidak baik terkait Islam. Salah satunya adalah isu bahwa ibadah umat Islam menjadi tidak berkah apabila tidak dilakukan menghadap Masjid Al-Aqsa.

Di samping itu, dengan menghadap ke Ka’bah, mereka menuduh umat Islam menyembah Ka’bah dan atau menyembah berhala-berhala yang ada di dalamnya, sebagaimana umumnya kaum kafir jahiliyah di wilayah jazirah Arab kala itu juga melakukannya.

Allah SWT menepis anggapan keliru mereka dengan menurunkan ayat 177 dari Surat Al-Baqarah, yang sekaligus juga mengingatkan kaum muslimin terhadap berbagai kewajibannya.

“Bukanlah perbuatan utama bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke timur atau ke barat. Tetapi perbuatan utama itu ialah orang yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, malaikat, kitab suci dan para nabi. Dan memberikan harta atas dasar cinta karena Allah kepada kaum kerabat, anak yatim, kaum miskin, musafir, peminta-minta. Dan memerdekakan budak, menegakkan shalat, membayar zakat, dan menepati janji yang mereka janjikan. Dan yang sabar dalam kesengsaraan, kesusahan, dan di waktu perang. Mereka itulah orang-orang yang tulus. Dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.”

Dalam ayat lain, di Surat Al-Baqarah ayat 115, dinyatakan, “Adapun timur dan barat itu kepunyaan Allah. Dan ke mana saja kamu menghadap, di sanalah yang dituju Allah. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha luas pemberian-Nya, Yang Maha Tahu.”

Lantas, hikmah apa yang bisa kita petik dari berpindahnya kiblat umat Islam dari Baitul Maqdis di Yerusalem ke Masjidil Haram atau Ka’bah di Mekah, sebagaimana diperintahkan dalam ayat 144 surat Al-Baqarah di atas, dan juga ayat-ayat lain yang terkait dengan ayat tersebut?

Pertama, umat Islam harus menyembah dan mengabdi hanya kepada Allah semata, tidak kepada yang selainnya.

Kedua, umat Islam harus senantiasa taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak sedikit pun ragu untuk mengikuti perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Ketiga, umat Islam harus bersatu padu mencapai satu arah tujuan yang sama, tidak terpecah belah karena perbedaan pendapat atau pun keyakinan.

Keempat, dan kami kira ini yang terpenting, umat Islam harus sadar bahwa perbuatan utama yang sesungguhnya bukanlah terutama berkiblat ke arah timur ataukah ke arah barat, sebagaimana disinggung dalam ayat 177 surat Al-Baqarah yang tadi sudah kami bacakan di atas itu, melainkan bagaimana merefleksikan dan mengaktualisasikan iman, baik itu iman kepada Allah, Hari Akhir, Malaikat, Kitab Suci dan Para Nabi, sebagaimana terangkum dalam rukun iman itu, ke dalam wujud perbuatan atau amal yang berdampak pada meningkatnya kebaikan diri pribadi maupun sesama manusia lainnya.

Singkat kata, iman harus berdampak secara individual maupun sosial dalam bentuk kebaikan, kemanfaatan dan kemaslahatan, bagi diri sendiri maupun orang lain.

Di bulan Rajab ini, selain kita melaksanakan amaliah-amaliah syar’iyyah khusus yang disunnahkan oleh baginda Rasulullah Muhammad saw., seperti halnya puasa, dzikir, sedekah, shalat malam dlsb., marilah kita juga menguatkan iman kita, akidah islamiyah kita, sekaligus meningkatkan ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya.

Di samping itu, marilah kita perbanyak amal kebaikan kita kepada sesama, agar kita menjadi sebaik-baik manusia, yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya. Khoirun naas ‘anfa’uhum lin-naas.

Mudah-mudahan dengan demikian kita akan termasuk golongan orang yang dicintai oleh Allah dan RasulNya, sehingga berhak mendapatkan karunia Allah berupa ganjaran kebaikan di dunia dan di akhirat. Amin.

 

Ringkasan Khutbah Jumat Masjid Margi Utami, Pare, Kediri | Jumat, 11 Februari 2022 | Oleh: Asgor Ali

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »