ArtikelHari Besar Islam

Isra’ dan Mi’raj: Perjalanan Spiritual Nabi Suci Muhammad saw.

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. dapat dibagi menjadi tiga babak. Pertama, kejadian sebelum Isra’ (prolog). Kedua, peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu sendiri. Ketiga, kejadian sesudah peristiwa Isra’ dan Mi’raj (epilog).

 

Kejadian Sebelum Peristiwa Isra’

Perlawanan, fitnahan dan penganiayaan kaum kafir ternadap Nabi Muhammad saw. dan para Sahabat, kian lama kian bertambah berat. Dengan meningkatnya jumlah kaum Mukmin, kekejaman musuh semakin menjadi-jadi.

Karena tak tahan melihat penderitaan yang dialami para Sahabat, Nabi Muhammad saw. menasehatkan agar mereka mengungsi ke Kerajaan Habsyi (Ethiopia). Kini Nabi Muhanmad saw. hanya tinggal seorang diri, dan hanya ditemani oleh isteri dan beberapa gelintir Sahabat, menghadapi perlawanan kaum kafir yang semakin mengganas. Satu-satunya penghalang yang disegani oleh fihak musuh ialah paman beliau, Abu Thalib.

Pada tahun ke-10 Bi’tsah, Abu Thalib meninggal dunia. Peristiwa ini menyedihkan Nabi Muhammad saw. Namun kesedihan ini segera disusul dengan kesedihan yang lebih berat lagi, yaitu isteri beliau yang selalu mendampingi oan menghibur beliau, Khadijah, juga meninggal dunia. Oleh sebab itu dalam sejarah Islam, tahun ini dikenal dengan sebutan ‘amul huzn (tahun kesusahan).

Dengan hilangnya Abu Thalib dan Siti Khadijah, perlawanan musuh lebih mengganas lagi. Di tengah-tengah gelombang yang tampaknya amat gelap ini, Nabi Muhammad saw. kedatangan malaikat Jibril, untuk bersana-sama beliau menjalankan Isra’ dan Mi’raj.

 

Peristiwa Isra’ Mi’raj

Allah bersabda dalam Qur’an Suci: “Maha Suci Dia yang menjalankan hambaNya di waktu malam, dari Masjid Suci ke Masjid yang Jauh, yang sekitarnya Kami berkahi, agar kami perlihatkan kepadanya ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Dia itu Yang Maha mendengar Yang Maha melihat.” (Bani Israil 17:1)

Dari Ayat ini terang sekali bahwa tujuan Isra’ Nabi Muhammad saw. ialah untuk diperlihatkan ayat-ayat (pertanda) Tuhan, agar Nabi Muhammad menyaksikan sendiri ayat-ayat Tuhan itu. Semua pertanda Tuhan yarg diperlihatkan kepada Nabi Muhammad saw. Di malam Isra’, bukanlah benda-benda fisik. Maka untuk melihat ayat-ayat ini, Nabi Muhammad tak menggunakan mata jasmani, melainkan mata ruhani, atau yang dalam istilah Qur’an disebut fu’ad.

Rahasia ini diungkapkan oleh Qur’an Suci sebagai berikut: “Dan Kami tak membuat ru’ya (visiun) yang kami perlihatkan kepada engkau selain hanya sebagai percobaan (ujian) bagi manusia.” (Bani Israil 17:60).

Dari ayat ini terang sekali bahwa semua pertanda Tuhan yang diperlihatkan kepada Nabi Suci Muhammad saw. di malam Isra’, semuanya berbentuk visiun (ru’ya), yaitu barang-barang yang hanya dapat dilihat oleh mata ruhani saja.

Untuk lebih yakin lagi bahwa ayat-ayat (tanda-tanda) yang diperlihatkan kepada Nabi Muhammad saw. di malam Isra’ bukanlah benda fisik, kita renungkan Hadits berikut ini: “Lalu didatangkan kepadaku sebuah bokor emas yang penuh dengan iman dan hikmah, lalu dituangkannya dalam dadaku.” (HR Bukhari). Iman dan Hikmah bukanlah benda-benda kongkrit, yang dapat ditimbun dalam bokor, atau dilihat oleh mata jasmani.

Hadits selanjutnya: “Lalu didatangkan kepadaku buraq berwarna putih, yang lebih besar daripada himar, tetapi lebih kecil daripada bighal, yang dapat melangkah sejauh mata memandang, yang di waktu mendaki, kaki belakangnya memanjang, dan di waktu turun, kaki depannya memanjang.” (HR Bukhari). Inipun ruhaniyah, yang dilihat oleh Nabi Nuhamnad saw. di malam Isra’ saja.

Selanjutnya: “Setelah aku dan Jibril sampai di Baital-Maqdis, aku bersalat jama’ah di Masjid. Aku menjadi imam, dan para nabi ma’mum di belakangku.” Inipun ruhaniyah, yang hanya dilihat dengan mata ruhani Nabi Muhammad saw., karena para nabi telah lama meninggal dan tak mungkin kembali dengan badan jasmani di dunia, dan sebagainya.

Setelah Nabi Muhammad saw. selesai menjalankan Isra’, beliau diantar oleh malaikat Jibril, menjalankan Mi’raj. Kata Mi’raj tidak terdapat dalam Qur’an Suci, melainkan terdapat dalam Hadits. Qur’an Suci hanya menerangkan peristiwa penting tentang Mi’raj. Periksalah Surat An-Najm ayat 1-18.

Dalam Hadits, Nabi Muharrmad saw. meriwayatkan perjalanan Mi’roj melalui langit tingkat satu, tingkat dua, sampai tingkat tujuh. Di langit tingkat satu, Nabi Muhammad berjumpa dengan Nabi Adam; di tingkat dua Nabi Isa dan Nabi Yahya; di tingkat tiga Nabi Yusuf; di tingkat empat Nabi Idris; di tingkat lima Nabi Harun; di tingkat enam Nabi Musa; di tingkat tujuh Nabi Ibrahim.

Sudah barang tentu, pertemuan Nabi Muhammad dengan para nabi tersebut juga bersifat ruhaniyah, karena mereka sudah lama meninggal dunia. Dan ini membuktikan bahwa Nabi Isa sudah meninggal seperti nabi lainnya, karena jika beliau masih hidup, nabi lain-lainnya juga harus dianggap masih hidup.

Setelah melintasi langit tingkat tujuh, sampailah Nabi Muhammad di Sidratul-Muntaha. Sidrah adalah sebangsa pohon, yang di tanah Arab dijadikan tempat beristirahat atau tempat berkumpul, karena keteduhannya. Tetapi di sini kata sidroh disifati dengan al-Muntaha, artinya yang paling penghabisan.

Imam Raghib Isfahani, ahli kamus Qur’an yang terkenal, menerangkan arti Sidrotul Muntaha sebagai berikut: “Sidratul Muntaha ialah tempat dimana Nabi Muhammad terpilih untuk menerima anugerah dan kenikmatan Allah yang amat besar.”

Imam Zamakhsyari dalam Tafsir Kassyaf, menerangkan sebagai berikut: “Sidratul Muntaha ialah batas penghabisan ilmu malaikat dan lain-lainnya, dan di luar ini, malaikat dan lain-lainnya tidak tahu apa-apa lagi.”

Oleh karena itu di waktu Mi’raj, malaikat Jibril hanya mengantar Nabi Muhammad saw. sampai Sidratul Muntaha, dan malaikat Jibril tak dapat meningkat lebih tinggi lagi. Tetapi Nabi Muhammad dapat melintasi ini, dan terus meningkat ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu di tingkat alam lahut, yaitu alam ketuhanan.

Hal ini menunjukkan bahwa Sidratul Muntaha bukanlah tempat, melainkan suatu tingkat dalam ruhani, yang memisahkan alam malakut (alam malaikat) dengan alam lahut. Dan ini menunjukkan pula, bahwa tingkat ilmu Nabi Muharrmad saw. tentang perkara Ketuhanan (knowledge of things divine) dan tentang perkara yang ghaib-ghaib (mystical aspects of reality) adalah yang paling tinggi.

Hal ini dilukiskan sebagai berikut: “Dan dia (Muhammad) berada di cakrawala yang paling atas. Lalu ia mendekat dan bertambah dekat lagi. Maka dia ada pada jarak dua busur, atau lebih dekat lagi.” (An-Najm 53:7-9).

Jarak dua busur ini menggambarkan dekatnya Nabi Muhammad saw. dengan Tuhan. Maka dari itu, sekalipun beliau itu manusia, tetapi manusia yang berada di cakrawala yang paling tinggi.

Sebagian orang berkata bahwa yang diisyaratkan ayat ini bukanlah Nabi Muhammad saw., melainkan malaikat Jibril. Ini keliru sekali. Kekeliruan ini mungkin disebabkan karena mereka keliru menafsirkan ayat sebelumnya, yang berbunyi seperti berikut: “Tuhan Yang paling kuat telah mengajarkan kepadanya” (An-Najm 53:5).

Kata syadidul-quwa yang seharusnya berarti Tiltan Yang Paling Kuat, keliru mereka tafsirkan dalam arti malaikat Jibril yang sangat kuat. Yang mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. Bukanlah malaikat Jibril, melainkan Tuhan sendiri; malaikat Jibril hanya sekedar menyampaikan saja.

Marilah kita bandingkan ayat ini dengan lima ayat pertama dari Surat Al-‘Alaq. Di sini bukan malaikat Jibril yang mengajar dengan kalam, melainkan Tuhan sendiri. Malaikat Jibril hanya sekedar menyampaikan Wahyu belaka.

Selanjutnya diriwayatkan dalam Hadits, bahwa di malam Mi’raj, Nabi Muhammad saw. melihat Sorga, bahkan pula melihat Tuhan. Sudah barang tentu ini tak mungkin, jika Mi’raj Nabi Muhammad saw. dilakukan dengan badan jasmani.

Pendek kata, semua keterangan yang implisit dan eksplisit yang kami peroleh dari sumber-sumber yang sah dan dapat dipercaya, dapat kami tarik kesimpulan, bahwa segala sesuatu yang dialami Nabi Muhammad saw. di waktu Isra’ dan Mi’raj semuanya bersifat ruhaniyah, dan tak dapat dialami oleh badan jasmani, melainkan oleh badan ruhani. Oleh sebab itu Mi’raj Nabi Muhammad bukanlah dengan badan jasmani, melainkan dengan nii atau dengan tubuh ruhani.

Kesimpulan ini lebih dijelaskan lagi dalam epilog Isra’ dan Mi’raj yang diriwayatkan dalam Hadits Bukhori, yang berbunyi seperti berikut: “Tatkala kaum Quraisy mendustakan aku, aku berdiri di atas Hijir, lalu Allah menampakkan Baitul-Maqdis di depanku, dan aku memandangnya, lalu aku memberitahukan kepada mereka, tanda-tanda yang mereka tanyakan kepadaku” (HR Bukhari).

Jadi tatkala Nabi Muhammad saw. memberitahukan kepada kaum Quraisy bahwa beliau semalam telah menjalarkan Isra’ ke Baitul Maqdis, kaum Quraisy karena tak percaya akan uraian Nabi Muhammad, mengajukan beberapa pertanyaan tentang Baitul Maqdis. Maka di saat itu, sekali lagi Baitul Maqdis tampak di hadapan Nabi Muhammad saw, sehingga beliau dengan mudah menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh kaum Quraisy kepada beliau.

Hai ini menunjukkan bahwa pengalaman beliau di waktu Isra’ dan Mi’raj itu sejenis dengan pengalaman beliau di waktu menjawab pertanyaan kaum Quraisy. Jadi bukan jasmani beliau yang bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain, melainkan yang aktif di saat itu ialah tubuh ruhani beliau. Atau, untuk meminjam kata-kata dalam bahasa Inggris, yang aktif pada diri Nabi Muhammad saw. di saat itu, bukanlah “the normal rationai consciousness” atau “sensor intellectual consciousness” (intelektuil, cendekiawan), melainkan “the mystical consciousness”.

 

Kejadian Sesudah Peristiwa Isra’ Mi’raj

Peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan titik tolak sejarah kemenangan Nabi Muhammad saw. Peristiwa Isra’ mengandung ramalan akan kemenangan beliau setelah Hijrah ke Madinah. Peristiwa Mi’raj mengandung ramalan akan kemenangan Islam di atas sekalian agama di dunia.

Tepat setelah peristiwa Isra’ terjadilah peristiwa Bai’at ‘Aqabah pertama. Peristiwanya adalah demikian. Pada tahun ke-11 Bi’tsah, di waktu musim haji, nabi Muhammad saw. berjumpa dengan beberapa orang yang datang dari Madinah. Mereka ini dari Kabilah Khazraj. Setelah saling memperkenalkan diri, Nabi Muhammad saw. menerangkan tentang keindahan agama Islam.

Akhirnya mereka memeluk Islam. Mereka mengharap kedatangan Nabi Muhammad di Madinah. Sepulang mereka di Madinah, mereka menceritakan Nabi Muhammad dan agama baru ini kepada kabilah mereka, yang disambut dengan antusias. Bahkan ada beberapa orang yang seketika itu memeluk Islam.

Pada tahun berikutnya (tahun ke-12 Bi’tsah), berangkatlah 12 orang ke Mekkah, untuk menjalankan ibadah haji. Nabi Muhammad saw. menjumpai mereka di suatu tempat yang terkenal dengan nama ‘Aqabah. Di tempat inilah mereka menyatakan bai’at kepada Nabi Muhammad saw. yang terkenal dengan Bai’at ‘Aqabah Pertama.

Sepulang mereka di Madinah, Nabi Muhammad saw. Mengutus seorang mubaligh bernama Mus’ab bin ‘Umair. Berkat kegiatan Mus’ab, pemimpin kabilah ‘Aus dan Khazraj, memeluk Islam. Kemudian menyusul berpuluh-puluh orang memeluk Islam. Sehingga pada nusim haji tahun berikutnya (tahun ke-13 Bi’tsah) berangkatlah 73 orang, di antaranya 2 orang wanita, ke Mekkah. Nabi Muhammad saw. menjumpai mereka di tempat yang sama, yaitu di ‘Aqabah. Di tempat ini pula, mereka menyatakan bai’at kepada Nabi Muhammad saw. yang terkenal dengan Bai’at ‘Aqabah Kedua.

Tak lama kemudian, tibalah saatnya Nabi Muhammad saw. Hijrah ke Madinah. Kemenangan demi kemenangan, susul menyusul, sampai akhirnya seluruh jazirah Arab menyembah Allah Yang Maha Esa. Dengan tambahan penjelasan berikut ini, lebih terang lagi bahwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. terjadi dengan badan ruhani.

Sebagian besar kaum Muslimin mempunyai pengertian bahwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. itu terjadi dengan badan jasmani. Pengertian ini begitu dipegang teguh, hingga orang yang berani berkata bahwa Isra’ dan Mi’raj itu terjadi dengan badan ruhani, ia dianggap tak percaya kepada kekuasaan Tuhan.

Tidak jarang mereka mengemukakakan dalil ilmiah untuk membuktikan benarnya kepercayaan mereka, walaupun pengetrapan dalil yang dikemukakan itu menurut hemat kami kurang pada tempatnya. Misalnya langit tujuh dipersamakan dengan tata surya kita, dan naiknya Nabi Muhammad saw. dipersamakan dengan meluncurnya pesawat Apollo.

Bagi orang awam, pengertian Mi’raj semacam itu adalah kisah yang menyenangkan. Akan tetapi Isra’ dan Mi’raj itu sebenarnya bukan kisah, melainkan suatu pengalaman Nabi Muhammad saw. yang sangat luhur dan mulia.

Dalam menafsirkan Isra’ dan Mi’raj itu mereka mengambil Qur’an dan Hadits; misalnya mengenai Mi’raj, mereka mengambil Surat An-Najm ayat 1-6. Betul! Akan tetapi penafsirannya begitu aneh, hingga menghilangkan keluhuran Mi’raj. Mereka menafsirkan bahwa yang dibicarakan dalam ayat-ayat ini ialah hubungan antara malaikat Jibrill dan Nabi Muhammad saw.

Apa yang kami anggap aneh ialah, mengapa kata syadidul-quwa dalam ayat 5, ditafsirkan malaikat Jibril yang sangat kuat? Tugas malaikat Jibril adalah bukan mengajarkan Qur’an, melainkan ditugaskan oleh Allah untuk menyampaikan Qur’an kepada Nabi Muhammad saw.

Adapun yang mengajarkan Qur’an ialah Allah sendiri. Qur’an Suci berfirman sebagai berikut: “Tuhan yang Maha pemurah, yang mengajarkan Qur’an” (Ar-Rahman 55:1-2). Maka yang benar ialah, syadidul-quwa harus ditafsirkan: Tuhan yang Paling Kuat. Dengan demikian maka arti ayat-ayat berikutnya nampak lebih serasi dengan Mi’raj yang sebenarnya.

Nabi Muhammad yang diberi predikat sayyidul ambiya-i wal- mursalin (pemimpin para nabi dan para utusan) pasti mempunyai keistimewaan yang melebihi sekalian nabi dan sekalian utusan. Kelebihan ini dilukiskan dalam Mi’raj beliau, yang sepintas kilas dilukiskan dalam Surat An-Najm 53:1-16 sebagai berikut:

“Demi bintang tatkala terbenam. Kawan kamu tidaklah sesat, dan tidak pula menyimpang. Dan ia tak berbicara atas kemauan sendiri. Itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahytkan. Dzat Yang Maha-kuat telah mengajarkan kepadanya. Tuhannya Kekuatan. Maka ia dapat mencapai kesempurnaan. Dan ia ada di daerah cakrawala yang paling tinggi. Lalu ia mendekat, dan bertambah dekat lagi. Maka ia berjarak dua busur atau lebih dekat lagi. Maka Ia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang Ia wahyukan. Hati tak mendustakan apa yang ia lihat. Lalu apakah kamu membantahnya tentang apa yang ia lihat? Dan sesungguhnya ia melihat Dia di landaian yang lain. Di sisi pohon Sidrah yang paling jauh. Di sisinya adalah Taman tempat tinggal (sorga). Tatkala apa yang menutupi pohon Sidrah; Penglihatan tak membalik ke arah lain, dan tak pula melebihi batas. Sesungguhnya ia melihat sebagai tanda bukti Tuhannya Yang Maha-besar.”

Nabi Muhammad saw. digambarkan sebagai orang yang berada di puncak alam nasut (alam kemanusiaan) dan begitu dekat dengan alam lahut (alam ketuhanan) hingga jaraknya digambarkan sejarak dua busur atau bahkan lebih dekat lagi (ayat 9). Karena dekatnya, maka beliau digambarkan sebagai orang yang dapat melihat Allah.

Sudah barang tentu beliau melihat Allah bukan dengan mata wadag melainkan dengan mata hati (fuad) (ayat 11). Dan beliau melihat Allah sekali lagi di SidratulMuntaha (ayat 13-16). Alangkah agungnya pengalaman Nabi Muhaimad saw. itu. Pengalaman yang agung ini tak dialami oleh para nabi dan para utusan lainnya.

Apabila kita bandingkan dengan pengalaman Nabi Musa as. yang diuraikan dalam Surat Al-A’raf 7:163 yang berbunyi sebagai berikut:

“Tuhanku, perlihatkanlah (Diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau. Ia berfirman kepadanya: Engkau tidak akan melihat Aku. Tetapi lihatlah gunung itu. Jika itu tetap tegak di tempatnya, niscaya engkau akan melihat Aku. Maka tatkala Tuhannya membabar keluhuranNya pada gunung itu, Ia jadikan itu berkeping-keping, dan Musa jatuh pingsan. Lalu setelah ia sadar, ia berkata: Maha Suci Engkau! Aku bertaubat kepada Engkau, dan aku adalah orang mukmin yang pertama.”

Dari ayat ini terang sekali bahwa nabi Musa as. tak mampu melihat Tuhan. Diriwayatkan bahwa kenikmatan Sorga yang paling besar ialah melihat Allah.

Untuk menguatkan keterangan tersebut, marilah kita membaca Hadits Mi’raj yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitabut-Tauhid, yang antara lain berbunyi sebgai berikut: “Wa danal jabbaru Rabbul ‘izzati fatadalla, hatta kana minhu qooba qoosaini aw adnaa.” (Dan mendekatlah Tuhan yang Maha Perkasa, yang mempunyai kemuliaan, lalu bertambah dekat lagi, hingga dari jarak Nabi Muhammad hanya sejarak dua busur atau lebih dekat lagi).

Dari Hadits ini teranglah bahwa yang dimaksud sejarak dua busur itu bukan antara Nabi Muhammad saw. dan malaikat Jibril, melainkan antara Nabi Muhammad saw. dan Allah Ta’ala.

Selanjutnya marilah kita pelajari lagi apakah Isra’ dan Mi’raj itu terjadi dengan badan jasmani atau dengan badan ruhani’? Jika kita mau mempelajari Hadits-hadits Isra’ dan Mi’raj dengan tenang dan bebas, dar menyingkirkan lebih dahulu pendapat umum, maka akan nampak jelas bahwa peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad saw. adalah peristiwa ruhani semata-mata.

Pertama, malaikat Jibril sebagai kawan Nabi Muhammad saw. selama Isra’ dan Mi’raj tak mungkin dilihat oleh mata wadag. Hanya mata ruhani sajalah yang dapat melihat malaikat Jibril. Beratus kali malaikat Jibril mendatangi Nabi Muhammad untuk menyampaikan Wahyu Qur’an, namun hanya Nabi Muhammad sendiri yang melihat malaikat Jibril, sedang berpuluh-puluh sahabat yang mengelilingi beliau tak dapat melihatnya.

Kedua, iman dan hikmah yang dimasukkan dalam bejana emas, inipun peristiwa ruhani. Apalagi cara malaikat Jibril mengeluarkan jantung dari isi perut Nabi Muhammad saw. untuk dicuci dengan air zam-zam, inipun peristiwa ruhani. Karena jika jantung Nabi Muhammad benar-benar diambil dari tubuhnya, niscaya sebagai manusia akan mengalami kematian.

Buraq-pun hanya terjadi pada waktu Isra’ Nabi Muhammad saw. saja. Selain itu, tak pernah ada binatang seperti buraq. Jadi inipun hanya terjadi dalam peristiwa ruhani. Apalagi yang diuraikan perihal langit dalam Hadits seakan-akan berlapis-lapis bagaikan atap, inipun hanya dapat ditafsirkan runaniyah.

Apalagi Hadits yang menerangkan peristiwa yang dilihat oleh Nabi Muhammad saw. di sekitar Baitul Maqdis itu dianggap sahih, pasti ini lebih menguatkan lagi, bahwa peristiwa itu bersifat ruhaniyah. Karena Hadits meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. melihat orang-orang dalam lautan darah, sedang nyatanya di sekitar Baitul Maqdis tak ada lautan darah.

Hadits meriwayatkan pula, bahwa Nabi Muhammad melihat orang yang menggunting bibirnya, dan setelah digunting tumbuh lagi, dan digunting lagi. Kenyataan menunjukkan bahwa di dunia tak ada orang yang mempunyai bibir semacam itu. Tetapi ini mungkin jika peristiwa itu bersifat ruhaniyah.

Kami tidak berkata bahwa Isra’ dan Mi’raj itu suatu impian. Adapun yang kami maksud ialah bahwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. itu suatu pengalaman (empiric) Nabi Muhammad saw. yang agung dan mulia. Empiric tersebut bukan pengalaman yang diperoleh dengan pengindraan panca indra jasmani, melainkan yang diperoleh dengan pengindraan mata ruhani. Menurut istilah Qur’an Suci, mata ruhani ini disebut fu’ad (An Najm 53:11).

Untuk lebih menjelaskan bagaimana terjadinya Isra’ dan Mi’raj Nabi Muharmiad saw, marilah kita baca Surat Az-Zumar 39:62 yang berbunyi sebagai berikut: “Allah mencabut ruh manusia pada waktu matinya, dan yang tak mati dalam tidunnya. Lalu Ia menahan ruh yang Ia pastikan mati, dan mengebialikan yang lain (yang belum Ia pastikan mati), hingga waktu yang ditentukan.”

Dari ayat ini terang sekali bahwa Allah mencabut ruh orang yang mati dan ruh orang yang tidur. Adapun orang yang sudah dipastikan mati, ruh itu tetap ditahan oleh Allah. Sedang ruh orang yang tidur, akan dikembalikan lagi hingga ia mencapai ajalnya.

Ruh yang dicabut oleh Allah pada waktu tidur, jika Allah menghendaki dapat melaksanakan perintah-Nya. Maka tepat sekali apa yang diuraikan dalam Surat Bani Israil ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Maha suci. Dia yang menjalankan hamba-Nya di waktu malam dari Masjid Suci ke Masjid yang Jauh, yang sekitarnya kami berkahi, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian pertanda Kami. Sesungguhnya Dia itu Yang Maha-mendengar, Yang Maha-melihat.”

Menurut Hadits Bukhari, pada waktu terjadinya Isra’, Nabi Muhammad saw. sedang tidur di Masjid Suci. Yang sedang tidur di Masjid Suci ialah tubuh jasmani Nabi Muhammad saw. Adapun ruh beliau tetap dalam keadaan jaga. Keadaan ini diungkapkan dalam Hadits, “tanaamu ‘ainuhuu wa laa yanaamu qalbuhuu” (mata beliau tidur, tetapi hati beliau tidak tidur).

Ruh Nabi Muhammad saw. yang tidak tidur itulah yang dijalankan oleh Allah bersama-sama malaikat Jibril ke Masjid Aqsa dan terus Mi’raj, sebagaimana diuraikan dalam Hadits yang singkatnya, setelah Nabi Muhairmad saw. melintasi langit tujuh, yang masing-masing langit, beliau berjumpa dengan ruh para Nabi yang sudah wafat, beliau terus naik ke Sidrotul Muntaha, dan melihat sorga, neraka, dan berwawan sabda dengan Allah. Akhirnya ditutup dengan kalimat: “Wastaqadzaa wa huwa fii masjidil-harami” (beliau bangun dan beliau tetap berada di Masjid Suci” (HR Bukhari).

Dari Hadits ini jelas sekali bahwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. terjadi dengan badan ruhani.

Pengalaman adalah derajat keyakinan yang paling tinggi. Dengan pengalaman itu, orang dapat menjelaskan kepada orang lain dengan sempurna. Orang yang tak punya pengalaman dapat juga memberi penjelasan kepada orang lain berdasarkan ilmu.

Misalnya orang belum pernah naik Haji, ia dapat memberi penjelasan tentang hal haji berdasarkan ilmu yang ia pelajari. Akan tetapi orang yang pernah mengalami sendiri naik Haji, pasti dapat memberi penjelasan tentang hal Haji lebih sempurna lagi.

Apalagi penjelasan tentang barang yang ghaib. Walaupun orang ahli ilmu, ia tak mungkin dapat memberikan penjelasan yang meyakinkan. Orang-orang ahli pikir besar seperti Plato dan lain-lain, tak dapat memberikan penjelasan tentang Allah yang meyakinkan sampai haqqul yakin. Paling banter mereka hanya mengemukakan the last cause (sebab terakhir), pasti ada. Tetapi apakah penjelasan ini sudah memuaskan hati? Belum sama sekali!

Para Nabi dan para Wali dapat memberi penjelasan tentang Allah yang lebih memuaskan, karena beliau-beliau telah menerima Sabda Allah. Ibarat ada sebuah kamar yang dikunci dari dalam, Plato dan lain-lain hanya dapat menarik kesimpulan, bahwa di dalam kamar pasti ada orang. Tetapi oleh karena Plato dan lain-lain tak mendapat jawaban, setelah pintu kamar diketuk berulang kali, pasti ia timbul keragu-raguan.

Berlainan sekali dengan para Nabi yang mendapat jawaban dari dalam. Lebih-lebih Nabi Muhammad saw. yang tidak hanya mendengar Suara Ghoib, melainkan dibuka sama sekali tirainya, sehingga beliau dapat melihat Allah. Pengalaman ini beliau alami pada waktu Mi’raj. Dan inilah Mi’raj yang sebenarnya.[]

 

Sumber: Buku Kapita Selekta II, Oleh R.H. Soewindo. Penerbit PB GAI, 1986

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!