Poligami adalah istilah dalam perkawinan yang menjadi teramat stigmatik saat sekarang ini. Poligami dinilai sebagai perbuatan negatif, yang karenanya tabu untuk dilakukan.
Poligami, atau lebih tepatnya poligini (laki-laki menikahi banyak wanita), biasa terjadi dalam alam budaya patriarkal. Sejak zaman feodal hingga zaman yang katanya demokratis ini, praktek itu tetap berlangsung.
Para raja, kaum bangsawan, para pemuka agama (agama apa saja), hingga orang-orang biasa, banyak yang melakukan praktek poligami. Bahkan para nabi, selain Nabi Muhammad, juga tidak sedikit yang melakukan praktek yang sama. Sebut saja sebagai misal Nabi Ibrahim, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Musa, Nabi Isa, dll.
Poligami menjadi tampak buruk rupa karena dilatari oleh adanya kenyataan bahwa praktek ini, baik di zaman baheula maupun di alam modern ini, dianggap menjadi sekedar medium pelampiasan nafsu birahi kaum pria, sehingga membuat banyak kerugian bagi pihak perempuan, membuat anak-anak menjadi korban rumah tangga yang tidak harmonis, dan berbagai dampak buruk lain yang semakin membuat citra poligami semakin buruk.
Citra buruk poligami itu kemudian juga diterapkan untuk menilai praktek poligami yang dilakukan oleh Nabi Suci Muhammad saw. Acapkali Rasulullah dituding sebagai budak hawa nafsu, karena banyaknya wanita yang ia nikahi.
Lantas, apakah citra itu sejalan dengan fakta kehidupan poligami Rasulullah saw? Pertanyaan ini akan kami jawab dengan menguraikan alasan-alasan mengapa Rasulullah melakukan poligami.
Tetapi sebelum menyampaikan alasan apa saja yang membuat Nabi Muhammad saw. melakukan poligami, ada baiknya kami uraikan fakta-fakta singkat terkait hidup dan kehidupan Rasulullah saw.
Sejak kanak-kanak hingga dewasa, Rasulullah dikenal sebagai orang yang sopan tingkah lakunya, santun tutur katanya, dan selalu menjaga kesucian dan kehormatan diri. Beliau tidak dikenal sebagai orang yang lancung (pendusta) ataupun lacur (mesum). Singkat kata, budi pekerti Rasulullah berbanding terbalik dengan kebanyakan laki-laki pada masanya.
Rasulullah saw. mencurahkan hampir seluruh hidupnya untuk mengubah tatatanan dan peradaban jahiliah yang sudah mengurat mengakar dalam kehidupan bangsanya. Kehidupan jahiliah bermakna kehidupan yang penuh dengan gelimang kemaksiatan, kriminalitas, kebodohan, kemiskinan akhlak, dsb.
Rasulullah berupaya membangkitkan bangsanya dari jurang keterpurukan moral, dan mengangkat derajat mereka untuk menjadi manusia yang bermartabat dan berakhlak mulia. Dan beliau sendiri menampilkan diri sebagai contoh terbaik dalam perbaikan dan peningkatan moralitas itu.
Sebagai keturunan bangsawan dan hartawan, Rasulullah punya peluang besar untuk bisa beristri banyak. Bahkan bukan hanya istri, tetapi juga bisa memiliki budak atau gundik yang bisa dijadikan pelampiasan nafsu birahi. Sesuatu hal yang dalam adat kebiasaan masyarakat Arab pada umumnya di masanya, bukanlah perkara yang tabu. Bahkan cenderung dianggap sebagai sesuatu yang lumrah.
Tetapi dalam riwayat, Rasulullah menghabiskan masa mudanya dengan hanya beristri satu, yakni Khadijah seorang. Barulah sesudah Khadijah meninggal, beliau menikah dengan beberapa perempuan lain, di usianya yang sudah kepala lima.
Dari sekian belas jumlah istrinya, hanya seorang yang masih perawan, yakni Aisyah binti Abu Bakar. Selebihnya, janda-janda yang secara fisik kebanyakan tak lagi menarik, dan secara ekonomi sosial tak berdaya. Kebanyakan istri-istri Rasulullah adalah janda tua korban perang dan budak belian yang dimerdekakan.
Masa ketika Rasulullah melaksanakan poligami adalah masa yang penuh perjuangan. Perjuangan yang boleh dikata paling hebat dan paling berat dalam catatan sejarah Islam.
Masa ini bermula sejak Rasulullah ditinggal mati oleh istri dan paman tercinta, Khadijah dan Abu Thalib. Sebabnya, wibawa kedua orang ini seolah menjadi tameng pelindung bagi Rasulullah dari keras dan kejamnya penolakan dan permusuhan kaum kafir Quraisy terhadap usaha dakwahnya.
Sesudah hijrah ke Yatsrib, yang kemudian berganti nama menjadi Madinah, perjuangan Rasulullah dan kaum muslimin bertambah berat. Serangan dan gempuran dari kaum kafir Quraisy semakin menjadi, sehingga memaksa beliau dan kaum muslimin mengangkat senjata. Peperangan tidak bisa dihindari, dan terus berlangsung hingga lebih dari tujuh tahun berturut-turut.
Korban perang tidak terbilang banyaknya. Akibatnya, banyak janda dan anak yatim yang membutuhkan naungan dan perlindungan. Sebabnya, para suami yang menjadi tulang punggung nafkah keluarga, banyak yang mati di medan perang.
Karena itulah, para sahabat saling bahu membahu, saling bantu membantu, saling tolong menolong antara yang satu dengan yang lain. Salah satu cara saling membantu itu, adalah dengan menikahkan para janda korban perang itu, dengan sahabat lainnya yang masih hidup.
Hal ini dilakukan semata agar para janda dan anak yatim bisa menggantungkan diri kepada para pemberi nafkah yang menanggung kehidupan rumah tangganya. Nafkah yang dimaksud tentu bukan hanya nafkah lahiriah semata, tetapi nafkah batiniah juga.
Hal ini juga menjadi catatan bahwa pada masa itu, praktek poligami tidak hanya dilakukan oleh Rasulullah saw. saja. Tetapi para sahabat yang lain pun juga melakukan hal yang sama, dengan maksud dan tujuan yang sama pula.
Sebagai uswah hasanah, Rasulullah tentu tidak hanya memberi perintah kepada para sahabat untuk menikahi para janda korban perang itu, tetapi juga memberikan contoh prakteknya sekalian.
Catatan lainnya adalah, bahwa dalam berbagai riwayat hadits, di masa-masa poligami itu Rasulullah hidup dalam kesucian dan kesederhanaan. Banyak hadits yang meriwayatkan bahwa waktu siang Rasulullah habis dalam berbagai urusan, baik sebagai kepala negara atau raja, panglima perang, pengkhotbah, pendakwah, dsb.
Sementara itu, malam hari beliau habiskan dengan shalat malam, berdzikir dan membaca kembali firman-firman Tuhan. Bahkan salah satu riwayat dari para istrinya, shalat malam yang dilakukan Rasulullah berlangsung lama sekali, dari sejak sepertiga malam sampai fajar menyingsing. Sehingga diriwayatkan kaki beliau bahkan hingga bengkak-bengkak karena lamanya berdiri shalat.
Hidup Rasulullah di masa-masa poligaminya juga terbilang miskin. Bahkan boleh dikata, dalam istilah sekarang ini, beliau hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal sebelumnya, Muhammad muda adalah seorang bangsawan dan saudagar kaya raya. Ditopang juga oleh sang Istri, Khadijah, yang kala itu tak kalah kaya rayanya pula.
Rasulullah terbilang orang yang selalu hidup sederhana, baik dalam keadaan kaya raya maupun dalam keadaan miskin. Ia tak seperti layaknya hartawan, keturunan bangsawan, atau para pemimpin kabilah lain di masanya, yang suka berhambur harta dan pesta pora.
Kekayaannya justru kemudian dihabiskan untuk perjuangan dan dakwah. Ia sendiri di akhir-akhir masa usianya tidur beralaskan tikar daun kurma. Alat perkakas satu-satunya yang tersisa di rumahnya adalah sebuah kendi air minum dari tanah liat.
Hingga akhirnya, Rasulullah pun wafat dalam keadaan papa, tak memiliki harta benda yang bisa diwariskan kepada anak cucunya. Padahal, beliau wafat selagi masih menjabat sebagai raja dari suatu wilayah kekuasaan yang cukup luas, dan panglima tertinggi dari pasukan perang yang sudah menaklukkan berbagai kabilah dan bangsa-bangsa di Jazirah Arab dan sekitarnya.
Jadi, sesungguhnya apa motif atau alasan Rasulullah menikahi banyak perempuan di masa usia senja, ketika justru ia tengah berjuang hebat, serta dalam keadaan kekurangan harta benda dan menanggung banyak urusan dan perkara itu?
Sekurang-kurangnya ada tiga perkara yang menjadi alasan atau motif Rasulullah menikahi banyak perempuan, atau berpoligami, pada masa yang sedemikian itu.
Pertama, melindungi atau mengayomi janda dan anak yatim yang ditinggal mati oleh suami atau ayah mereka akibat perang.
Pasca hijrah, keadaan ekonomi dan sosial kaum muslimin, khususnya kaum muhajirin, masih belum mapan benar. Celakanya lagi, kaum kafir Quraisy seolah tidak puas-puasnya mengejar dan memberi tekanan kepada mereka.
Hingga akhirnya, agresi kaum kafir Quraisy menjadikan pecah perang di kedua belah pihak. Kaum muslimin terpaksa angkat senjata, untuk membela hak asasi mereka yang tertindas.
Peperangan terus terjadi sejak tahun kedua hingga tahun ketujuh Hijrah. Peperangan itu memakan korban tidak sedikit. Banyak di antaranya adalah kepala rumah tangga yang meninggalkan tanggungan istri dan anak.
Inilah salah satu alasan mengapa Rasulullah mengizinkan para sahabat untuk berpoligami. Dan ia sendiri memberi contoh dengan menikahi janda-janda korban perang itu.
Dengan motif pengayoman inilah Rasulullah menikahi Saudah, Hafshah, Zainab, Ummi Salamah, Ummi Habibah, dan Maimunah.
Alasan atau motif kedua adalah terkait soal politik perdamaian. Misalnya pernikahannya dengan Juwariyah binti Harits di tahun kelima Hijrah. Juwariyah adalah anak pemimpin kabilah Bani Musthaliq. Ia ditawan oleh kaum muslimin pasca kemenangan dalam Perang di Muraisy.
Rasulullah memerdekakan Juwariyah dan lantas menikahinya. Dan karena pernikahan itu, seluruh tawanan dari Bani Musthaliq dibebaskan. Alasannya, tidak pantas keluarga Nabi menjadi tawanan.
Tak lama berselang, kaum Bani Musthaliq seluruhnya masuk Islam, demikian juga dengan Harits bin Abu Dhirar, ayah Juwariyah sekaligus pemimpin Bani Musthaliq.
Motif yang sama terjadi dalam pernikahan Rasululullah dengan Shafiyah binti Hay, pimpinan Kaum Yahudi dari Khaibar. Pernikahan keduanya mengakhiri perselisihan dan peperangan yang terjadi antara kaum muslimin dengan kaum Yahudi dari Bani Nadzir dan Bani Quraidzah.
Alasan ketiga adalah untuk mengangkat derajat atau martabat wanita yang dinikahinya. Misalnya pernikahan Rasulullah dengan Mariyah Al-Qibtiyah. Mariyah adalah budak belian Raja Mauquqis di Mesir, yang dipersembahkan kepada Rasulullah sebagai hadiah. Rasulullah lantas memerdekakan Mariyah dan menikahinya. Sehingga, statusnya sebagai budak belian berubah drastis menjadi istri seorang raja.
Alasan serupa, meski tak sama, terjadi dalam pernikahan Rasulullah dengan Zainab Binti Umaimah. Zainab diperistri oleh Rasulullah, sesudah bercerai dengan Zaid bin Haritsah, seorang budak belian yang diangkat anak oleh Rasulullah.
Mulanya Umaimah, yang adalah bibi Rasulullah sendiri dari Abdul Muthalib, meminta Rasulullah untuk menikahi putrinya itu. Tetapi Rasulullah justru meminta Zainab menikah dengan Zaid.
Dengan pernikahan itu, Rasulullah bertujuan menghilangkan adat kebiasaan yang mengharuskan pernikahan terjadi hanya di antara sesama bangsawan, atau antara kedua belah pihak yang memiliki derajat sosial yang sama.
Pernikahan antara Zaid dan Zainab pun tetap berlangsung, meski tampaknya keluarga dan kerabat Zainab tidak sepenuhnya memberi restu. Dan kenyataannya, pernikahan itu tidak berlangsung harmonis. Tampaknya perbedaan status sosial di antara kedua belah pihak mengakibatkan kehidupan rumah tangga keduanya tidak berlangsung baik, tetapi justru dipenuhi perselisihan. Akhirnya Zainab dan Zaid pun bercerai.
Masalah baru timbul. Dalam budaya Arab masa itu, wanita yang diceraikan suami dipandang rendah dalam masyarakat. Lebih parahnya lagi, istri yang diceraikan adalah putri seorang bangsawan, yang bahkan diceraikan oleh seorang bekas budak belian.
Rasulullah pun lantas menikahi Zainab, demi memenuhi permintaan Umaimah dan kerabatnya. Selain itu, pernikahan itu dilakukan demi menepis anggapan bahwa perempuan yang diceraikan seorang suami, bahkan meskipun suaminya itu berstatus sosial rendah, adalah wanita yang rendah martabatnya.
Demikianlah praktek poligami yang dilakukan oleh Rasulullah. Istri-istri Rasulullah tidak dinikahi dalam situasi penuh suka cita dan gelimang harta. Bahkan sebaliknya, mereka dituntut untuk ikut berkorban jiwa raga dalam perjuangan Rasulullah menegakkan Islam hingga akhir hayatnya.
Rasulullah, sebagaimana diabadikan dalam Quran Surat Al-Ahzab, memberikan pilihan kepada mereka: hidup dalam kesenangan dan kemewahan tetapi berpisah dengannya, atau hidup dalam perjuangan dan kesederhanaan bersamanya, dengan imbalan janji anugerah pahala yang tak kasat mata.
Mereka tetap memilih bersetia kepada Rasulullah. Mereka bahkan kemudian menjadi ummahatul mukminin, menjadi guru umat sekaligus contoh teladan seorang istri sekaligus seorang ibu yang bermartabat dan berakhlak mulia.
Nah, itulah Sunnah Nabi kita di dalam praktek berpoligami. Sudah barang tentu kaum muslimin perlu mencontoh Rasulullah saw., sebagai uswatun hasanah, suri tauladan umat dalam hidup dan kehidupan.
Yuk, berpoligami. Poligami pakai aturan yang Nabi ajarkan!
Oleh : Basyarat Asgor Ali