ArtikelIslamologi

Mukadimah Islamologi

Islam, bukan Muhammadanisme

Hal penting yang pertama kali harus diperhatikan dalam membahas Agama[1] Islam, adalah bahwa agama ini tak bisa disebut Muhammadanisme, sebagaimana umumnya anggapan Orang Barat. Mereka merujuk nama Nabi Suci Muhammad, yang kepadanya agama ini diwahyukan, berdasarkan analogi pada nama agama-agama lain seperti Buddhisme, Konfusianisme, Kristen, dan sebagainya. Padahal, istilah Muhammadanisme ini tak dikenal sama sekali di kalangan kaum muslimin, dan sama sekali tak termaktub dalam Qur’an Suci maupun Hadits Nabi.

Nama yang dsebutkan secara definitif di dalam Qur’an Suci adalah Islam,[2] dan para penganutnya disebut Muslim.[3] Agama Islam tidak bisa disebut menurut nama pendirinya, sebab pendirinya sendiri saja disebut Muslim.[4] Bahkan, menurut Qur’an Suci, semua nabi sebelum Nabi Muhammad saw. pun disebut Muslim.[5] Ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sebenarnya ditujukan bagi semua umat manusia, yang disampaikan oleh para nabi dari berbagai zaman dan berbeda-beda bangsa, dan Nabi Suci Muhammad adalah yang terakhir dari antara mereka, yang menyempurnakan risalah mereka.

Arti kata “Islam”

Dibandingkan dengan agama-agama besar dunia lainnya, kata Islam yang menjadi nama agama ini mengandung arti yang amat signifikan, karena menunjukkan arti yang esensial dari fungsi agama itu sendiri. Kata Islam makna asalnya adalah masuk dalam perdamaian,[6] dan Muslim adalah orang yang berdamai dengan Allah dan manusia. “Damai dengan Allah” artinya berserah diri sepenuhnya pada kehendakNya, sementara “damai dengan manusia” selain berarti menghindari berbuat jahat atau sewenang-wenang kepada sesamanya, tetapi sebaliknya juga berarti berbuat baik kepada sesamanya. Dua hal inilah yang dalam Qur’an Suci dinyatakan sebagai inti agama Islam yang sebenarnya.

“Sungguh, barangsiapa berserah diri sepenuhnya kepada Allah (aslama), dan berbuat baik kepada sesamanya, maka ia akan memperoleh pahala dari Tuhannya. Tiada ketakutan akan menimpa mereka, dan tiada pula mereka akan susah” (2:112).

Karena itu, dilihat dari asal katanya, Islam adalah agama “perdamaian”. Dua ajaran pokoknya, yaitu Keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan sejati umat manusia, menjadi bukti nyata bahwa agama selaras benar dengan namanya.

Islam bukan saja dikatakan sebagai agama sekalian Nabi sebagaimana tersebut di atas, melainkan pula sebagai sesuatu yang secara tak disadari tunduk sepenuhnya kepada undang-undang Allah yang kita saksikan pada alam semesta, ini pun tersirat dalam kata aslama. Arti yang luas ini tetap dipertahankan dalam penggunaan kata itu dalam hukum syara’, karena menurut hukum syara’, Islam mengandung arti dua macam, yakni:

  1. Mengucap Kalimah Syahadat, yaitu menyatakan bahwa tak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad itu Utusan Allah.
  2. Berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah, yang ini hanya dapat dicapai melalui penyempurnaan rohani.[7]

Jadi, orang yang baru saja masuk Islam, ia disebut Muslim, sama halnya seperti orang yang berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah dan melaksanakan segala perintah-Nya.

Kedudukan Islam di antara agama-agama di dunia

Islam adalah agama yang terakhir di antara sekalian agama besar dunia, yang semuanya merupakan kekuatan raksasa yang menggerakkan revolusi dunia, dan mengubah nasib sekalian bangsa. Tetapi Islam bukan saja agama yang terakhir, melainkan pula agama yang melingkupi segala-galanya dan mencakup sekalian agama yang datang sebelumnya. Ciri khas agama Islam yang paling menonjol ialah, Islam menyuruh para pemeluknya supaya beriman dan mempercayai bahwa sekalian agama besar di dunia yang datang sebelumnya, diturunkan dan diwahyukan oleh Allah. Salah satu rukun iman ialah orang harus beriman kepada sekalian Nabi yang diutus sebelum Nabi Muhammad saw. Qur’an Suci mengatakan:

“Dan orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepada engkau dan apa yang diturunkan sebelum engkau” (2:4).

“Katakanlah: Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim dan Ismail dan Ishak dan Ya’qub dan anak cucu, dan apa yang diberikan kepada Musa dan ‘Isa, dan apa yang diberikan kepada para Nabi dari Tuhan mereka, dan kami tak membeda-bedakan salah satu di antara mereka” (2:136).

“Utusan beriman kepada apa yang diwahyukan kepadanya dari Tuhannya, dan demikian pula kaum mukmin. Mereka semua beriman kepada Allah dan Malaikat-Nya dan Kitab-Nya dan para Utusan-Nya. Kami tidak membeda-bedakan salah satu di antara para Utusan-Nya” (2:285).

Jadi, orang Islam bukan saja beriman kepada Nabi Muhammad saw melainkan pula beriman kepada semua Nabi. Menurut ajaran Qur’an Suci yang terang benderang, semua bangsa telah kedatangan Nabi:

“Tak ada satu umat, melainkan seorang juru ingat telah berlalu di kalangan mereka” (35:24).

Oleh karena itu, orang Islam ialah orang yang beriman kepada para Nabi dan Kitab Suci dari semua bangsa. Orang Yahudi hanya percaya kepada para Nabi bangsa Israel; orang Kristen hanya percaya kepada Yesus Kristus, dan dalam kadar kecil percaya juga kepada para Nabi bangsa Israel. Orang Buddha hanya percaya kepada Sang Buddha; orang Majusi hanya percaya kepada Zaratustra; orang Hindu hanya percaya kepada para Nabi yang timbul di India saja; orang Kong Hu Cu hanya percaya kepada Kong Hu Cu, tetapi orang Islam percaya kepada semua Nabi dan kepada Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir. Oleh karena itu, Islam adalah agama yang meliputi semuanya yang mencakup segala agama di dunia. Demikian pula Kitab Sucinya, yaitu Al-Qur’an adalah gabungan dari semua Kitab Suci di dunia. Qur’an mengatakan:

“Lembaran-lembaran suci yang di dalamnya berisi kitab-kitab yang benar” (98:2-3).

Masih ada lagi ciri khas agama Islam yang memberinya kedudukan istimewa di antara sekalian agama. Selain menjadi agama dunia yang terakhir dan yang meliputi semuanya, Islam adalah pernyataan kehendak Ilahi yang sempurna. Qur’an mengatakan:

“Pada hari ini, Aku sempurnakan untuk kamu agama kamu, dan Aku lengkapkan nikmatKu kepada kamu, dan Aku pilihkan untuk kamu Islam sebagai agama” (5:3).

Seperti halnya bentuk-bentuk kesadaran yang lain, kesadaran beragama bagi manusia sedikit dan berangsur-angsur dari abad ke abad mengalami kemajuan, demikian pula wahyu tentang Kebenaran Agung yang diturunkan dari langit, juga mengalami kemajuan, dan ini mencapai titik kesempurnaan dalam agama Islam.

Kebenaran agung inilah yang diisyaratkan oleh Yesus dengan sabdanya:

“Banyak lagi perkara yang Aku hendak katakan kepadamu, tetapi sekarang ini tiada kamu dapat menanggung dia. Akan tetapi apabila Ia sudah datang, yaitu Roh Kebenaran, maka Ia pun akan membawa kamu kepada segala Kebenaran” (Yahya 16:12-13).

Jadi tugas agama Islam yang besar ialah (1) mendatangkan perdamaian di dunia dengan membentuk persaudaraan di antara sekalian agama di dunia, (2) menghimpun segala kebenaran yang termuat dalam agama yang sudah-sudah; (3) membetulkan kesalahan-kesalahan agama dan menyaring mana yang benar dan mana yang palsu; (4) mengajarkan kebenaran abadi, yang sebelumnya tak pernah diajarkan berhubung keadaan bangsa atau umat pada waktu itu masih dalam tahap permulaan dari tingkat perkembangan mereka; dan yang terakhir memenuhi segala kebutuhan moral dan rohani bagi umat manusia yang selalu bergerak maju.

Agama diberi arti baru

Dengan datangnya Islam, agama memperoleh arti yang baru. Pertama, agama tak boleh dianggap sebagai dogma, yang orang harus menerimanya jika ia ingin selamat dari siksaan yang kekal, melainkan agama harus diperlakukan sebagai ilmu yang didasarkan atas pengalaman universal umat manusia. Bukan hanya bangsa ini dan bangsa itu saja yang menjadi pilihan Allah dan yang menerima wahyu Ilahi; sebaliknya wahyu itu diakui sebagai faktor penting untuk evolusi manusia. Oleh sebab itu, wahyu dalam bentuk rendah merupakan pengalaman universal manusia, sedangkan dalam bentuk yang tinggi, yaitu wahyu nubuwwat (Wahyu Kenabian) ini merupakan karunia Allah yang diberikan kepada sekalian umat di dunia.

Selanjutnya mengenai pengertian agama sebagai ilmu, ini dimantapkan dengan menyajikan ajaran agama sebagai landasan bagi perbuatan. Tak ada satu pun ajaran agama yang tidak dijadikan landasan perbuatan bagi perkembangan manusia menuju tingkat kehidupan yang tinggi dan lebih tinggi lagi. Kedua, ruang lingkup agama itu tak terbatas mengenai kehidupan akhirat saja. Bahkan agama itu terutama sekali berurusan dengan kehidupan dunia, agar dengan hidup lurus di dunia, manusia bisa mencapai kesadaran akan adanya kehidupan yang lebih tinggi.

Itulah sebabnya mengapa Qur’an Suci membahas macam-macam pokok persoalan yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia di dunia. Qur’an Suci tidak saja membahas cara-cara beribadah, membahas bentuk-bentuk penyembahan kepada Tuhan, membahas bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan, tetapi Qur’an bahkan terutama sekali membahas masalah-masalah dunia di sekeliling kita, membahas soal hubungan antara sesama manusia, membahas kehidupan sosial dan politik, aturan perkawinan, talak dan waris, pembagian kekayaan, hubungan antara buruh dan kapital, administrasi peradilan, organisasi militer, perang dan damai, keuangan negara, utang-piutang dan perjanjian, pelayanan terhadap kepentingan umum dan bahkan terhadap binatang, undang-undang yang mengatur bantuan terhadap fakir-miskin, janda dan anak yatim, dan seribu satu persoalan lain yang jika ini ditangani dengan seksama akan memungkinkan orang memperoleh hidup bahagia.

Qur’an Suci bukan saja mengatur kemajuan orang seorang, melainkan pula mengatur kemajuan masyarakat secara keseluruhan, demikian pula kemajuan bangsa, bahkan pula kemajuan seluruh umat. Qur’an Suci bukan saja memecahkan persoalan yang bertalian dengan antar hubungan sesama orang, melainkan pula antara suku-suku dan bangsa-bangsa yang umat manusia dipecah-pecah seperti demikian. Segala aturan dan undang-undang ini dibuat efektif (dibuat mencapai hasil) dengan jalan iman kepada Allah. Memang benar bahwa Qur’an mempersiapkan manusia untuk hidup di Akhirat, tetapi kehidupan di Akhirat itu hanya bisa dicapai dengan menyentosakan kehidupan di dunia.

Agama sebagai kekuatan untuk mengembangkan akhlak manusia

Pertanyaan yang pada dewasa ini mengganggu pikiran kita ialah, apakah agama itu benar-benar diperlukan oleh manusia? Jika kita mau meninjau sejenak saja terhadap sejarah peradaban manusia, kita akan tahu, bahwa agama adalah kekuatan raksasa yang telah mewujudkan perkembangan manusia seperti sekarang ini. Bahwa semua yang baik dan mulia dalam diri manusia itu diilhami oleh iman kepada Allah, ini adalah kebenaran yang tak dapat dibantah lagi sekalipun oleh orang ateis (yang tak percaya kepada Tuhan). Seorang Ibrahim, seorang Musa, seorang ‘Isa, seorang Krisna, seorang Buddha, seorang Muhammad, secara bergiliran dan sesuai derajat masing-masing telah mengubah sejarah manusia dan mengangkat derajat mereka dari lembah kehinaan menuju puncak ketinggian akhlak yang tak pernah diimpikan. Hanya melalui ajaran Nabi besar ini atau Nabi besar itu sajalah yang membuat orang mampu menaklukkan hawa nafsunya dan menempatkan cita-cita luhur di hadapannya dengan pengorbanan tanpa pamrih guna kepentingan umat manusia.

Jika anda mempelajari perasaan luhur yang pada dewasa ini membangkitkan semangat manusia, anda pasti akan menemukan bahwa perasaan luhur itu berasal dari ajaran dan suri-tauladan dari beberapa orang suci yang mempunyai iman yang kuat kepada Allah, yang benih iman ini disemaikan oleh mereka ke dalam batin manusia. Jika perkembangan akhlak dan budi pekerti manusia pada tingkat sekarang ini terjadi karena suatu sebab, maka sebab itu adalah agama.

Umat manusia masih harus mempelajari apakah perasaan luhur yang membangkitkan semangat manusia sekarang ini akan tetap hidup setelah timbulnya satu atau dua generasi yang tak percaya kepada adanya Tuhan, dan perasaan-perasaan apakah nantinya yang akan ditelorkan oleh materialisme? Menurut gelagatnya, jika yang berkuasa itu materialisme, maka tidak boleh tidak sudah pasti akan mengakibatkan berkuasanya tabiat mementingkan diri-sendiri, karena, matangnya rencana untuk membagi kekayaan secara merata tidaklah membangkitkan perasaan luhur yang pada dewasa ini menjadi kebanggaan manusia, dan yang berabad-abad lamanya dimasukkan oleh agama dalam batin manusia.

Jika pada dewasa ini sanksi-sanksi agama ditiadakan, maka rakyat yang bodoh – dan rakyat jelata memang selamanya tetap bodoh sekalipun dapat sedikit membaca dan menulis – akan terjerumus kembali ke dalam kebiadaban, sudah tentu sedikit demi sedikit, sedang orang-orang yang menganggap dirinya lebih tinggi kedudukannya, tak lagi diilhami oleh cita-cita luhur dan mulia, yang ini hanya bisa diperoleh dengan jalan beriman kepada Allah semata.

Islam sebagai landasan peradaban abadi

Sebenarnya, peradaban yang kita miliki sekarang ini, baik pendapat ini disetujui atau tidak, ini dilandasi oleh agama. Agamalah yang memungkinkan adanya peradaban yang berkali-kali menyelamatkan umat manusia dari kehancuran. Tengoklah kembali sejarah peradaban tiap-tiap bangsa, anda pasti akan melihat, manakala peradaban mulai goyah, maka daya-penggerak keagamaan yang baru pasti sudah siap untuk menyelamatkannya dari bahaya kehancuran. Bukan saja peradaban yang mempunyai daya-tahan itu harus berdasarkan akhlak, dan akhlak yang tinggi itu harus dihayati dengan iman kepada Allah, melainkan pula persatuan dan perpautan unsur-unsur kemanusiaan yang saling berlawanan, yang tanpa persatuan ini, suatu peradaban tak mungkin dapat bertahan satu hari, ini pun terjadi karena adanya daya-pemersatu dari agama.

Memang sering pula orang berkata bahwa agamalah yang menyebabkan terjadinya banyak pertentangan dan pertumpahan darah, tetapi jika orang mau menoleh sejenak melihat sejarah agama, orang akan mengerti bahwa tuduhan itu timbul karena salah mengerti. Setiap agama pasti mengajarkan cinta-kasih, kerukunan, iba-hati, baik hati terhadap sesama manusia, dan tiap-tiap bangsa tahu akan ajaran-ajaran yang penting dan suci ini melalui jiwa pengabdian tanpa pamrih yang dihayati oleh iman kepada Allah.

Jika masih ada tabiat mementingkan diri-sendiri dan permusuhan maupun pertumpahan darah, maka hal ini terjadi, sekalipun ada agama, bukan terjadi karena ajaran agama yang mengajarkan cinta-kasih, hal itu terjadi karena tabiat manusia amat condong kepada mementingkan diri-sendiri dan permusuhan serta pertumpahan darah; dan terjadinya itu hanya menunjukkan bahwa manusia masih tetap memerlukan kesadaran yang lebih besar lagi terhadap ajaran agama, atau lebih tegas lagi, iman sejati kepada Allah masih sangat diperlukan oleh manusia. Bahwa manusia kadang-kadang melakukan perbuatan hina dan nista, bukan berarti perasaan luhur tak ada gunanya lagi, tetapi hanya menunjukkan bahwa dikembangkannya perasaan luhur itu menjadi keharusan mutlak.

Islam kekuatan pemersatu yang paling besar di dunia

Jika persatuan umat manusia merupakan landasan pokok bagi peradaban, maka tak sangsi lagi bahwa Islam merupakan kekuatan yang paling besar untuk memberadabkan manusia yang pernah atau paling mungkin dikenal oleh dunia. Yang kami maksud peradaban di sini bukanlah peradaban suatu bangsa atau suatu negara, melainkan peradaban seluruh umat manusia. Tiga belas abad yang lampau, Islamlah yang telah menyelamatkan peradaban dari jurang kehancuran; Islamlah yang memberi pertolongan kepada peradaban yang runtuh pondasinya, dan menggantinya dengan pondasi baru, lalu membangun gedung peradaban yang baru samasekali.

Cita-cita baru tentang kesatuan seluruh umat manusia, bukan kesatuan bangsa ini atau bangsa itu, ini diperkenalkan di dunia oleh agama Islam, suatu cita-cita yang begitu ampuh hingga dapat mempersatukan bangsa-bangsa yang sejak dahulu kala saling bertempur dan saling membenci. Ini bukan saja terjadi di tanah Arab yang penduduknya suka saling bertempur, sekalipun sama-sama tinggal di dalam satu jazirah, sehingga seorang pengarang Inggris menamakan itu “mukjizat” besar,[8] suatu mukjizat yang begitu hebat hingga segala sesuatu tak ada artinya jika dibandingkan dengan itu.

Islam bukan saja memperkokoh persatuan di antara kabilah-kabilah yang sedang bertempur, melainkan pula menggalang persaudaraan di antara bangsa-bangsa di dunia, bahkan mempersatukan orang-orang yang tak mempunyai persamaan apa pun selain persamaan sebagai manusia. Islam menghilangkan perbedaan warna kulit, suku bangsa, bahasa dan latar batas-batas geografis, bahkan Islam menghilangkan pula perbedaan kebudayaan. Islam mempersatukan manusia yang satu dengan manusia yang lain begitu rupa, hingga denyut jantung orang-orang di ujung Timur, klop dengan denyut jantung orang-orang yang ada di ujung Barat.

Sungguh benar bahwa Islam bukan saja telah membuktikan sebagai kekuatan pemersatu yang paling besar, melainkan Islam adalah satu-satunya kekuatan yang telah mempersatukan seluruh umat manusia, karena agama-agama lain hanya mampu mempersatukan unsur-unsur dalam satu bangsa saja, tetapi Islam benar-benar telah mempersatukan berbagai bangsa dan mempersatukan segala unsur kemanusiaan yang saling bermusuhan dan saling bertentangan. Alangkah besarnya kekuatan Islam dalam mengembalikan peradaban manusia yang telah hilang, sehingga belum lama berselang seorang penulis menyatakan sungguh-sungguh sebagai berikut:

“Pada abad kelima dan keenam, dunia beradab berada di tepi jurang kehancuran. Kebudayaan kuno yang menggerakkan perasaan dan yang memungkinkan adanya peradaban, karena memang kebudayaan itulah yang membangkitkan perasaan bersatu dan perasaan hormat kepada Raja, ini telah runtuh dan manusia tak dapat menemukan sesuatu yang memadai sebagai penggantinya … Rupa-rupanya peradaban besar yang pembangunannya memakan waktu empatribu tahun berada di tepi jurang kehancuran, dan rupa-rupanya manusia akan kembali ke dalam keadaan biadab di mana tiap-tiap suku dan kabilah saling bertempur dan tak mengenal hukum dan tata-tertib … Hukum adat kuno tak mempunyai kekuatan lagi… Hukum pidana baru yang diciptakan oleh agama Nasrani tak mendatangkan persatuan dan ketertiban, bahkan malah mendatangkan perpecahan dan pertengkaran … Peradaban yang perumpamaannya bagaikan pohon raksasa yang daunnya rindang menjangkau seluruh dunia … kini terhuyung-huyung karena lapuk hingga batang-intinya … Adakah kebudayaan yang dapat membangkitkan perasaan untuk sekali lagi mempersatukan umat manusia dan dapat menyelamatkan peradaban?”[9]

Lalu tatkala membicarakan tanah Arab, penulis kenamaan itu berkata:

“Di kalangan bangsa Arab inilah lahir seorang laki-laki yang dapat mempersatukan seluruh dunia yang dikenal pada waktu itu Timur dan Selatan”.[10]

Islam kekuatan rohani terbesar di dunia

Jadi, Islamlah yang meletakkan dasar persatuan bagi segenap umat manusia yang tak pernah diimpikan oleh pembaharu atau agama lain manapun. Islamlah yang meletakkan persaudaraan umat manusia yang tak mengenal perbedaan warna kulit, suku bangsa, negara, bahasa maupun derajat. Islamlah yang meletakkan dasar persatuan umat manusia yang tak dapat dijangkau oleh pikiran manusia. Islam bukan saja mengakui persamaan hak sipil dan hak politik manusia, melainkan mengakui pula persamaan hak dalam bidang rohani. Ajaran pokok agama Islam ialah “Manusia adalah satu umat” (2:213).

Oleh sebab itu Islam mengakui bahwa tiap-tiap bangsa telah menerima anugerah rohani berupa wahyu. Bahkan hasil yang telah dicapai oleh Islam bukanlah hanya tegaknya persaudaraan umat manusia saja. Hasil yang tak kalah besarnya ialah, Islam telah membawa perubahan yang tak ada taranya di dunia, karena agama Islam merupakan kekuatan rohani yang belum pernah ada bandingannya dalam sejarah manusia.

Perubahan dunia yang amat mengagumkan telah dilaksanakan oleh Islam dalam jangka waktu yang amat pendek. Islam telah menyapu bersih kepercayaan tahayul yang paling keji, kebodohan yang paling bebal, perbuatan mesum yang paling kotor, kebiasaan jahat yang sudah berabad-abad lamanya, yakni dalam jangka waktu kurang dari seperampat abad. Kemenangan rohani Islam yang tak ada taranya dalam sejarah dunia ini merupakan kenyataan yang tak dapat disangkal lagi, dan perubahan rohani yang tak ada taranya inilah yang menyebabkan Nabi Suci Muhammad diakui sebagai Nabi “yang paling sukses di antara semua Nabi dan semua pemimpin agama” (Encyclopaedia Britanica, artikel Koran).

Islam memecahkan masalah-masalah besar dunia

Islam menjadi pusat perhatian kaum ahli pikir, karena Islam bukan saja merupakan kekuatan rohani terbesar dan yang memberadabkan manusia di dunia, melainkan pula memecahkan banyak persoalan yang rumit-rumit yang pada dewasa ini sulit dihadapi oleh manusia. Materialisme yang pada zaman modern ini menjadi cita-cita manusia, tak pernah mendatangkan perdamaian dan rasa saling percaya di antara bangsa di dunia. Usaha kaum Nasrani untuk menghilangkan perbedaan warna kulit dan suku bangsa, mengalami kegagalan.Hanya Islam sajalah satu-satunya yang berhasil menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut, dan melalui Islam sajalah masalah dunia modern yang besar-besar dapat dipecahkan.

Islam adalah agama internasional pertama dan paling utama dan hanya di bawah cita-cita luhur internasional – yakni cita-cita persamaan semua bangsa dan kesatuan umat manusia,– maka nasionalisme sempit yang menyebabkan kacaunya dunia zaman dahulu dan zaman sekarang dapat disapu bersih. Bahkan dalam lingkungan suatu bangsa ataupun suatu negara, tak mungkin ada perdamaian selama dua problem besar, yaitu problem kekayaan dan problem seksual, belum dapat dipecahkan.

Mengenai masalah kekayaan, Eropa telah bergerak ke arah dua tepi ujung, yaitu kapitalisme dan bolsyewisme. Yang satu cenderung untuk memusatkan kekayaan di kalangan kaum kapitalis besar, dan yang lainnya cenderung untuk membagi rata semua kekayaan dengan menyamaratakan orang yang malas dengan orang yang rajin bekerja. Islam menyajikan pemecahan yang tepat dengan memberi jaminan kepada para pekerja akan upah pekerjaannya, yang besar kecilnya disesuaikan dengan prestasi kerjanya; dan Islam menetapkan pula bagian kaum miskin yang diambil dari harta kaum kaya.

Jadi di satu pihak, hak memiliki kekayaan tetap dijamin sepenuhnya, tetapi di lain pihak, Islam membuat aturan untuk menyamaratakan keadaan dengan mengambil sebagian kekayaan kaum kaya untuk dibagikan kepada kaum miskin, sesuai peraturan zakat; demikian pula membagikan harta orang yang meninggal dunia kepada ahli waris dengan pembagian yang sama besar kecilnya. Dalam bagian terakhir buku Wither Islam, H.A.R. Gibb menulis sebagai berikut:

“Di dunia Barat, Islam tetap mempertahankan keseimbangan antara pertentangan yang keliwat batas. Islam menentang nasionalisme ala Eropa yang anarkis, dan menentang pula organisasi komunis Rusia; namun Islam tak mati karena gangguan kehidupan ekonomi yang menjadi ciri khusus Eropa dan Rusia zaman sekarang. Ajaran etika sosial Islam dirumuskan dengan indah oleh Profesor Masignon sebagai berikut: “Islam amatlah berjasa dalam mengemukakan pendapat tentang persamaan kewajiban agar tiap-tiap penduduk menyumbangkan sepersepuluh bagian kepada kas negara; Islam menentang perdagangan uang yang tak terbatas, menentang pula bank kapital, pinjaman pemerintah, menarik pajak tak langsung terhadap barang-barang yang amat diperlukan, tetapi Islam membenarkan hak-hak ayah dan suami, hak milik dan modal perdagangan. Dalam hal ini Islam sekali lagi memberi jalan tengah antara ajaran kapitalisme borjuis dan komunisme Bolsyewis” (Wither Islam, hal. 378-379).

Demikian pula mengenai pemecahan masalah seks, Islam satu-satunya yang dapat menjamin perdamaian terhadap keluarga. Islam tak mengenal cinta-bebas (free-love) yang akibatnya bisa melepaskan segala ikatan hubungan sosial; dan Islam tak mengenal pula ikatan suami-istri yang tak dapat diputuskan bila keadaan kehidupan rumah tangga menjadi neraka. Dengan dipecahkannya seribu satu persoalan yang pada dewasa ini amat mengganggu pikiran manusia, Islam benar-benar mendatangkan kebahagiaan sejati, selaras dengan nama agama itu sendiri.

Salah paham yang mendasari gerakan anti agama

Gerakan anti agama yang sudah berurat berakar di Rusia, ini disebabkan adanya salah pengertian tentang hakikat agama Islam. Adapun keberatan mereka terhadap agama yang terpokok ada tiga:[11]

  1. Agama dianggap membantu terpeliharanya sistem sosial seperti sekarang ini yang menelorkan kapitalisme, yang akibatnya menghancurkan aspirasi kaum melarat.
  2. Agama mengajarkan orang supaya tunduk kepada kepercayaan tahayul, dengan demikian merintangi majunya ilmu pengetahuan.
  3. Agama mengajarkan orang supaya mencukupi kebutuhan hidupnya dengan jalan berdo’a, bukan dengan bekerja keras, dengan demikian agama membuat orang menjadi malas.

Sepanjang mengenai agama Islam, semua tuduhan itu sangat bertentangan dengan kenyataan. Islam datang sebagai kawan kaum miskin dan kaum melarat. Sebenarnya, Islam telah menjunjung derajat kaum melarat yang ini tak ada taranya dalam sejarah manusia. Islam menjunjung derajat manusia dari tingkat sosial yang paling rendah sampai kepada tingkat kehidupan yang paling tinggi. Islam bukan saja membuat budak-belian menjadi seorang pemimpin di lapangan keintelektualan, melainkan pula bisa membuat mereka menjadi raja.

Sistem sosial Islam adalah persamaan hak, yang ini tak terlintas dalam pikiran bangsa-bangsa lain maupun dari golongan manapun. Salah satu ajaran pokok yang diajarkan oleh Islam ialah, kaum miskin mempunyai hak atas harta orang kaya, suatu hak yang benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintahan Islam dengan memungut seperempat puluh bagian dari harta milik orang kaya untuk dibagikan kepada kaum miskin.

Adapun mengenai tuduhan yang nomor dua, yaitu agama merintangi kemajuan ilmu pengetahuan, ini sepanjang mengenai agama Islam, juga tidak benar. Islam mengobarkan semangat belajar di suatu negeri, yaitu Arab, yang belum pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan sebelumnya, bahkan negeri itu pernah tenggelam ke dalam kepercayaan tahayul. Bahkan sejak zaman Khalifah ‘Umar, Pemerintahan Islam menangani pendidikan rakyat, kemudian kaum Muslimin membawa obor ilmu pengetahuan itu ke semua negeri yang mereka kuasai; di mana-mana mereka mendirikan sekolah, akademi dan perguruan tinggi. Kiranya tak berlebihan jika dikatakan bahwa Renaissance yang terjadi di Eropa itu dikarenakan agama Islam.

Adapun tuduhan yang ketiga, yaitu agama membuat orang menjadi malas karena mengajarkan supaya berdo’a semata, ini juga tak dibenarkan oleh sejarah Islam. Qur’an Suci bukan saja mengajarkan kepada manusia supaya bekerja keras untuk memperoleh sukses dalam kehidupan mereka, juga mengajarkan kepada mereka seterang-terangnya bahwa “manusia tak akan memperoleh apa-apa selain apa yang mereka usahakan” (53:39), begitu pula Qur’an benar-benar telah membuat suatu bangsa yang tak mempunyai kedudukan di dunia, yaitu bangsa Arab, menjadi bangsa yang menonjol dalam segala segi kehidupan. Dan revolusi besar ini hanya terlaksana dengan mengobarkan semangat kerja dan semangat juang dalam batin mereka.

Memang benar bahwa Islam mengajarkan orang supaya berdo’a, akan tetapi ini bukanlah untuk membuat orang supaya menjadi malas, melainkan do’a itu dimaksud, untuk menebalkan dan menambah semangat perjuangan mereka agar mereka tidak putus asa atau kecewa dalam berjuang dengan selalu menyerahkan segala sesuatu kepada Allah Yang menjadi Sumber segala kekuatan. Jadi, do’a menurut Islam, bukanlah penghalang, melainkan menjadi pendorong untuk bekerja keras.

* * *

[1] Kata “agama”, bahasa Arabnya diin atau millah. Kata diin makna aslinya “ketaatan atau pembalasan”. Adapun millah makna aslinya “perintah”. Millah terutama sekali bertalian dengan Nabi, yang kepadanya agama itu diwahyukan, sedangkan diin bertalian dengan orang yang menganut agama itu (R). Agama juga disebut madzhab, tetapi nama ini tak dipakai dalam Qur’an Suci. Kata madzhab berasal dari kata dzahaba, artinya jalan yang dianut orang, baik dalam hal ajaran maupun praktik keagamaan, atau berarti pula pendapat tentang agama (LL).

Menurut sebagian ulama, perbedaan antara tiga nama tersebut ialah demikian: Diin dihubungkan dengan Allah Yang mewahyukan agama, Millah dihubungkan dengan Nabi yang kepadanya agama itu diwahyukan, dan Madzhab dihubungkan dengan mujtahid yang menjelaskan agama itu.

[2] “Pada hari ini Aku sempurnakan untukmu agama kamu, dan Aku lengkapkan nikmatKu kepada kamu, dan Aku pilihkan untuk kamu Islam sebagai agama” (5:3). “Sesungguhnya agama yang benar menurut Allah ialah Islam” (3:18).

[3] “Sebelumnya dan pula di sini, Ia menamakan kamu Muslim” (22:78). Yang dimaksud dengan kata “sebelumnya” adalah nubuat atau ramalan, sedangkan kata “di sini” yang dimaksud adalah Qur’an Suci.

[4] “Aku adalah yang pertama di antara kaum Muslimin” (6:164).

[5] “Dan Ibrahim memberi wasiat dengan itu kepada para puteranya, dan (pula) Ya’qub: Wahai para puteraku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untuk kamu, maka janganlah kamu mati, kecuali kamu Muslim” (2:132).

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat, dan di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Dengan ini para Nabi yang berserah diri sepenuhnya (aslamu), mengadili perkara orang-orang Yahudi” (5:44).

[6] Islam artinya masuk dalam salm; kata salm dan silm dua-duanya berarti damai (R). Dua perkataan ini digunakan oleh Qur’an Suci dalam arti damai, lihatlah 2:208 dan 8:61.

[7] “Menurut hukum syara’, Islam ada dua macam: (1) Mengucap Kalimah Syahadat dengan lisan … baik disertai iman (kesadaran) dalam hati atau tidak … (2) di atas iman, yaitu mengucap Kalimah Syahadat, disertai dengan iman (kesadaran) dalam hati, dan melaksanakan itu dalam perbuatan, dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam hal apa saja yang Ia jadikan dan Ia putuskan” (R).

[8] “Suatu bangsa yang berpecah-belah (seperti bangsa Arab) sukar sekali dipertemukan, sampai tiba-tiba terjadilah sesuatu yang luar biasa. Seorang yang dengan kepribadiannya dan pengakuannya mendapat pimpinan dari Tuhan, bangkit dan melaksanakan sesuatu yang mustahil, yaitu mempersatukan golongan yang saling bertempur.” (The Ins and Outs of Mesopotamia, hal.99)

[9] J.H. Denison, Emotion as the Basis of Civilization, hal. 265-268.

[10] Idem, hal. 269.

[11] Seperti yang dirumuskan dalam buku Emotion as the basis of Civilization, hal. 506.

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here