Artikel

Ijtihad: kebutuhan umat di segala zaman

Sumber segala asas dan hukum Islam itu empat, yaitu Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Quran dan Sunnah (Hadits) disebut ad-daliilatul-qath’iyah (mutlak). Adapun ijma’ dan qiyas disebut ad-daliilatul-ijtihadiyah (dalil yang diperoleh dengan ijtihad).

Ijtihad artinya berusaha sekeras-kerasnya untuk memperoleh opini (ra’yun) tentang suatu masalah atau suatu hukum (Kamus Lisanul Arab), dengan jalan menerapkan analogi (qiyas) pada Quran atau Sunnah (Hadits). Hasil ijtihad semacam ini disebut ra’yun (opini) yang diperoleh dengan jalan qiyas.

Ijtihad itu berlawanan sekali dengan taqlid. Taqlid ialah menganut begitu saja pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Jika ia tahu akan dalilnya, maka ia bukanlah tergolong taqlid.

Suatu masalah yang harus diputuskan padahal tak terdapat dalam Quran atau Hadits, maka seorang Hakim dapat mencari persamaan masalah itu dalam Quran dan Hadits, dan mengambil keputusan berdasarkan analogi (qiyas).

Oleh karena qiyas itu hanya pendapat seseorang, maka pendapat ini dapat salah (falliable). Oleh karena itu, banyak terjadi pendapat seorang mujtahid ditolak oleh mujtahid lain.

Jika ijtihad itu dilakukan bersama di antara dua atau lebih ulama, maka disebut ijma’. Sudah tentu, hasil ijma’ ini lebih kuat daripada qiyas, karena ijma’ adalah ijtihad yang dilakukan bersama di antara ulama. Namun demikian, hasil ijma’ juga tidak mutlak benar.

Mengerjakan jihad itu dibenarkan oleh Nabi Suci. Dalam sebuah Hadits, Nabi Suci bersabda, “Jika seorang hakim memberi keputusan, dan ia menjalankan ijtihad, lalu ia benar, ia mendapat ganjaran dua. Jika ia memberi keputusan, dan ia menjalankan ijtihad, lalu ia salah, ia mendapat ganjaran satu.” (HR Muslim)

Dalam Hadits lain diriwayatkan bahwa tatkala Mu’adz diangkat sebagai gubernur di Yaman, beliau ditanya oleh Nabi Suci, “Dengan dasar apakah engkau akan memerintah?” Mu’adz menjawab, “dengan undang-undang Qur’an.” “Tetapi jika engkau tak menemukan petunjuk dalam Qur’an?” tanya Nabi Suci. Mu’adz menjawab, “Aku akan bekerja menurut Sunnah Nabi Suci.” Lalu beliau ditanya lagi, “lalu jika engkau tak menemukan petunjuk dalam Sunnah?” Mu’adz menjawab, “Aku akan berijtihad, dan bekerja atas dasar ijtihad itu.”

Nabi Suci lantas menepuk pundak beliau sambil berkata, “Segala puji kepunyaan Allah Yang telah memberi petunjuk kepada UtusanNya seperti yang Ia kehendaki.” (HR Abu Daud)

Dari Hadits tersebut terang sekali bahwa pada zaman Nabi Suci, ijtihad telah dikerjakan oleh para sahabat. Lebih-lebih setelah beliau mangkat. Para khalifah pun tidak mengambil keputusan sendiri, melainkan menjalankan ijma’ bersama sahabat-sahabat lain.

Maka dari itu keliru sekali pendapat sebagian ulama bahwa ijtihad itu hanya dilakukan oleh empat imam saja, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Lebih keliru lagi adanya pendapat bahwa setelah empat Imam itu, pintu ijtihad telah ditutup. Pendapat inilah yang menyebabkan kemunduran umat Islam.

Alhamdulillah. Sejak abad 12 Hirjiyah, karena terpengaruh oleh ajaran Mujaddid Ibnu Taimiyah, kaum Muslimin mulai bangkit kembali dalam ijtihadnya dari sumber yang asli, yaitu Qur’an dan Sunnah, sehingga mereka memperoleh kembali kemurnian ajaran Islam yang ampuh.

Lebih-lebih di zaman modern sekarang ini, dimana banyak persoalan baru perlu dipecahkan, maka ijtihad merupakan kebutuhan yang perlu segera dipenuhi.

Menurut Imam Suyuthi (Mujaddid Abad 10 H), mujtahid yang sebenarnya adalah para mujaddid pada abad yang bersangkutan. Oleh karena pada tiap-tiap abad akan datang seorang mujaddid, maka sekurang-kurangnya tiap-tiap abad ada seorang mujtahid.

Penulis : H. M. Bachroen | Sumber: Warta Keluarga GAI No. 42/43 | 1 Juni/Juli 1974

Yuk Bagikan Artikel Ini!
Translate »