Tokoh

Imam Musa Projosiswoyo: Sosok Teladan dalam Dakwah Islam

Imam Musa Projosiswoyo lahir di Solo pada 19 Juli 1942 dan wafat di Jakarta pada 15 Januari 2005.

Menurut penuturannya, ia mengenal Ahmadiyah-Lahore dari Kakeknya dan juga kedua orangtuanya. Sang kakek, Moehamad Aspari, mengenal Ahmadiyah-Lahore dari HOS Cokroaminoto. Ia lantas berkorespondensi dengan Maulana Muhammad Ali, pimpinan Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam Lahore (AAIIL), dan berbai’at kepadanya. Ini terjadi beberapa tahun sebelum Gerakan Ahmadiyah-Lahore di Indonesia terbentuk.

Demikian halnya juga dengan kedua orangtuanya, Muh. Kusban Projosiswoyo dan Asmini. Mereka menyusul bergabung dengan Ahmadiyah-Lahore, dan berbai’at melalui surat. Keduanya lantas mendirikan perpustakaan di rumah mereka di Surakarta, dengan berbagai koleksi buku keislaman, khususnya yang diterbitkan oleh Ahmadiyah-Lahore, dan menyelenggarakan Jalsah beberapa kali di masa pra Perang Dunia II.

Imam Musa menyelesaikan pendidikan sekolah dasar hingga tingkat menengah atas di Surakarta, dari tahun 1950 hingga 1961. Lantas ia menempuh pendidikan S1 di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta.

Di akhir masa studinya, ia justru terlibat dalam demonstrasi besar-besaran menentang kebijakan Presiden Suharto, yang berbuntut pada terjadinya apa yang dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai Peristiwa Malari di tahun 1974.

Sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) kala itu, menjadi mustahil bagi Imam Musa untuk melanjutkan studi di universitas kebanggaannya. Ia kemudian memilih meninggalkan kampus dan aktif dalam agenda dakwah Islam bersama Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI).

Imam Musa menikah pada tahun 1970, dan dari pernikahannya ia dikaruniai 2 putra dan 2 putri. Di masa itu, ia menyibukkan diri dengan menghidupkan kegiatan GAI di Jakarta khususnya. Bersama sahabat seperjuangannya yang lain, seperti Mansyur Basuki, Suyud Ahmad, Bambang Dharmaputera, Basuki Suropranoto, dll, ia mengelola berbagai agenda dakwah dari Markas GAI yang terletak di Jalan Kesehatan, Gambir, Jakarta.

Ia lantas menginisiasi kegiatan Tadarus Quran, yang diselenggarakan setiap hari Minggu secara berkala. Di kemudian hari, kegiatan itu berubah nama menjadi Pengajian Minggu Ketiga.

Imam Musa juga ikut terlibat aktif dalam Lembaga Penerbitan Darul Kutubil Islamiyah (DKI), yang kala itu masih dipimpin oleh H. Soetjipto. Ia kemudian dipercaya menjadi ketua lembaga ini, setelah Soetjipto wafat.

Pada Jalsah tahun 1975, Pedoman Besar GAI memandang perlu merubah bentuk lembaga penerbitan DKI menjadi Yayasan. Atas dasar itu, pada 26 Januari 1976, DKI resmi menjadi Yayasan dengan nama yang sama, yakni Yayasan Darul Kutubil Islamiyah. Imam Musa ditunjuk sebagai Ketua Badan Pengurus, didampingi Bambang Dharmaputera sebagai sekretaris dan Wahyono Hadi sebagai bendahara.

Dari lembaga ini terbit berbagai buku, buklet, jurnal, majalah dan brosur yang berisi konten dakwah Islam. Buku yang diterbitkan antara lain Terjemah & Tafsir Al-Qur’an dan Islamologi, buah Karya Maulana Muhammad Ali, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh   H. M. Bachroen.

Imam Musa sendiri, bersama Kaelan, ikut menerjemahkan buku A Manual of Hadith karya Maulana Muhammad Ali, dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Kitab Hadits Pegangan.

Imam Musa (kedua dari kanan di barisan depan) di tahun 80-an

Tahun 1987, Imam Musa pindah ke Cimanggis, dengan alasan supaya lebih dekat dengan perusahaan di mana ia bekerja. Di sana, ia mendirikan Yayasan Darussalam Projosiswoyo, yang didedikasikan untuk mengenang adik bungsunya. Melalui Yayasan ini, Imam Musa menyelenggarakan kegiatan Tadarus Quran setiap akhir pekan.

Ia juga mendirikan perpustakaan dan depot buku kecil yang menyediakan buku-buku keislaman, khususnya yang diterbitkan oleh GAI, baik yang diterbitkan di Yogyakarta maupun di Jakarta.

Tahun 1993, Imam Musa melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Dan di akhir tahun 1997, ia pensiun muda dari pekerjaannya karena menderita sakit liver.

Di masa pensiunnya ini, Imam Musa justru semakin aktif dalam kegiatan dakwah Islam. Ia mengorganisir kegiatan Pengajian Minggu Ketiga, Agenda Shalat Jumat, dan berbagai agenda kegiatan lain di Markas Kesehatan.

Ia juga semakin aktif berkorespondensi dengan jaringan Ahmadiyah-Lahore di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Trinidad, India dan Pakistan, dan berbagi informasi dan kabar berita mengenai kegiatan dan perkembangan Gerakan Ahmadiyah, baik di Indonesia maupun di berbagai negara lain.

Imam Musa mencurahkan sebagian besar masa tuanya dengan menerjemahkan berbagai buku dan buklet yang diterbitkan oleh Ahmadiyah-Lahore. Di samping itu, ia juga tetap aktif memproduksi artikel, yang dimuat dalam berbagai majalah yang diterbitkan dari lembaga penerbitan yang ia pimpin, antara lain Majalah Fathi Islam, Majalah Warta Keluarga GAI, dan Jurnal Studi Islam.

Berikut ini adalah beberapa buku karya terjemah Imam Musa Projosiswoyo, baik yang sudah maupun belum diterbitkan.

  1. Agama-Agama Besar Dunia, diterjemahkan dari buku “The Great Religions of the World” karya Ulfat Azizu Samad
  2. Anwarul Quranjilid 1 (Surat 102-114), diterjemahkan dari buku dengan judul yang sama karya Basharat Ahmad
  3. Jiwa Shalat dan Do’a, diterjemahkan dari “The Soul of Salah and Du’a” karya Imam Kalamazad Mohammed
  4. Manfaat Cobaan dan Kesengsaraan, diterjemahkan dari “Necessity and Benefits of Trials and Tribulations” karya Imam Kalamazad Mohammed
  5. Anwarul Quran, Bagian II & III (Surat 78-101), diterjemahkan dari buku dengan judul yang sama karya Basharat Ahmad
  6. Muhammad dalam Kitab Suci Dunia, vol. I, diterjemahkan dari “Muhammad in World Scriptures” karya Maulana Abdul Haq Vidyarthi
  7. Kehidupan Nabi Muhammad, diterjemahkan dari “Living Thoughts of Prophet Muhammad” karya Maulana Muhammad Ali
  8. Khulafaur-Rasyidun, diterjemahkan dari “The Early Caliphate” karya Maulana Muhammad Ali
  9. Yesus dalam Surga Dunia, diterjemahkan dari “Jesus in Heaven on Earth”karya Khwaja Nazir Ahmad
  10. Kenabian dalam Islam, diterjemahkan dari “Prophethood in Islam” karya Maulana Muhammad Ali

Imam Musa adalah sosok seorang muslim yang sangat tulus dalam pengabdian dan berdedikasi tinggi dalam berkarya. Buah karyanya menunjukkan semangat dan komitmennya yang tinggi di dalam menyelenggarakan aktivitas dakwah Islam.[Asgor Ali]

Yuk Bagikan Artikel Ini!
Translate »