AkademikaEdisi KemerdekaanKliping

JIB : Generasi Emas Intelektual Islam

Oleh : Beggy | Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

JIBPada suatu malam tahun baru 1924, dalam sebuah kongres Jong Java, diusulkan untuk mengadakan pendidikan agama Islam bagi anggota Jong Java. Usul ini diajukan oleh Sjamsurizal, atau lebih dikenal dengan Raden Sjam. Usul ini diajukan karena pendidikan agama lain, seperti Kristen, bahkan Teosofi diterima oleh anggota Jong Java. Sjamsurizal beranggapan bahwa untuk mengenal bangsanya sendiri, maka tidak bisa tidak, anggota Jong Java memerlukan pendidikan agama Islam, sebuah agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk bangsanya.

Usul Sjamsurizal ditolak hingga dua kali pemungutan suara.  Akhirnya Sjamsurizal, sebagai ketua kongres, menarik usulan ini. Padahal Sjamsurizal, sebagai ketua memiliki kewenangan untuk memutuskan hasil akhir dari pemungutan suara, karena berakhir dengan dua kali suara yang seimbang. Namun Sjamsurizal tak ingin dianggap memaksakan usulnya, dengan memanfaatkan kewenangannya sebagai ketua.[1]

Takdir Allah berkata lain. Tak ada pendidikan agama Islam di Jong Java. Tapi inilah hikmahnya. Sebuah hikmah yang kemudian berbuah manis. H. Agus salim yang turut hadir dalam kongres itu rupanya merasakan kekecewaan Sjamsurizal. Ia kemudian menghiburnya.

“Pimpinan kelompok pemuda beragama Islam ini, Sjamsurizal, sangat sedih dan ketika pulang malam dari kongres itu aku mencoba menghiburnya dan berkata ; jangan sedih, mari kita segera bentuk persatuan pemuda Islam dan kita akan menerbitkan surat kabar Islam berjudul Het Licht (Sinar). Orang-orang itu telah mencoba mematikan sinar Ilahi tetapi tuhan tak akan membiarkannya! Maka disudut jalan itu, pada malam tahun baru jam 24.00, 1 Januari 1925 dibentuklah Jong Islamieten Bond (JIB).”[2]

Selanjutnya Sjamsurizal membicarakan usulan tersebut dengan teman-temannya. Di sebuah ruang kelas di Muhammadiyah Yogyakarta, pertemuan itu sendiri dihadiri oleh H. Agus Salim, Tjokroaminoto  dan KH Ahmad Dahlan. Namun secara resmi JIB baru dibentuk 1 Maret 1925.[3] Sejak awal pendirianya JIB memang tak bisa lepas dari jejak langkah tokoh-tokoh pergerakan Islam seperti Tjokroaminto, H. Fahcrodin, dan  khususnya H. Agus Salim. Beliaulah tempat para anggota JIB menimba ilmu dan pengalaman.  Namun JIB sendiri tidak melibatkan diri dalam politik. Anggota JIB tidak boleh terjun ke gelanggang politik atas nama JIB. Namun tak melarang untuk terjun atas nama pribadi. Dalam kursus, debat atau ceramah JIB, sedapat mungkin anggotanya diberi pengertian tentang politik.

Sejak awal JIB memang bermuatan ideologi Islam. Bagi pemuda-pemuda pribumi yang mendapatkan pendidikan barat memang merasakan kekosongan Islam dalam pendidikan mereka. Semangat modernisme dan rasionalisme saat itu menggelayuti para pemuda didikan barat. Maka tak heran mereka memiliki sikap begitu kritis. Namun di balik segala pengaruh barat itu, mereka merasakan kerinduan dan kepedulian terhadap Islam.  Pencarian akan identitas Islam tersalurkan dalam JIB. Pendidikan, kursus-kursus yang mereka dapatkan dari tokoh-tokoh Islam seperti H. Agus Salim (Sarekat Islam), H. Fachrodin (Muhammadiyah) serta organisasi pembaharu Islam seperti PERSIS,  dapat menyingkirkan kabut yang selama ini menutupi mereka dari cahaya Islam. Tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam kepada anggota JIB adalah H. Agus Salim. Dari H. Agus salim-lah para anggota JIB belajar tentang kepemimpinan. Bahwa memimpin adalah menderita. Mereka juga belajar tentang kesederhanaan. Belajar mengenal Islam, organisasi hingga politik.

Kongres pertama JIB berlangsung di Yogyakarta pada Desember  1925. Tujuan JIB seperti termaktub dalam anggaran dasarnya, antara lain; menyelidiki dan memajukan ke-Islam-an anggotanya; Menimbulkan dan memajukan perasaan cinta kepada Islam dengan sepenuh keyakinan kesabaran (toleransi) terhadap yang berkeyakinan lain; menimbulkan dan memajukan pergaulan antara kaum terpelajar masing-masing, dan antara mereka dengan rakyat menurut pengajaran Islam; serta membangun jasmani dan rohani anggotanya dengan jalan mendidik diri sendiri dan bekerja sendiri.[4]

Semenjak itu JIB berkembang sangat pesat. Setelah kongres pertama, ditetapkan ketuanya Sjamsurizal, kemudian Wiwoho Purbohadidjojo, serta Kasman Singodimedjo (kelak menjadi anggota Masyumi dan Jaksa Agung pertama RI). Dalam keanggotannya JIB menerima siswa dari usia 14 tahun hingga 30 tahun. Siswa-siwa MULO (Setingkat sekolah menengah pertama) dan AMS (Sekolah lanjutan tingkat atas), hingga mahasiswa menjadi anggotanya. Pada akhir 1925 saja, JIB telah memiliki 7 cabang, dengan 1004 anggota. Hingga tahun 1933 JIB telah memiliki 55 cabang, dengan 4000 anggota setidaknya di Jawa dan Sumatera. Nama-nama lain kemudian bergabung dengan JIB seperti M. Natsir, M. Roem, serta Jusuf Wibisono kelak menghiasi prestasi JIB, kemudian partai Masyumi. [5]

Berkat berdirinya JIB, kaum terpelajar muslim yang mendapatkan pendidikan Belanda, bisa terpuaskan dahaganya dengan pendidikan Islam. Namun prestasi JIB tidak hanya dalam bidang pendidikan tersebut. JIB mendirikan organisasi kepanduan bernama NATIPIJ (Nationaal Indonesische Padvinderij). Organisasi ala pramuka ini tak hanya mengkader anak-anak usia 10 hingga 13 tahun, tetapi juga memberikan kursus-kursus pengetahuan  Islam sejak dini. JIB juga membentuk SIC (Studie Informatie Comissie). Komisi ini berfungsi untuk memberikan informasi kepada orang tua tentang sekolah-sekolah, baik sekolah barat maupun Islam, baik di Belanda maupun di Kairo.  Selain itu JIB juga membentuk divisi perempuan JIB, dengan nama JIBDA (JIB Dames Afdeling). Namun yang paling mengesankan adalah terbitnya majalah Het Licht (An Nur). Het Licht terbit pertama kali dua bulan setelah berdirinya JIB. Majalah ini dicetak di percetakan Muhammadiyah Yogyakarta. Het Licht menjadi sarana untuk menyebarluaskan gagasan JIB serta isu-isu yang berkaitan dengan Islam. Sasaran utama majalah ini adalah para pelajar sekolah Barat, serta kalangan umum. Het Licht mampu terbit teratur sebulan sekali hingga tahun 1931. Dan berhasil bertahan terbit hingga JIB dibubarkan oleh Jepang pada 1942. Walaupun terbit dalam bahasa Belanda, namun pada 1928 mulai menyisipkan beberapa artikel dalam bahasa Indonesia.

Het Licht mengangkat berbagai isu yang berkenaan dengan Islam. Salah satunya adalah Isu Islam dan kebangsaan. Merebaknya semangat kebangsaan dan nasionalisme membuat JIB, sebuah organisasi yang berdasarkan Islam, dikritik sebagai anti nasionalis. Beberapa bahkan mengkritik dengan kasar, dan mencibir JIB sebagai Jong Idioten Bond. Sementara itu sikap JIB terhadap nasionalsime atau kebangsaan adalah;

“Kita pemuda intelek Islam berpandangan lebih luas terhadap kebangsaan. Dimana kita berasal dari daerah dimana bangsa itu berdiam…Sudah barang tentu perhatian utama kita adalah tanah air kita sendiri dimana Islam menjadi agama kebanyakan penduduk. Tetapi disamping tugas yang tertinggi itu , kita masih punya tugas lain, yaitu : berjuang untuk umat Islam di seluruh dunia. “[6]

Bagi JIB memperjuangkan Indonesia untuk merdeka adalah cita-cita mereka jua. Namun JIB berpendapat bahwa  Islam-lah yang paling tepat untuk dijadikan ideologi Indonesia. Komitmen JIB terhadap Indonesia, dibuktikan JIB dengan mengirim delegasinya, Johan Mahmud Caya dan Ma’mun Al Rasyid untuk menghadiri Kongres Pemuda kedua di tahun 1928. Sejarah kemudian mencatat peran pemuda Islam dalam kongres pemuda yang bersejarah itu. Tak hanya soal tanah air, JIB turut menggemakan soal perjuangan umat Islam di Palestina. Dalam Isu umat Islam, JIB, melalui terbitannya di bulan Juni 1930 mendukung perjuangan Palestina atas Israel. Dan menolak tembok ratapan di dekat Masjid Al Aqsha.[7]

Dibalik prestasi JIB, banyak tanda tanya seputar pengaruh Ahmadiyah yang menggelayuti JIB. Pertanyaan ini muncul karena ada silang pendapat perihal Ahmadiyah yang tercatat dalam polemik di Het Licht dan terdapat anggota JIB yang kelak menjadi tokoh Ahmadiyah (Lahore) di Indonesia. Perlu diketahui, gerakan Ahmadiyah (Lahore) masuk ke Indonesia sejak tahun 1924.[8] Saat itu, missionaries mereka, Mirza Wali Ahmad Baiq, adalah salah satu tokoh Ahmadiyah yang menonjol, sempat menetap di Yogyakarta, yang merupakan jantung Muhammadiyah.  Awalnya diterima dengan tangan terbuka oleh pegiat Islam. Kecerdasan Ahmad Baiq juga menarik perhatian kalangan muslim terpelajar, termasuk anggota-anggota JIB. Ahmad Baiq sempat memberikan kursus-kursus Islam di JIB. Patut diingat, topeng ajaran Ahmadiyah saat itu belum terkuak oleh masyarakat luas, sehingga Ahmad Baiq masih diterima dengan tangan terbuka. Ketika hakekat ajaran Ahmadiyah terbongkar, timbul reaksi keras dalam umat Islam. Muhammadiyah kemudian menentang Ahmadiyah.[9] Dua mantan pengurus Muhammadiyah, R. Ng. Djojosugito, dan Muhammad Husni, membentuk organisasi sendiri, yaitu Gerakan Ahmadiyah Indonesia Centrum Lahore. Hal ini diikuti oleh salah seorang anggota JIB yang cukup menonjol, Muhammad Kusban. Ia mengakui sebagai pengikut mereka. [10]

Reaksi JIB terhadap Ahmadiyah bercabang dua. Terhadap Ahmadiyah Lahore, umumnya tidak menentang secara organisasi, namun, mengkritik ajaran-ajaran Ahmadiyah Lahore. Namun terhadap Ahmadiyah Qadiani, JIB menganggap mereka sebagai serangan ajaran Islam. Polemik dimulai dalam Het Licht ketika Ahmad Sarida menulis ‘De Weredleraar (Guru Dunia) ‘, Mengabarkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Hal ini dibantah kembali oleh A. Kamil dalam Het Licht edisi Juli-September 1928 dengan tulisan ‘Stop!!! Hendak Kemana lagi?’ Berikutinya muncul tulisan Hashim yang membantah kenabian Mirza Ghulam Ahmad, dengan mengutip hadis yang mengabarkan Rasulullah sebagai Nabi terakhir. Artikel-artikel susulan pun terus bermunculan, namun pro dan kontra, ditutup oleh artikel terakhir oleh Soemitro di Het Licht April 1930, berjudul  ‘Moehammad, de Laatste Profeet (Muhammad Nabi Terakhir)’.[11]

Salah satu sebab lain tuduhan bahwa JIB dipengaruhi Ahmadiyah adalah maraknya tafsir The Holy Qur’an, karya Maulana Muhammad Ali yang menjadi bacaan anggota-anggota JIB. Kontroversi pemakaian tafsir ini sebenarnya tidak hanya menggelayuti anggota-anggota JIB saja. Bahkan H.O.S Tjokroaminoto sampai membuat terjemahan dari tafsir ini. Dan hal ini membuat polemik antara Tjokroaminoto (Sarekat Islam) dengan Muhammadiyah. Dalam hal ini, H. Agus Salim pun turut membela Tjokroaminoto dan menunjukkan keunggulan tafsir Holy Quran ini. Kabut kontroversi pemakaian tafsir Holy Quran ini bisa tersingkirkan, jika kita memahami keadaan saat itu. Di masa itu, sangat sulit untuk mendapatkan tafsir yang dapat dipahami kalangan intelektual non santri, yang tak bisa memahami bahasa dan tulisan Arab. Ditambah lagi beberapa pembahasan Holy Quran yang dirasa dapat memuaskan dahaga kaum intelektual saat itu. Namun bukan berarti para pembaca tafsir tersebut setuju dengan ajaran Ahmadiyah[12]

Bagaimana pun, JIB adalah wadah para pemuda muslim yang saat itu begitu haus akan Islam dan berpikiran terbuka karena pendidikan barat. Para anggota JIB juga mampu menjawab berbagai tudingan miring terhadap Islam.  Berbagai persoalan diangkat oleh anggota-anggota JIB melalui Het Licht, atau pun diskusi-diskusi, tak hanya soal kebangsaan, tapi juga seputar peranan perempuan, bunga bank, dan lain-lain. Mereka terbiasa untuk berdebat, teguh mempertahankan pendapat, tetapi tetap berhubungan baik.

Perbedaan-perbedaan pendapat itu pula yang akhirnya menimbulkan ‘perpecahan’ di JIB. Setelah mengalami masa-masa kejayaan dengan bertambahnya cabang dan anggota JIB, langkahnya mulai surut. Setelah masa-masa awal kepemimpinan Sjamsurizal, kemudian JIB mengalami masa perkembangan pesat di bawah Wiwoho Purbohadidjojo selama empat tahun (1926-29). Bahkan  tahun 1931 JIB mampu mendirikan sekolah HIS di Tegal dan Tanah Tinggi (Batavia). Kepemimpinan Wiwoho kemudian digantikan oleh Kasman Singodimedjo hingga tahun 1935. Di masa akhir kepemimpinan Kasman, JIB mengalami pergolakan yang cukup dahsyat, badan kepanduan mereka, NATIPIJ memisahkan diri dari JIB. NATIPIJ yang diketuai Roem merasa mereka perlu menjadi badan yang independen. Namun perpecahan yang paling besar adalah ketika Roem dan Jusuf Wibisono memutuskan keluar dari JIB dan membentuk organisasi baru bernama Studenten Islam Studieclub (SIS). Mereka merasa JIB tak mampu lagi menampung perkembangan intelektualitas mahasiswa Islam. Maka pada Desember 1934 SIS berdiri dibawah prakarsa Roem dan Jusuf Wibisono. Pada tahun kedua, SIS mengeluarkan majalah Moslime Reveil dengan motto surat Ar Ra’ad ayat 11, “Allah tidak merubah nasib sesuatu bangsa, apabila bangsa itu sendiri tidak merubahnya.”[13]

JIB kemudian terus berlayar, walau tak mampu mengulangi prestasi di masa jayanya, dibawah nahkoda M. Arif Aini (1935-1937), Soenarejo Mangoenpoespito (1937-1942). Tinta sejarah mereka berhenti menetes ketika dibubarkan oleh pendudukan Jepang tahun 1942. Namun JIB tetap sebuah organisasi yang berkontribusi besar dalam pergerakan Islam di Indonesia. JIB adalah pesantrennya kaum intelektual muda didikan barat yang mencintai Islam. Buya Hamka menyebut para anggota JIB, “…yang lebih memperdalam pengertian dan amalan agama sehingga Islam tidak hanya menjadi pengetahuan, tetapi menjadi dasar dan pandangan hidup.”[14]

Jejak langkah para anggota JIB kemudian tercatat dalam lembaran besar sejarah bangsa. Para anggotanya tersebar, turut meruntuhkan penjajahan, mengisi bangsa dengan jiwa Islam. Kelak banyak para anggota JIB menjadi tokoh-tokoh kunci di Masyumi, seperti M. Natsir, Kasman Singodimedjo, M. Roem, Jusuf Wibisono dan lain-lain. Maka tidak salah jika kita menyebut JIB sebagai menjadi generasi  emas intelektual Islam di tanah air. Kelak, ratusan dari mereka, menggerakkan jutaan umat mengarungi pergolakan negeri dalam bahtera Masyumi.

Tak heran jika Buya Hamka menyanjung jejak langkah yang ditorehkan para anggota JIB. Menurutnya,

“Intelek pejuang bekas didikan Haji A. Salim dan anggota Kernlingaam tadi, dengan sendirinya telah dapat menutup mulut kaum intelek didikan barat, yang siang malam bermimpi bahasa belanda tadi, yang memandang Islam sebagai, ‘Islam Sontoloyo, santri gudikan atau kiyai bini banyak atau kolam masjid kotor atau Islam yang tidak bisa dipakai untuk kemajuan atau orang Islam harus menganut modernisasi, kalau perlu musti pandai berdansa’ dan sebagainya.”[15]



[1] Saidi, Ridwan. 1990. Cendikiawan Islam Zaman Belanda. Studi Pergerakan Intelektual JIB dan SIS (’25-’42). Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu

[2] 1996. 100 Tahun Haji Agus Salim. Jakarta : Sinar Harapan

[3] Husni, Dardiri. 1998. Jong Islamieten Bond : A Study of A Moslem Youth In Indonesia During The Colonial Era (1924-1942). Tesis M.A. Montreal Canada : McGill University

[4] Saidi, Ridwan.

[5] Ibid.

[6] Ibid

[7] Dardiri, Husni.

[8] Zulkarnain, Iskandar. 2005. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta : LKiS

[9] Beck, Herman L. 2005. The Rupture Between Muhammadiyah and Ahmadiyya. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde.

[10] Saidi, Ridwan.

[11] Dardiri, Husni.

[12] Ichwan, Moch. Nur. 2001. Differing Responses to an Ahmadi Translation and Exegesis. The Holy Qur’an in Egypt and Indonesia. Archipel Vol 62.

[13] Saidi, Ridwan.

[14] HAMKA. 2002. Pengharapan Kepada Intelektual Islam dalam Dari Hati ke Hati. Jakarta : Pustaka Panjimas.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »