Ahmadiyah bukanlah agama baru di luar Islam, melainkan hanyalah suatu mazhab dalam Islam, sebagaimana mazhab-mazhab lainnya yang sudah populer di kalangan kaum Muslimin.
Oleh: Mulyono | Sekretaris PB GAI
MUSYAWARAH Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia tanggal 16 November 2007 di Jakarta menghasilkan “Sepuluh Kriteria Sesat”. Dua tahun sebelumnya, tepatnya pada tanggal 29 Juli 2005, MUI telah menerbitkan keputusan fatwa hasil MUNAS VII Tahun 2005 yang menetapkan Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah mur-tad (keluar dari Islam). Ini merupakan penegasan keputusan fatwa serupa yang diterbitkan oleh MUI sebagai hasil MUNAS II Tahun 1980.
Selama dua puluh tujuh tahun, sasaran fatwa sesat itu tidak jelas, sehingga terbuka terhadap berbagai penafsiran. Secara eksplisit fatwa MUI tahun 2005 itu hanya menyebut aliran Ahmadiyah dan faham Ahmadiyah. Frase itu bisa ditafsirkan sebagai aliran pemikiran keagamaan atau faham keagamaan menurut pendapat Ahmad, yang pemikirannya disebut Ahmadiyah, sedangkan pengikutnya disebut Ahmadi. Sama halnya dengan pemikiran keagamaan Imam Syafi’i yang disebut Syafi’iyah, dan pengikutnya disebut Syafi’i. Atau pemikiran Imam Hanafi yang disebut Hanafiyah, dan pengikutnya disebut Hanafi, dst.
Ahmad adalah salah satu nama Rasulullah saw. yang disebutkan dalam 61:6, yang berasal dari akar kata yang sama dengan nama Muhammad. Dengan demikian Ahmadiyah sama dengan Muhammadiyah, yakni sama-sama pengikut Nabi Muhammad saw. Jika demikian halnya maka seluruh kaum Muslimin bisa disebut sebagai Ahmadiyah dan Muhammadiyah. Tetapi oleh karena pengikut Nabi Muhammad telah mendapat sebutan tersendiri secara definitif di dalam Al-Qur’an, maka sebutan Ahmadiyah maupun Muhammadiyah menjadi kurang populer.
Pengikut Nabi Muhammad saw. disebut Muslim, yakni orang yang beragama Islam. Bahkan Nabi Muhammadsaw sendiri pun disebut sebagai Muslim, karena beliau adalah penganut Islam.
Kalaupun fatwa sesat itu diarahkan kepada organisasi keagamaan Islam yang berada dan berkembang di Indonesia, maka masih menimbulkan tanda tanya juga. Pasalnya, di Negara Pancasila ini berkembang dua organisasi keagamaan Islam yang sama-sama terdapat kata Ahmadiyah pada nama organisasinya. Yang pertama adalah Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI), atau yang populer dengan sebutan Ahmadiyah Lahore. Yang kedua adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), atau yang populer dengan sebutan Ahmadiyah Qadian. Meskipun sama-sama terdapat kata Ahmadiyah dalam nama organisasinya, tetapi di antara keduanya terdapat perbedaan dalam masalah prinsip-fundamental dalam konteks doktrin keyakinan keagamaannya. Oleh karena itu amatlah keliru dan menjadi sangat naif jika kedua-nya dianggap sama.
Sepuluh Kriteria Sesat yang dirumuskan oleh MUI dalam Mukernas tanggal 16 November 2007 dapat dipandang sebagai cahaya penerang bagi umat Islam Indonesia pada umumnya, khususnya yang berkaitan dengan persoalan Ahmadiyah. Sepuluh Kriteria Sesat itu telah memberikan jawaban yang terang benderang atas pertanyaan yang muncul di seputar fatwa sesat MUI kepada aliran Ahmadiyah. Seperti yang akan segera pembaca lihat pada pembahasan satu demi satu Sepuluh Kriteria Sesat MUI itu dalam buku ini, maka akan tampak dengan tanpa keraguan sedikit pun bahwa Gerakan Ahmadiyah (Lahore) Indonesia tidak termasuk aliran atau paham keagamaan Ahmadiyah yang dinyatakan sesat oleh MUI, baik melalui fatwa tahun 1980 maupun fatwa tahun 2005.
Sekilas Ahmadiyah Lahore
Ahmadiyah adalah gerakan pembaharuan pemikiran keagamaan dan keberagamaan Islam yang dibangun oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) yang bertujuan membela dan menyiarkan Islam untuk mencapai kemenangan di zaman akhir ini.
Nama Ahmadiyah dideklarasikan pada tanggal 4 November 1900, untuk memenuhi tuntutan pemerintah dalam sensus penduduk yang diselenggarakan pada tahun 1901. Dalam sensus itu, seseorang akan didata, antara lain, agama dan mazhab keagamaan yang dianut. Semula, peme-rintah akan memberi sebutan bagi para pengikut Hazrat Mirza Ghulam Ahmad itu dengan Mirza’i atau Qadiyani. Tetapi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menghendaki agar para pengikut beliau disebut Kaum Muslimin Golongan Ahmadiyah. Singkatnya, ajarannya disebut Ahmadiyah, sedangkan orangnya disebut Ahmadi.
Nama Ahmadiyah tidak diambil dari nama beliau (nama asli beliau adalah Ghulam Ahmad, bukan Ahmad saja), melainkan diambil dari salah satu nama Rasulullah saw,. yang disebutkan dalam 61:6, yakni Ahmad. Pemberian nama Ahmadiyah ini dimaksudkan agar para pengikut gerakan ini menghayati perjuangannya dalam membela dan menyiarkan Islam dengan sifat jamali, yakni keindahan, keelokan dan kehalusan budi pekerti. Sifat jamali seperti ini diperagakan oleh Nabi Suci Muhammad saw., khususnya pada periode Makkah. Sementara, dalam periode Madinah, meskipun sifat jamali tetap melekat pada diri Nabi Suci saw., tetapi sifat jalali, yakni sifat keagungan dan kebesaran pribadi Nabi Suci saw. tampak lebih menonjol.
Oleh karena itu Ahmadiyah bukanlah agama baru di luar Islam, melainkan hanyalah semacam mazhab dalam Islam, sebagaimana mazhab-mazhab lainnya yang sudah populer di kalangan kaum Muslimin. Hanya saja, jika mazhab-mazhab lain pada umumnya hanya mencakup satu bidang saja, misalnya aqidah (seperti Asy’ariyah, Mu’ta-zilah, Jabbariyah, dll.), fiqih (seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dll.) tarekat (seperti Qadi-riyah, Naqshabandiyah, Syadziliyah, dll.), maka tidak demikian halnya Ahmadiyah. Ahmadiyah adalah mazhab dalam bidang syari’at dan tarekat, tanpa meninggalkan bidang aqidah.
Oleh karena hanya sebagai mazhab dalam Islam, maka perbedaan antara Ahmadiyah dengan mazhab-mazhab lainnya hanyalah pada masalah-masalah furu’iyah (detail), dan sama sekali bukan dalam masalah pokok asasi agama (ushul). Hal ini tampak jelas dalam keyakinan keagamaan Ahma-diyah yang dirumuskan dalam Rukun Iman, yang tidak berbeda sedikit pun dengan rumusan Rukun Iman di kalangan kaum Muslimin golongan Ahlus-sunnah wal Jamaah, yakni iman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Nabi-nabi Utusan-Nya, Hari Akhir, Qadla dan Qadar-Nya. Demikian juga praktik keagamaannya yang dirumuskan dalam Rukun Islam, yang tidak berbeda dengan Rukun Islam yang diikuti oleh kaum Muslimin Indonesia pada umumnya, yakni: Mengucapkan Dua Kalimah Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji ke Makkah Al-Mukarramah. Sebagai bagian dari Islam, maka tidak bisa tidak ajaran keagamaan Ahmadiyah seluruhnya mengacu pada Al-Qur’an, lalu Sunnah atau Hadits Nabisaw, dan kemudian hasil ijtihad orang-orang tulus.
Satu-satunya kitab suci yang menjadi sumber utama dan pertama dari seluruh ajaran dan syariat Islam yang dikenal oleh pengikut Ahmadiyah Lahore hanyalah Al-Qur’an. Dalam hal ini, posisi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad lebih sebagai penun-tun/penunjuk tentang cara-cara memahami dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah atau Hadits Nabisaw. agar pemahaman dan pengamalan-nya lebih sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan keadaan. Hal serupa dilakukan pula oleh orang-orang tulus pada zaman-zaman sebe-lumnya, seperti misalnya Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Ghazali, Syekh Abdul Qadir Jailani, Ibnu Taimiyah, dan masih banyak lagi.
Para imam besar, yang antara lain tersebut namanya di atas, diakui pula oleh pengikut Ahmadiyah Lahore sebagai pembaharu Islam pada zamannya masing-masing, sebagaimana pengaku-an yang sama ditujukan kepada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, sebagai pembaharu Islam di zaman ini. Itulah makanya, pengikut Ahmadiyah Lahore sama sekali tidak mengakui Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Beliau sendiri, dalam berbagai bukunya, bukan saja meyakini berakhirnya kenabian pada diri Nabi Suci Muhammad saw., bahkan mengutuk orang yang medakwahkan diri sebagai nabi sesudah Nabi Suci Muhammad saw.
Ajaran seperti inilah yang diikuti oleh kaum Ahmadi faksi Lahore, yang di Indonesia nama resmi organisasinya adalah Gerakan Ahmadiyah (Lahore) Indonesia (GAI). Oleh karena itu GAI hanya mempertanggungjawabkan keyakinannya sebagaimana yang terurai secara sekilas di atas, dan tidak bertanggung jawab terhadap keyakinan seseorang atau sekelompok orang yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan keyakinan tersebut.
Akhirnya, seraya menyampaikan ucapan terima kasih dengan setulus hati kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI), kami menyatakan rasa syukur yang mendalam ke hadirat Allah SWT, yang berkenan memberikan hidayah kepada bangsa Indonesia melalui MUI dengan terbitnya Sepuluh Kriteria Sesat itu, sehingga kesalahpahaman yang berujung pada kebencian dari umat Islam pada umumnya kepada Ahmadiyah Lahore (GAI) lambat laun akan hilang. Harapan kami, yang akan terjadi kemudian adalah kepahaman yang berujung pada kecintaan dan membuahkan kedamaian.[Mulyono]
Comment here