Artikel

Jiwa Ibadah

— Pidato Khawaja Kamaluddin pada suatu pertemuan di London yang diketuai oleh M. Pickthall —

Sudah menjadi kehendak Allah bahwa India (sebelum terpecah menjadi Pakistan, India, Nepal dan Bangladesh –red) adalah negara yang beraneka ragam. Rupa-rupanya, India memang bukan tanah air suatu bangsa saja, melainkan gabungan dari berbagai bangsa.

Itulah gambaran dari outsider. Tetapi bagi orang yang bertempat tinggal di India sendiri, negara yang indah ini telah kehilangan ciri-cirinya yang harmonis, antara lain berupa jiwa mengabdi kepada Allah. Jiwa pengabdian yang mewujud dalam kehidupan beragama orang India, yang tampak dalam banyaknya candi, kuil dan masjid di seluruh India.

Datangnya kebudayaan Barat yang bernafaskan atheisme dan materialisme, belakangan mempengaruhi kehidupan harmonis rakyat India yang damai dan tenteram itu. Materialisme menggoda dan menyilaukan rakyat India. Materialisme membuat mereka bersikap gamang dengan agama.

Untungnya, jiwa agama rakyat India tidak sampai luntur benar. Lebih-lebih, kaum cendekiawan India yang telah mereguk pendidikan Barat, berhasil mempertemukan dan mempertautkan ilmu sains dan ilmu agama.

Dalam sebuah harian di India dinyatakan bahwa pendidikan liberal di universitas-universitas Barat telah menelurkan intelektual Barat yang menentang gereja. Tetapi di India, pendidikan liberal itu justu menelurkan intelektual muslim yang semakin kuat imannya terhadap agamanya.

Bagi Muslim India, tak ada perbedaan antara hari Minggu dan hari-hari biasa. Mereka tak mengkhususkan suatu hari untuk menjalankan ibadah, tetapi menjalankan itu tiap pagi dan sore. Jika untuk keperluan duniawi kita bekerja siang dan malam, sudah selayaknya kita harus juga menjalankan ibadah siang dan malam untuk keperluan rohani kita.

Bukankah dunia Barat telah mengenal sabda Yesus, “Manusia tak hanya hidup dari roti saja, melainkan pula dari tiap-tiap firman yang keluar dari mulut Allah.” (Matius 4:3-4).

Karenanya suatu ketika kepada seorang nyonya hartawan, saya terangkan bahwa kaum Muslimin jauh lebih baik daripada kaum Kristen dalam menjalankan ajaran Yesus tersebut.

Seorang Muslim begitu bangun pagi tidak terus minum kopi, tetapi terus mengambil air wudlu dan menjalankan shalat Subuh. Di waktu istirahat kerja di siang hari, seorang muslim akan menjalankan shalat Dzuhur terlebih dulu sebelum menjamah makan siang. Begitu pula di sore hari sepulang kerja, seorang Muslim akan memilih shalat Ashar terlebih dahulu sebelum bertetirah minum teh.

Demikian halnya pula di malam hari, seorang Muslim tidak akan makan malam sebelum ia melaksanakan shalat maghrib, dan tidak akan tidur sebelum ia melaksanakan shalat ‘Isya. Bahkan di antaranya, tidak sedikit yang menjalankan shalat tahajjud saat yang lain lelap dalam tidurnya.

Tetapi, sebenarnya apakah ibadah itu? Ialah kecintaan yang meluap-luap kepada Allah. Jika kita mencintai seorang kekasih, kita pasti suka berbuat apa saja yang sekiranya menyenangkan dan memuaskan sang kekasih.

Demikianlah juga halnya dengan ibadah kepada Allah. Tuhan yang lebih ia cintai daripada seorang kekasih.

Jadi, ibadah bukanlah kepentingan Allah, melainkan kepentingan kita sendiri. Manusia selalu memerlukan sesuatu untuk kepentingan hidupnya. Jika ada dzat yang murah hati yang dapat memenuhi kebutuhan manusia setiap saat, pasi manusia dengan segala keikhlasan akan menjalankan apa saja yang disenangi oleh dzat yang murah hati itu.

Dalam bahasa agama, menjalankan apa saja yang disenangi oleh Dzat Yang Maha Murah itu disebut ibadah. Manusia baru akan merasa tenang dan tentram setelah ia dapat melakukan sesuatu yang menjadi kehendak dzat itu.

Tetapi ini hanyalah ibadah pada tingkat permulaan yang hanya melahirkan ketenangan dan ketentraman hati.

Untuk meningkatkan diri kepada tingkat ibadah yang sempurna, orang harus berusaha melebur dirinya dalam Allah. Artinya, ia harus mencelupkan dirinya dalam warna Allah (2:138), yang oleh Nabi Suci dinyatakan, “takhallaqu bi akhlaaqillah, celupkanlah dirimu dalam akhlak Allah.

Ibadah bukanlah upacara-upacara lahiriah atau ucapan di bibir saja. Dalam tingkat permulaan, ibadah adalah upaya menundukkan kehendak kita di bawah kehendak Allah, Tuhan yang kita cintai itu. Dalam hal demikian, orang harus menempatkan Allah di tempat terdepat dalam segala gerak-gerik dan tingkah lakunya. Jika kehendak Allah masih kalah oleh kehendak sendiri, maka orang belum menjalankan ibadah yang sebenarnya kepada Allah.

Apakah kehendak Allah di muka bumi ini? Ialah agar manusia melaksanakan dengan sempurna evolusinya, sehingga manusia dapat mencapai tujuan kesempurnaannya. Kita wajib menjunjung tinggi dan melaksanakan kehendak Allah itu sebaik-baiknya.

Itulah ibadah tingkat permulaan. Adapun ibadah tingkat selanjutnya ialah berusaha sekuat-kuatnya untuk melebur diri dalam Allah. Dalam Agama Buddha disebut nirvana, artinya memusnahkan diri sendiri. Dalam Islam disebut aslama, artinya berserah diri sepenuhnya kepada Allah.

Dengan menyalakan api kecintaan dan jiwa pengabdian kepada Allah, maka segala nafsu jahat dan keinginan rendah akan mati terbakar. Sehingga dengan demikian, jiwa manusia menjadi suci.

 

Sumber Artikel : Warta Keluarga GAI No. 95/96 – Nov/Des 1978

Yuk Bagikan Artikel Ini!
Translate »