Artikel

Islam dan Ilmu Pengetahuan

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah mencapai tingkat yang mengagumkan dewasa ini bukan saja dapat menjerumuskan manusia kepada sikap mempertuhan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri, tetapi, melihat gejala-gejalanya, tidak mustahil dapat menghancurkan eksistensi manusia. Hal tersebut disebabkan oleh satu hal saja, yakni penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu berada di tangan bangsa-bangsa yang mengesampingkan aspek moral dan spiritual, disebabkan mereka menganut agama yang salah.

Oleh: Mulyono | Sekretaris PB GAI

Seorang sarjana bangsa Barat, Rom Landau, memberikan kesaksian dengan jujur melalui karya tulisnya berjudul The Arab Heritage of Western Civilization yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh H. M. Bachrun dengan judul Batu Sendi Peradaban Barat yang Diletakkan oleh Sarjana-sarjana Islam, bahwa kemajuan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan dalam dua abad terakhir ini semata-mata karena kebaikan hati sarjana-sarjana Muslim yang telah lebih dulu mencapai kemajuan dalam bidang ini. Yang membuat kekaguman Rom Landau atas kemajuan bangsa-bangsa Muslim dalam lapangan intelektual ini justru didorong oleh semangat melaksanakan ajaran agama. Sedangkan agama Kristen, yang secara kokoh telah diletakkan sebagai dasar kerohanian dan moral bagi bangsa-bangsa Eropa, kelengkapan dalam urusan intelektual terlampau lemah dan bahkan terdapat jurang yang dalam antara kepercayaan dan akal.[1]

Memang diakui bahwa kemajuan bangsa-bangsa Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan itu terjadi setelah adanya kontak dengan peradaban Yunani, yang dari sanalah sarjana-sarjana Muslim mendapati peninggalan ilmuwan-ilmuwan Yunani. Kendati demikian, peninggalan-peninggalan Yunani itu tidak akan memberikan sumbangan apa-apa jika tidak diambil oleh sarjana-sarajana Muslim yang, mereka bukan saja menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab, melainkan juga memberikan catatan-catatan dan bahkan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga terwujud ke dalam ilmu-ilmu yang baru sama sekali. Sumbangan sarjana-sarjana Muslim itulah yang memungkinkan terjadinya renaisan di Eropa pada abad ke-16 Masehi.

Sayangnya, setelah dasar-dasar ilmu pengetahuan modern itu diserahkan kepada bangsa Eropa, di dunia Islam terjadi kemandegan dalam upaya mengembangkan ilmu, yang agaknya lebih disebabkan oleh persoalan-persoalan di bidang politik. Di tangan bangsa Eropalah ilmu pengetahuan mencapai puncak kemajuannya, yang mengantarkan bangsa Eropa memegang hegemoni dunia hingga dewasa ini.

Seperti telah dikemukakan di muka, kemajuan ilmu pengetahuan di kalangan Islam semata-mata didorong oleh semangat yang menyala-nyala dalam melaksanakan ajaran agama. Dengan kata lain, pada zaman permulaan Islam hingga lebih kurang tiga abad berikutnya, antara agama dan ilmu pengetahuan dipandang sebagai satu kesatuan yang integral, sehingga mempelajari ilmu pengetahuan dipandang sama pentingnya dengan mempelajari agama. Tidak demikian halnya yang terjadi di Dunia Barat, yang meletakkan dasar-dasar etik dan kerohanian pada agama Kristen, kemajuan ilmu pengetahuan di kalangan mereka justru disebabkan karena memisahkan agama dari ilmu pengetahuan. Itulah makanya, kemajuan ilmu pengetahuan di tangan mereka justru menimbulkan kerusakan di muka bumi, yakni antara lain dengan aksi imperialisme dan kolonialisme, dan juga dengan dikembangkannya pembuatan senjata-senjata pemusnah massal. Hal tersebut disebabkan karena, sekali lagi, sendi dasar kerohanian dan moral mereka dibangun di atas aqidah yang salah, yakni bertuhan kepada selain Allah.

“Langit hampir-hampir pecah karena ucapan itu, dan bumi membelah, dan gunung runtuh berkeping-keping. Karena mereka mengakukan seorang putra kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.”[2]

Berdasarkan uraian di atas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa kemunduran Islam, bukan saja dalam bidang ilmu melainkan dalam hampir semua aspek itu, disebabkan karena umat Islam memisahkan ilmu dari agama. Inilah yang, agaknya, dicemaskan oleh Rasulullah saw. “Yaa Rabbi, sesungguhnya kaumku telah memperlakukan Qur’an ini sebagai barang yang ditinggalkan.”[3]

Hingga sekarang ini masih banyak umat Islam yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah peradaban bangsa Barat yang notabene beragama Kristen, yang dalam pandangan aqidah Islam adalah kafir. Dengan begitu, mereka beranggapan bahwa dengan belajar ilmu pengetahuan kepada bangsa Barat sama artinya dengan belajar kepada orang kafir, yang tidak mustahil akan menjerumuskan kepada kekafiran.

Agama sebagai dasar ilmu pengetahuan

Sebagaimana telah dikemukakan di muka, kemajuan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan semata-mata didorong oleh pengamalan ajaran agama. Lahirnya ilmu bumi, misalnya, terutama didorong oleh pengamalan ibadah haji. Islam yang pada abad ke-8 telah menguasai wilayah-wilayah yang jauh dari Jazirah Arab, sangat memerlukan pengetahuan tentang rute perjalanan yang paling dekat menuju Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Untuk keperluan ini sejumlah orang Islam melakukan perjalanan, baik melalui darat maupun laut, guna mengunjungi daerah-daerah yang luas itu. Di antara mereka yang paling terkenal adalah Ibnu Battutah dan Muhammadu. Para musafir itu membuat catatan-catatan tentang kebudayaan dan apa saja yang dirasa penting bagi wilayah-wilayah yang dikunjungi, yang bahan-bahan ini disusun menyerupai ensiklopedi seperti yang kita kenal sekarang.

Lahirnya ilmu falaq, didorong oleh pengamalan ibadah shalat, dimana dari wilayah-wilayah yang jauh dari kota Makkah (Ka’bah), yakni tempat mengarahkan wajah ketika seorang Muslim melakukan shalat, harus mampu menentukan arah yang tepat. Di samping itu ilmu ini sangat penting guna menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan, dimana seluruh umat Islam berkewajiban melaksanakan puasa. Sementara itu lahirnya ilmu trigonometri didorong oleh aturan tentang pembagian harta waris, terutama yang berwujud tanah. Pembagian harta waris berupa tanah yang tidak beraturan bentuknya hanya mungkin dilakukan secara tepat sesuai aturan agama, jika digunakan ilmu trigonometri. Lahirnya ilmu pasti, mula-mula didorong oleh ajaran tentang zakat, dimana setiap Muslim yang mampu harus melaksanakannya. Dalam hal ini, tiap-tiap orang harus bisa menghitung sendiri besarnya zakat yang harus dibayarkan.

Bangsa Eropa, sebelum belajar kepada sarjana-sarjana Islam, hanya mengenal angka Romawi. Angka Romawi tidak mengenal angka pecahan, sehingga terlalu sulit untuk mengembangkan ilmu pasti. Tetapi para sarjana Muslim memperkenalkan angka Arab yang fleksibel dan dapat dipecah melalui sistem desimal hingga sekecil-kecilnya, lebih-lebih setelah diperkenalkannya angka 0 (nol) oleh sarjana Muslim pada tahun 734. Dengan pengembangan ilmu pasti inilah ilmu teknik memperoleh dasar-dasarnya, yang di kemudian hari mendorong penemuan alat-alat teknologis.

Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan

Islam adalah agama yang ajarannya selaras dengan fitrah manusia, yang salah satu fitrah manusia itu adalah berpikir. Allah menyatakan bahwa Islam adalah agama fitrah, yang manusia diciptakan atas fitrah itu. Jika demikian maka penggunaan akal pikiran untuk memahami agama adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Di dalam Islam tidak ditemukan ajaran yang bersifat dogma, karena setiap penerimaan suatu ajaran memerlukan pertimbangan akal yang dengan itu kebenaran ajaran Islam bersifat rasional. Itulah makanya, dalam persoalan keagamaan tidak ada paksaan.[5] Al-Qur’an berulang kali menyatakan pentingnya berpikir bagi manusia dengan kata-kata yaddabbaru[6] yang berarti “berulang kali mempelajari, meneliti, menyelami, merenungkan dan berusaha memahami hingga mengetahui”.[7]

Lahirnya ilmu pengetahuan, tidak bisa tidak, disebabkan adanya proses berpikir dengan menggunakan akalnya, yakni memikirkan peristiwa-peristiwa atau hukum-hukum alam. Dalam hal ini, Al-Qur’an memberitahukan bahwa dalam terciptanya langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang adalah pertanda bagi orang yang mempunyai akal. Menurut firman Allah tersebut, hanya orang-orang yang menggunakan akalnya sajalah yang mampu memahami hukum-hukum alam, yang merupakan objek kajian atau penelitian ilmu pengetahuan. Bahkan, orang yang mau menggunakan akalnya berulang-ulang dikecam, antara lain seperti ayat-ayat berikut ini:

“Dan perumpamaan orang kafir adalah ibarat orang yang menyeru kepada apa yang tak dapat mendengar selain panggilan dan teriakan. Tuli, bisu, buta, mereka tak mengerti.”[8]

“…mereka mempunyai hati yang tidak mereka gunakan untuk mengerti, dan mereka mempunyai mata yang tidak mereka gunakan untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga yang tidak mereka gunakan untuk mendengar. Mereka bagaikan ternak; tidak malahan mereka lebih sesat lagi. Mereka adalah orang yang lengah.”[9]

Hukum-hukum alam (sunatullah) adalah manifestasi dari sifat Allah yang disebut Qudrat (Mencipta), sedangkan Al-Qur’an, yang merupakan sumber utama dan pertama dari seluruh ajaran dan syariat Islam, merupakan manifestasi dari sifat Allah yang disebut Kalam. Oleh karena kedua-duanya berasal dari Allah, maka mustahil terjadi pertentangan, melainkan justru terdapat kesesuaian. Itulah makanya banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan informasi tentang hukum-hukum dan fenomena-fenomena alam, demikian pula sebaliknya, peristiwa dan hukum-hukum alam memberikan kesaksian akan benarnya firman Allah, baik yang telah diketahui pada zaman sekarang ini maupun yang hingga sekarang masih terselubung misteri. Banyak hal yang pada masa sekarang telah diketahui sebagai kebenaran umum, namun beberapa abad sebelumnya sama sekali belum diketahui. Atas dasar ini maka sangat dimungkinkan hingga kini masih banyak rahasia-rahasia alam yang belum terungkap, yang sebenarnya isyarat-isyaratnya sudah terdapat di dalam Al-Qur’an.

Pentingnya menuntut ilmu

Wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah saw. telah mengisyaratkan pentingnya penguasaan ilmu dengan cara membaca dan menulis, yang akan mengantarkan manusia pada kemuliaan. Dalam hal ini Allah berjanji akan mengangkat ke derajat yang tinggi bagi orang-orang yang beriman dan berilmu.[10]

 “Ia menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Ia kehendaki. Dan barangsiapa diberi hikmah, dia itu sebenarnya diberi banyak kebaikan. Dan tak seorang pun akan ingat kecuali orang yang mempunyai akal.”[11]

Betapa pentingnya menuntut ilmu bagi setiap orang Islam, sampai-sampai Allah mengajarkan sebuah doa, “Tuhanku, berilah aku tambahan ilmu.”12

Di samping Al-Qur’an, banyak sekali sabda Nabi saw. yang menunjukkan pentingnya menuntut ilmu. Beberapa di antaranya seperti berikut ini.

“Barangsiapa pergi menuntut ilmu, dia berada di jalan Allah hingga dia kembali.” (Imam Tirmidzi)

“Hendaknya janganlah iri hati kecuali dalam dua hal: orang yang dianugerahi Allah harta dan kekuasaan untuk dibelanjakan dalam pengabdiannya kepada kebenaran dan orang yang dianugerahi oleh Allah hikmah dan dia mengadili dengan itu dan mengajarkannya kepada orang lain.” (Imam Bukhari).

“Perkataan yang mengandung hikmah itu milik orang beriman yang hilang, karena itu barangsiapa menemukannya dia lebih berhak atasnya.” (Imam Tirmidzi)

“Orang berilmu itu ahli waris para nabi, mereka meninggalkan ilmu sebagai warisan, barangsiapa mewarisinya, ia mewarisi harta yang besar.” (Imam Bukhari).

“Di antara tanda-tanda Sa’ah ialah bila ilmu dihapuskan dan kebodohan merajalela.” (Imam Bukhari)

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap orang Muslim baik laki-laki maupun perempuan.” (Imam Baihaqi)

“Ada tiga macam orang yang akan mendapat pahala: orang laki-laki yang mempunyai hamba perempuan dan dia mendidiknya dengan pendidikan yang sebaik-baiknya dan dia mengajarkan ilmu dengan ajaran yang sebaik-baiknya kemudian dia memerdekakannya dan mengawininya, maka dia mendapat pahala berlipat ganda.” (Imam Bukhari)

“Hendaklah yang hadir menyampaikan ilmu kepada mereka yang tak hadir.” (Imam Bukhari).

Khatimah

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah mencapai tingkat yang mengagumkan dewasa ini bukan saja dapat menjerumuskan manusia kepada sikap mempertuhan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri, tetapi, melihat gejala-gejalanya, tidak mustahil dapat menghancurkan eksistensi manusia. Hal tersebut disebabkan oleh satu hal saja, yakni penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu berada di tangan bangsa-bangsa yang mengesampingkan aspek moral dan spiritual, disebabkan mereka menganut agama yang salah.

Untuk mengatasi masalah ini, paling tidak ada dua hal yang harus segera dilakukan oleh umat Islam, yakni memberikan dasar-dasar moral dan spiritual berdasarkan aqidah Islam kepada bangsa-bangsa pengembang dan penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya bangsa-bangsa Barat, dengan cara dakwah Islam di kalangan mereka, dan/atau mengambil kembali penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu dari tangan bangsa-bangsa Barat, antara lain dengan tidak memisahkan ilmu pengetahuan dari ajaran agama Islam.[]

_________________

1. H.M. Bachrun, Batu Sendi Peradaban Barat yang Diletakkan oleh Sarjana-sarjana Islam (terjemah bahasa Indonesia dari The Arab Heritage of Western Civilization karya Rom Landau), Jakarta: PT Penerbit & Balai Buku Ichtiar 1964, Hlm. 7
2. QS 19:90-91
3. QS 25:30
4. H.M. Bachrun, Ibid. Hlm. 26
5. QS 2:256
6. Lihat QS 4:82; 23:68; 38:29; 47:24 dan lain-lain.
7. Kamus Tajul Arus dan kamus Al-Muhit dalam Soedewo P.K., Islam dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1994 Hlm. 2
8. QS 2:171
9. QS 7:179
10. QS 58:11
11. QS 2:269
12. QS 20:114


 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »