Artikel

Islam Rahmatan Lil ‘Alamin

Berikut ini adalah transkrip ceramah umum K. H. Abdul Muhaimin, Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Ummahat Kotagede Yogyakarta, yang disampaikan dalam Jalsah Salanah GAI, 23 Desember 2013. Lihat video-nya di sini.

“Wahai Bani Adam, sesungguhnya Kami menurunkan pakaian kepadamu untuk menutupi aibmu, dan pula (pakaian) untuk keindahan, dan pakaian untuk menjaga diri dari kejahatan – inilah (pakaian) yang paling baik. Inilah sebagian dari tanda-tanda Allah agar mereka ingat.” (QS 7:26)

abdul muhaimin
K. H. Abdul Muhaimin, Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Kotagede dan Koordinator Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogyakarta

Bakda Salam. Yang saya hormati segenap warga dan pengurus Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, dan tamu undangan yang berbahagia. Sebenarnya agak sedikit malu dan mungkin kurang pantas saya harus berbicara di hadapan para senior saya, baik dalam pengalaman akademik maupun dalam pengalaman bermasyarakat. Hanya karena hubungan baik sajalah saya diperkenankan hadir. Karena, saya menganggap Ahmadiyah juga saudara  kami yang layak saya datangi dan saya sowani.

Islam akan menjadi besar ketika kita mampu menunjukkan bahwa ketakwaan sebenarnya bukan suatu karakter personal saja, tapi ketakwaan juga mempunyai implikasi sosial yang sangat luas. Seringkali dalam khotbah, pengajian, dan lain sebagainya, kita mengungkapkan ayat “yâ ayyuhalladzîna âmanut-taqullâha haqqa tuqâtih” (QS 3:102 –red). Sayang ayat itu hanya dipotong, tidak dibaca secara lengkap. Sehingga ketika kita merasa menjadi paling takwa, orang lain kemudian kita vonis kafir, halal darahnya, sesat, di luar Islam, dan lain sebagainya.

Padahal ketakwaan memiliki karakter sosial yang sangat humanis, sangat etis, dan sangat kultural. Karena Al-Quran (QS 3:103-104 –red) kemudian menganjurkan, “wa’tasimû bi hablillâhi jamî’aw-walâtafarraqû”. Itulah karakter sosial haqqa tuqâtih. Orang yang tamûtunna illâ wa antum-muslimûn adalah dia yang wa’tasimû bi hablillâhi jamî’aw-walâ tafarraqû, yang tidak menyebabkan perpecah-belahan. Kalau ayat ini dipahami dengan disiplin ilmu tafsir, maka mafhum mukhalafah dari walâ tafarraqû adalah berarti kita diharuskan untuk saling tolong menolong.

Kohesifitas macam inilah yang sekarang hilang. Yang terjadi sekarang ini, ketika terjadi perbedaan pendapat, kemudian orang lain (yang berbeda itu –red) disingkirkan. Bahkan dia mengklaim diri sebagai yang merasa berhak masuk surga. Saya sering membuat joke buat mereka yang mengaku paling islami dan paling berhak masuk surga. Lha, kalau surganya hanya dihuni mereka, kan kesel leh nyapu, tho Pak! Karena surga itu sangat luas, kenapa kok diklaim untuk sendiri!

Saya sedih, karena Islam sekarang ini dibangun dalam format tunggal. Misal, orang yang paling takwa itu harus, maaf, batukke ditato. Kalau keningnya tidak tatonan itu kurang takwa. Lalu harus jenggoten. Konon katanya kalau jenggotan, nanti akan banyak malaikat-malaikat yang bergelantungan di jenggot itu. Saya bukan anti orang yang berjenggot. Tapi klaim-klaim simbolik semacam itu, kan tidak benar. Yang berjenggot silakan. Saya sendiri nggak bisa memelihara jenggot. Rambut saya jarang sekali, nanti kalau saya pelihara jenggot malah kayak kambing etawa. Persoalannya adalah persoalan estetika, masalah penampilan, begitu!

Sebagai sebuah agama universal, Islam itu non-teritori. Sama seperti agama-agama lain, kalau kita belajar sejarah. Misalnya, Budha lahir di India. Tapi ketika India sudah tidak cocok lagi dengan etika budhisme, ya Budha pergi. Nasrani itu disebut demikian karena Isa dari Nazaret. Sekarang mencari orang Kristen di Nazaret susah sekali, yang ada tinggal situsnya. Islam memang lahir di Mekah, tapi salah kalau kita mengidentifikasi Islam itu sebagai Arab. Apalagi Saudi, sangat salah. Saudi itu, kita semua tahu, yang memimpinnya bukan keturunan Quraisy, tapi Badui. Maka, kita tidak layak menganggap Islam itu identik dengan Arab.

Sebagai agama universal, Islam mempunyai konsekuensi logis untuk bisa berakulturasi, beradaptasi, ber-co-eksisitensi dengan localculture dan local-wisdom yang ada. Kalau Islam itu Arab, ya sana tinggal di Arab saja, jangan di Indonesia.

Terus terang, ada berbagai fenomena yang kontradiktif sekarang ini. Perkembangan Islam sebetulnya sangat luar biasa. Tahun 2005, ketika keliling Amerika, saya bertemu dengan imam besar Masjid di New York, namanya Dr. Syamsir Ali. Pas Hari Jumat, di sana pas ada seorang non-muslim yang disyahadatkan. Namanya Daniel, kemudian berganti nama menjadi Hamzah. Beliau bercerita bahwa di sana tidak ada habisnya orang masuk Islam. Dia menunjukan data, dalam sebulan ada 35 sampai 40 orang yang masuk Islam. Itu baru dari satu masjid. Kemudian saya berkunjung ke New England, bertemu dengan salah satu Doktor di sana. Dia bercerita, dulu tahun 1985 dia datang ke sana belum ada masjid, sekarang sudah ada 15 masjid. Begitu juga di tempat-tempat lain.

Tapi, kadang-kadang kita kurang yakin bahwa Allah sudah menjamin, “liyudz-hirahû ‘alad-dîni kullih” (Allah akan memenangkan Islam di atas semua agama (QS 48:28) –red), atau “al-islâmu ya’lû walâ yu’la alaih” (Islam akan menang dan tak akan bisa dikalahkan (al-Hadits) –red). Kita ketakutan dengan globalisasi. Kita ketakutan dengan misi-misi agama lain. Padahal, pengalaman saya membuktikan, semakin maju pengetahuan, maka kebenaran Islam semakin terungkap. Semakin moderen sebuah masyarakat dengan tawaran-tawaran gaya hidup yang aneh-aneh, Islam akhirnya akan menjadi pilihan yang paling obyektif dan rasional. Dan kenyataannya, sekarang di negara-negara maju justru Islam berkembang pesat.

abdul muhaimin

Kemarin saya ke Cina, yang katanya negara komunis. Ternyata di dekat lapangan merah di Beijing, ada sebuah masjid namanya Masjid Niujie, jamaahnya penuh, ada 4.000 orang kalau pas Jum’atan. Di Shanghai juga masjidnya cukup ramai dan indah. Masjidnya ada front office-nya. Jadi ketika datang, kita disambut dan dipeluk. “Anda saudara meski baru ketemu kali ini, karena anda seorang muslim” begitu kata mereka. Kalau di sini kan masjid-nya “liberal” sekali. Khatib datang saja tidak disambut. Celakanya lagi, pas mulih sandale ilang. Makanya kalau pas jum’atan, saya menaruh pasangan sandal saya di tempat yang berbeda.

Di beberapa negara lain, Islam juga berkembang luar biasa. Di Ho Chi Minh, Vietnam Selatan, saya ketemu sesepuh Suku Cham, Haji Idris Isma’il, di sana disebut Madaris Samail, dan juga Anwar Muhammad, yang disebut Van Mad. Memang yang agak minim (jumlah populasi umat Islam –red) di Korea. Tetapi di bagian selatan Korea ada yang sudah mulai masuk Islam.

Tapi kenapa kita menjadi paranoid, seolah-olah segala ancaman akan menghancurkan Islam. Kita tidak yakin dengan jaminan Allah. Ketakutan sendiri. Akhirnya Islam menjadi musuh globalisasi, demokrasi, HAM, atau gender. Padahal itu semua di Islam ada. Dalam ranah pemikiran, Islam menjadi musuh peradaban, oleh penganut Islam semacam itu. Ajaran Islam itu paling final. Di Surat Al-Isra’ ayat 75, “wa la qad karamnâ banî âdam …” (mungkin yang dimaksud QS 17:70 –red), di situ ada tiga kata sumpah Allah, yang menegaskan bahwa Allah pasti sungguh-sungguh dan benar-benar memuliakan manusia. Tapi kenapa manusia berbeda pendapat saja diteror, tidak dimuliakan. Lha Wong Allah saja memuliakan!

Bapak ibu yang saya muliakan. Pondok Pesantren saya itu menerima tamu dari mulai yang berbeda agama sampai yang tidak beragama sama sekali. Sudah lebih dari 70 negara yang datang. Utusan Obama saja datang ke pesantren saya. Lha kok manusia, wong kucing datang tidak bawa agama saja saya kasih makan lho! Itu kan ajaran HAM yang paling final. Dan itu ada di Islam.

Tadi siang saya buat status di Facebook. Saya bertanya, karena sampai hari ini saya belum dapat jawaban yang fix lewat dalil naqliyah. Ketika orang ribut tentang pemimpin perempuan, ternyata ada Negeri Saba’, yang ada jauh sebelum zaman Rasulullah itu, dipimpin raja perempuan bernama Bilqis. Dia menjadi muslim setelah bertemu Nabi Sulaiman. Sebelum menjadi muslim, dia sudah menjadi raja atau ratu yang sukses. Padahal dia penyembah matahari, lho! Ternyata dia mampu membangun Negeri Saba’ menjadi baldatun tayyibâtun wa rabbun ghafûr. Ini luar biasa. Mengapa dia yang bukan muslim bisa disebut sebagai pemimpin yang sukses dan menjadikan Negeri Saba’ menjadi wa rabbun ghafûr? Sementara, kita mengklaim dengan sangat anarkis bahwa orang-orang yang bisa menyelesaikan persoalan itu hanya orang Islam. Bilqis bukan seorang muslimah, akan tetapi di situ ada wa rabbun ghafûr.

Apa sebetulnya yang ingin ditunjukkan Allah kepada kita? Bilqis mampu membangun masyarakat yang demokratis dan berkeadilan. Ingat, “ya’dilu huwa aqrabu lit-taqwa”, adil itu paling dekat dengan takwa. Tapi kenapa kita tidak bisa adil dengan sesama muslim?

Kita itu seringkali malas berpikir. Sehingga Islam menjadi musuh peradaban di ranah pemikiran, dan pada ranah sosial Islam menjadi musuh kemanusiaan. Sangat mengkhawatirkan kalau Islam dibangun oleh cara-cara berpikir yang sangat puritan seperti itu. Saya berbicara agak beda dengan ngaji yang “ndeso-ndeso” itu. Karena kita butuh pencerahan baru, pemikiran baru yang lebih progresif.

Maka wa lâ tafarraqû, jangan mudah terpecah belah, dan wata‘awwanû, kita harus saling tolong menolong, karena kemanusiaan itu luar biasa. Sekarang ini semua dilakukan dengan cara-cara yang sangat kasar dan sangat bertentangan dengan substansi agama Islam. Bukan lagi amar maruf nahyi munkar yang dikedepankan, tapi amar maruf nyambi mungkar. Lha wong Allahu Akbar kok karo ngamuk, ini kan aneh. Kita shalat, Allâhu Akbar, mengagungkan Allah (muftahatun bit-takbîr), diakhiri dengan assalâmualaikum (muftâhatun bit-taslîm). Artinya, dengan teori shalat ini, kalau kita memulai sesuatu dengan mengagungkan Allah, maka harus diakhiri dengan membuat damai di kiri dan kanan. Tidak ada teori dalam Islam, Allâhu Akbar sambil nguncalke watu! Jika ada yang seperti itu, maka dia tidak tahu ajaran shalat. Ya mungkin sebetulnya tahu, cuma karena ada yang mbayari saja.

Karakter seorang muslim haruslah menjaga dan mempersatukan. “Wadzkurû ni’matallâhi ‘alaikum, idz kuntum a’dâ-an fa allafa baina qulûbikum.” Bergaullah dengan hati, jangan bergaul dengan emosi, apalagi bergaul dengan uang. Fenomena sekarang ini, banyak orang bergaul dengan uang. Menilai teman, sahabat, dll., diukur dengan uang. Seolah-olah uang adalah segala-galanya. Seolah-olah kalau dapat uang banyak itu sama dengan mendapat rejeki nomplok.

Rejeki itu bukan uang. Saya kebetulan di Pesantren itu mengajar tafsir, sudah 22 tahun, setiap bakda Subuh. Dari 6.666 ayat, saya kumpulkan ada sekitar 137 ayat yang di situ mengandung kata-kata rejeki. Nahnu narzuqukum, rizqan hasana, dsb. Ternyata kata-kata rejeki di dalam Al-Quran tidak ada satu pun yang bermakna uang. Para komisaris Bank, Direktur SKK Migas, yang gajinya 150 juta fresh money, belum kalau ada tandatangan di mana-mana sebagai pejabat, apakah mereka dapat rejeki? Lâ ya’qulûna fî buthûnihim illan-nâr. Yang masuk ke dalam perutnya itu tidak ada lain kecuali api! Uang itu kan punya nilai kontradiktif. Semakin banyak bukan semakin berlebih, tapi justru semakin semakin berkurang.

Maka bergaullah dengan hati. Kalo kamu disakiti, seperti itu, kira-kira hatimu sakit tidak? Kalau anda dituduh kafir itu, kira-kira Anda sakit tidak? Ya karena itu jangan lakukan.

Saya melihat orang muslim dari basic yang paling fundamental. Kalau dia sudah mengumandangkan lâ ilâha illallâh, ya sudah. Arep dadi Syi’ah, Ahmadiyah, opo klenik, yoben. Itu urusannya sendiri-sendiri. Ukurannya kan memang hanya itu. Ketika terjadi Perang Haibar, kita bisa baca di kitab … karya Ramadhan Al-Muniti (suara tidak cukup jelas –red), yang kemarin dibunuh, ada seorang tentara Yahudi yang namanya saya lupa, ketika akan dibunuh oleh sahabat, dia tiba-tiba mengucapkan dua kalimat syahadat. Sahabat yang sudah terlanjur emosi, yakin bahwa orang Yahudi itu mengucapkan syahadat hanya untuk menyelamatkan diri. Akhirnya dibunuh. Setelah selesai perang, semua mengadu pada Rasulullah, bahwa ada sahabat yang membunuh Yahudi yang bersyahadat itu. Akhirnya sahabat itu dipanggil, “kenapa kamu membunuh Yahudi yang bersyahadat itu?” Dia beralasan bahwa Yahudi itu bersyahadat hanya untuk menyelamatkan diri. Ternyata sahabat itu malah dimarahi oleh Nabi. “Apakah kamu tahu dan sudah membelah dadanya, dan melihat hatinya bahwa dia mengucapkan syahadat hanya karena ingin selamat?” Padahal saat itu dia ber-syahadat sudah menjelang gugur. Seperti itu saja, sahabat akhirnya diminta untuk melakukan kafarat (bayar denda –red).

Bapak ibu sekalian, bergaul dengan hati menjadi sangat penting. Apalagi ibu-ibu, mengasuh anak, mestinya juga dengan hati. Ini kan hari ibu, tha? Kalau ibu-ibu mengandalkan emosi, misalnya mengatakan “kamu kok kayak kambing, nak, jam segini baru pulang.” Insya Allah, anak ibu akan jadi kambing, Bu! Karena, doa seorang ibu itu diamini malaikat. Karena itu, dari mulut seorang ibu jangan keluar kata-kata selain kata-kata yang baik.

Saya ikut Mbah Lim, Klaten (K.H. Muslim Rifa’i Imampuro –red) mulai tahun 1978. Saya belajar kehidupan yang lebih spiritualistik di sana. Mbah Lim itu luar biasa. Kalau salaman dengan santri yang berapa ribu itu, tidak ada kata-kata yang keluar kecuali “soleh, solehah, soleh, solehah”, begitu terus sampai santri terakhir. Ibu-ibu bisa nggak kira-kira seperti itu, jika anak-anak pamit sekolah?

Sekarang ini ada kejadian anak dibuang, anak disiksa. Saya sedih Ibu-ibu, karena saya melihat banner di luaran berbunyi, “menerima penitipan anak umur 6 bulan”. Iki ibue iki ming mrocotke thok yake! Saya heran, bayi 6 bulan dititipkan, ikut full day school. Mau menyusui, ibu-ibu takut kecantikannya hilang. Gendong tidak mau, lalu disurung pakai apa itu, baby apa itu, baby oil. Minumnya diganti susu sapi, jadi anak gudel ya salah siapa!

Saya kadang-kadang narsis. Anak saya itu delapan. Tak usah khawatir, Bu. Istri saya satu. Saya bukan Fathonah! Anak saya delapan, ya Alhamdulillah. Yang pertama sudah jadi dokter, sekarang suami istri masih melanjutkan studi dua-duanya. Yang kedua S2-nya di Norwegia. Yang ketiga, Alhamdulillah hafal al-Quran seperti ibunya, 30 Juz, kuliah di IAIN gratis dan dapat uang saku. Yang keempat sebenarnya dapat kesempatan ke Rusia, tapi sulit mengurusnya. Yang kelima, lali aku haha. Lha kok nduwe anak siji dadi bajigur kabeh, piye!

Ya Alhamdulillah, dari delapan itu, empat di UGM, dua di IAIN, dan dua lagi di pesantren. Yang di pesantren, ikut Mbah Sahal (K.H. Sahal Mahfudz –red) dan sudah dijadikan keluarga di sana. Tapi masih boleh pulang, ya Alhamdulillah. Saya sendiri juga dianggap keluarga oleh putra-putranya Mbah Lim. Jadi, bergaul dengan hati itu menjadi sangat penting.

Fa allafa baina kulûbikum, fa asbakhtum bini’matihî ikhwânâ. Membangun ukhuwah. Ini titik lemah yang sekarang ada di umat Islam. Perbedaan sedikit saja, masak membawa musuh? Wa kuntum ‘alâ syafâ khufratan minan-nâr, fa anqadakum min-ha

Jadi bapak ibu sekalian, perlu satu perspektif baru dalam memaknai Islam sekarang ini. Saya khawatir dengan munculnya euphoria serba syariah! Ada bank syariah, pegadaian syariah, simpan-pinjam syariah. Di Sleman ada hotel syariah, di dekat sini ada spa syariah. Seolah-olah Islam hanya satu aspek syariah thok. Padahal etika, estetika, dan spiritualitas itu lebih substantif daripada syariah.

Di Pesantren saya mengajar tasawuf sudah 18 tahun. Ternyata luar biasa kekayaan spiritualitas Islam itu. Di dalam tasawuf tidak ada claim of truth yang menyebabkan kita menjadi sangat tertutup. Imam Ghazali masuk surga bukan karena mengarang Ihya ‘Ulûmud-Dîn. Tapi hanya karena pengalaman ketika menulis. Pada saat ia mencelupkan penanya, ternyata ada lalat. Maka ia biarkan saja lalat itu menghisap tinta sampai kenyang dan kemudian dibiarkannya terbang. Ternyata itu yang menjadikan Imam Ghazali masuk surga. Az-Zamakhsyari mengarang kitab Uskuriyah ((?) suara tidak cukup jelas –red). Dia bercerita pernah bertemu dengan Sayyidana Umar di dalam mimpi. Lalu Sayyidina Umar bercerita bahwa ia masuk surga bukan karena melakukan pembelaan terhadap Nabi, tapi karena ia menyelamatkan seekor burung pipit yang menjadi mainan seorang anak kecil. Dalam kisah lain yang sangat populer juga ada seorang pelacur yang masuk surga karena memberi minum pada anjing.

Apa sebenarnya makna dari itu semua? Surga adalah kasih. Kalau saya mau bicara lebih lebar lagi sebagai seorang yang kenal dengan semua agama, rasanya ajaran itu tidak ada bedanya dengan Kristen, misalnya. Irhamû man fil ‘ardl, yarhamkum man fis-samâ’ (kasihilah yang ada di bumi, niscaya engkau akan dikasihi yang ada di langit (al-Hadits) –red).

Satu-satunya nabi yang berhak mendapat dua asmaul husna dari Allah adalah Nabi Muhammad. “Laqad jâ akum rasûlum-min anfusikum, azîzun alaihi mâ anittum harîtsun alaikum bil mu’minîna ra’ûfur-rahîm…” (QS 9:128 –red). Dua asma Allah, Ra’ûf dan Rahîm, yang lembut dan yang kasih. Lha wong nabine lembut dan kasih kok umate ngamukan?

Saya rasa, itu saja ibu bapak sekalian. Terlalu panjang nanti. Tapi poin-poin itu semoga menjadi refleksi akhir tahun. Semoga tahun depan umat Islam mendapatkan pencerahan. Menjadi lebih humanis, lebih etis, dan lebih kultural, sehingga Islam betul-betul rahmatan lil ‘âlamîn. Kurang lebihnya mohon maaf. Akhirus-Salam.[]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here