Dalam khazanah Islam, peristiwa hijrah Nabi Muhammad ? dari Kota Mekah ke Madinah menjadi peristiwa penting yang menandai titik awal perkembangan dakwah Islam. Dan oleh sebab itu, tepat benar jika peristiwa hijrah Rasulullah ? ini dijadikan tonggak sejarah kejayaan atau kemenangan Islam.
Setelah Rasulullah ? berdakwah secara terang-terangan di Kota Mekah, hantaman dan siksaan dari kafir Quraisy mulai meningkat. Mereka tidak senang melihat Islam makin berkembang. Mereka terus menerus memusuhi umat Islam dengan cara mengancam, menyiksa dan menghina.
Berbagai cara dilakukan kafir Quraisy agar Nabi tidak meneruskan dakwahnya. Usaha-usaha pembunuhan terhadap Nabi dan pengikutnya terus digalakkan. Melihat keadaan itu, Nabi Muhammad SAW berpendapat bahwa Makkah tidak dapat lagi diandalkan sebagai pusat dakwah Islam.
Dan demi keselamatan Rasulullah dan umat Islam, Allah Swt memerintahkan Nabi untuk hijrah ke Madinah. Maka, Nabi pun melaksanakan Hijrah ke Madinah. Rencana hijrah Nabi Muhammad saw didengar oleh kafir Quraisy. Kaum Quraisy pun akhirnya merencanakan pembunuhan terhadap Nabi. Namun, mereka tidak berhasil, karena Rasulullah sudah pergi terlebih dahulu.
Peristiwa hijrah Rasulullah saw. Secara tersurat diabadikan dalam Quran Suci. Allah Ta’ala berfirman:
“Jika kamu tak menolong dia, Allah sungguh-sungguh telah menolong dia tatkala orang-orang kafir mengusir dia – dia adalah orang yang kedua dari (orang) dua; tatkala dua orang itu berada dalam goa, tatkala dia berkata kepada kawannya: Jangan merasa sedih, sesungguhnya Allah menyertai kita. Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepadanya dan memperkuat dia dengan bala tentara yang kamu tak melihatnya, dan membuat rendah kalimah kaum kafir. Dan kalimah Allah adalah yang amat luhur” (QS 9:40)
Yang dimaksud “dia” dalam ayat Quran Suci 9:40 di atas adalah Nabi Muhammad saw. yang melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah pada tahun 622 Masehi.
Ayat suci yang menguraikan hijrah Nabi tersebut setidak-tidaknya mengandung tiga peristiwa profetik, yang sekaligus juga menggenapi nubuat Yesaya a.s., seorang Nabi Israel yang hidup sekitar tahun 700 sebelum tarikh Masehi.
Tiga peristiwa profetik yang dimaksud adalah: Pertama, peristiwa pengepungan rumah Rasulullah saw. oleh kaum kafir Quraisy. Kedua, peristiwa di Gua Tsur. Dan ketiga, binasanya kaum kafir Quraisy pasca hijrahnya Rasulullah ke Madinah.
Uraian sekedarnya perihal ketiga profetik tersebut adalah sebagai berikut.
Perlindungan Allah Terhadap Nabi Suci saw.
Perlindungan Ilahi terhadap Nabi Suci Muhammad saw., yang juga mengandung arti perlindungan terhadap Al-Qur’an atau Islam, diisyaratkan dalam QS 9:40 di atas dengan kalimat: “Jika kamu tak menolong dia, Allah sungguh-sungguh telah menolong dia tatkala orang kafir mengusir dia”.
Wujud pertolongan Allah kepada Rasulullah saw. itu antara lain berupa perlindungan dari bahaya maut yang mengancam keselamatan beliau. Ini, misalnya, terjadi pada zaman Mekah akhir, ketika para sahabat telah hijrah ke Madinah, sementara Rasulullah saw. tinggal sendiri di Mekah.
Kaum kafir Quraisy pada kala itu telah membuat berbagai macam rencana yang dirundingkan dalam suatu rapat besar di Darun Nadwa. Mereka kemudian bersepakat untuk membunuh Rasulullah saw. secara bersama-sama. Dan tidak berselang rama sesudah rapat itu, mereka langsung mengepung rumah Rasulullah saw. Tetapi secara diam-diam, pada malam harinya Rasulullah saw. dapat meloloskan diri. Bersama Abu Bakar, beliau bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari tiga malam.
Keesokan hari, para calon pembunuh yang haus darah itu terkejut, mendapati yang bangun dari tempat tidur Rasulullah saw. adalah Ali bin Abi Thalib. Rasulullah saw. sendiri telah meninggalkan Kota Mekah. Mereka terheran-heran, bagaimana bisa Rasulullah saw. lolos dari kepungan mereka. Pada hari itu juga mereka langsung melakukan penyisiran ke seluruh penjuru kota. Tetapi Hasilnya nihil.
Hari berikutnya, dilakukan penyisiran lagi, dan masih membuahkan hasil yang tak berarti juga. Kaum kafir Quraisy pun lantas mengadakan sayembara, dan menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang dapat membawa Rasulullah saw. ke hadapan mereka, baik dalam keadaan hidup atau pun sudah mati.
Peristiwa ini diabadikan dalam Qur’an Suci, “Dan tatkala orang-orang kafir membuat rencana terhadap engkau untuk mengurung engkau atau membunuh engkau atau mengusir engkau – dan mereka membuat rencana, dan Allah juga membuat rencana; dan Allah itu yang terbaik di antara para perencana” (QS 8:30)
Peristiwa dan ayat suci ini adalah pemenuhan nubuat Nabi Yesaya a.s. yang berbunyi: “Ketahuilah, hai bangsa-bangsa, dan terkejutlah! Perhatikanlah, ya segala pelosok bumi. Berikatpingganglah dan terkejutlah! Buatlah rancangan, tetapi akan gagal juga; ambillah keputusan, tetapi tidak terlaksana juga, sebab Allah menyertai kami!” (Yes 8:9-10)
Allah bersama Kita (Innallaaha Ma’aana)
Dalam QS 9:40 di atas, Allah berfirman,“dia adalah yang kedua dari (orang) dua; tatkala dua orang itu berada dalam gua, tatkala dia berkata kepada kawannya: jangan merasa sedih, sesungguhnya Allah menyertai kita.”
Kalimat “sesungguhnya Allah bersama kita” (innallaaha ma’ana) diucapkan Rasulullah saw. kepada Abu Bakar, yang mengalami kecemasan karena mendengar percakapan kaum kafir di dekat mulut Gua Tsur dimana mereka tengah bersembunyi.
Kaum kafir tiba di Gua Tsur berkat petunjuk ahli pencari jejak. Tatkala mereka melewati mulut gua, Abu bakar menyaksikan kaki serta ujung pedang mereka. Tetapi mereka seolah tak tertarik untuk melihat lebih jauh ke dalam gua, karena mulut gua tertutup oleh sarang laba-laba.
Sarang laba-laba yang lemah itu ternyata dapat menjadi “benteng kokoh” yang menyelamatkan sang Rahmatan Lil’alamin. Mengapa? Jawabannya dinyatakan Ilahi dalam firman-Nya:
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil perlindungan selain llah itu seperti perumpamaan laba-laba yang membuat rumah; dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba, sekiranya mereka tahu” (QS 29:41)
Kaum Kafir itu mengambil pelindung selain Allah dan mengandalkan akalnya. Menurut akal sehat, memang tak ada barang atau orang yang bisa masuk ke dalam gua, karena sarang laba-laba dalam keadaan utuh.
Kalimat “innallaaha ma’anaa” yang diucapkan Rasulullah saw. dalam ayat di atassama artinya dengan “imanuel”dalam bahasa Ibrani, yang termaktub dalam profetik atau nubuat Nabi Yesaya a.s. sebagai berikut:
“Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan dia Immanuel. Ia akan makan dadih dan madu sampai ia tahu menolak yang jahat dan memilih yang baik.” (Yesaya 7:14-15)
Ayat profetik Nabi Yesasa ini dalam catatan La Bible de Jerusalem diidentikkan dengan “nubuat kelahiran Kristus,” yang dianggap dapat “mewujudkan keselamatan bagi umat-Nya.” Tetapi jika dikaitkan dengan peristiwa Hijrah Nabi di atas, maka profetik Nabi Yesaya a.s. itu lebih tepat jika ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., bukan Isa al Masih (Yesus kristus).
Untuk melihat korelasinya, mari kita analisa karakteristik “sang imanuel” dalam profetik tersebut lebih tepat diterapkan kepada siapa, Yesus ataukah Muhammad saw.
Pertama, anak laki-laki tersebut dilahirkan oleh “seorang perempuan muda” (ibrani: almah). Kata almah dalam bahasa Ibrahi mengandung arti perempuan muda, gadis, atau anak dara. Dalam bahasa Yunani, kata yang bermakna ganda disebut “partheuos.” Sedangkan gadis atau anak dara dalam bahasa Yunaninya disebut “bethulah.”
Lembaga Alkitab Indonesia menggunakan kata “perempuan muda” untuk menerjemahkan kata “almah” dalam Yesaya 7:14 di atas. Tetapi, kata yang sama diartikan sebagai “anak dara” dalam Matius 1:23.
Kata “almah” tak bisa diterapkan kepada Maria, ibunda Yesus, baik dalam arti perempuan muda maupun anak dara. Sebab, Maria mengalami tua dan wafat dalam usia lanjut. Lagipula, ia bukanlah perawan sebagaimana diyakini oleh kaum Kristen, karena ia berumah tangga, memiliki suami (Yusuf si tukang kayu) dan beranak pinak.
Tetapi almah dalam arti “perempuan muda” dapat diterapkan kepada Siti Aminah, ibunda Muhammad saw., karena beliau wafat dalam usia yang masih sangat muda, di sekitar usia kepala dua.
Kedua, kata “imanuel” yang berarti “Allah bersama kita” atau “Allah bersama kami,” tidak bisa diterapkan dalam sejarah hidup Yesus. Dalam Perjanjian Baru, banyak ayat yang menggambarkan bahwa Allah tidak membersama Yesus. Misalnya, Yesus berada di bumi, sementara Allah (Bapa) berada di langit tatkala ia dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis (Mat 3:16-17).
Bahkan fatalnya, ketika Yesus tergantung di tiang salib pada hari Jum’at Agung sekitar pukul 15:00, Allah justru meninggalkannya. Hal ini tersirat dalam ucapan Yesus sendiri: Eli, Eli, lama sabakhtani? Allahku, Allahku mengapa engkau tinggalkan aku? (Mat 27:46). Lantas, jika kita mengafirmasi keyakinan Kristen, empat puluh hari setelah penyaliban yang gagal itu, Yesus sang anak Allah menyusul Bapa-nya ke Surga, dan meninggalkan umat manusia di bumi hingga sekarang, bahkan untuk selama-lamanya (Mik 16:19).
Semua peristiwa itu sekali lagi menggambarkan bahwa kata “imanuel” tak tepat jika diterapkan kepada Yesus, akan tetapi sangat tepat jika diterapkan kepada Rasulullah Muhammad saw.
Ini ditengarai misalnya tatkala Rasulullah saw. dalam keadaan kritis karena terkepung di Gua Hira, seperti halnya Yesus ketika tergantung di tiang salib. Dalam keadaan kritis itu, Rasulullah saw. justru mengucapkan “laa tahzan innallaaha ma’anaa,” (jangan merasa sedih, sesungguhnya Allah beserta kita).
Di samping itu, dalam Islam hubungan manusia dengan Allah itiu dilukiskan “lebih dekat daripada urat nadinya” (QS 50:16), sehingga “tak ada percakapan rahasia di antara orang tiga melainkan Allah yang keempatnya, dan tak pula antara lima orang melainkan Ia yang keenamnya, tak pula lebih sedikit dari itu dan tak pula lebih banyak daripada itu, melainkan Ia menyertai mereka di manapun mereka berada” (QS 58:7). Jadi, dalam konsepsi Islam, Allah selalu menyertai manusia kapan saja dan di mana saja.
Ketiga, tentang “dadih” tak disinggung-singgung dan tak terkait dengan kehidupan Yesus. Tetapi dalam tarikh Islam, “dadih” adalah minuman fitrah, yang diminum Rasulullah saw. pada saat Isra’ Mi’raj dan juga pada saat beliau bersembunyi bersama Abu Bakar di dalam Gua Tsur, dalam pelariannya selama tiga hari tiga malam.
Keempat, tentang “madu” juga tak disinggung atau terkait dengan Yesus Kristus. Tetapi dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa madu adalah obat bagi manusia (QS 16:68-69). Al-Qur’an sendiri adalah “madu ruhani” yang menjadi obat bagi segala penyakit dalam hati (QS 10:57). Maka dengan demikian, Rasulullah saw. adalah “penghasil” madu ruhani (QS 98:2-3). Karenanya, Al-Qur’an selain sebagai obat, juga menjadi rahmat bagi kaum yang beriman (QS 17:82).
Kebinasaan kaum Quraisy
Perihal “kebinasaan kaum kafir Quraisy” dalam QS 9:40 di atas diisyaratkan dalam kalimat “(Allah) membuat rendah kalimah kaum kafir, dan kalimat Allah adalah yang amat luhur.” Kata kalimah mengandung banyak arti, antara lain “rancangan, ramalan, putusan, tanda, hukuman, kabar suka, ciptaan Tuhan, kata atau ucapan, dan perintah.”
Dalam ayat ini, arti yang tepat adalah “rancangan atau rencana.” Sesuai dengan “rencana kaum kafir” untuk membunuh Nabi Muhammad saw. dan membinasakan Islam. Tetapi, Allah juga memiliki rencana, yakni menyelamatkan Nabi Suci dari upaya pembunuhan itu dan memenangkan Islam atas semua agama. Bahkan Islam dijanjikan akan jauh unggul di atas Kekaisaran Persia, sebagaimana yang disampaikan Rasulullah kepada Suraqah bin Malik dalam perjalanan hijrah menuju Madinah.
Meski Rasulullah saw. telah hijrah ke Madinah, kaum kafir tetap berusaha membinasakan beliau lewat kekuatan senjata. Maka terjadilah peperangan dahsyat, yang selalu berakhir dengan kemenangan di pihak Islam dan kebinasaan di pihak kaum kafir.
Peristiwa Hijrah Nabi Suci Muhammad saw. hingga peperangan yang dialaminya pasca hijrah, menggenapi nubuat Nabi Yesaya yang berbunyi sebagai berikut:
“Ucapan Ilahi terhadap Arabia. Di belukar di Arabia kamu akan bermalam, hai kafilah-kafilah orang Dedan! Hai penduduk tanah Tema, keluarlah, bawalah air kepada orang yang haus, pergilah, sambutlah orang pelarian dengan roti! Sebab mereka melarikan diri terhadap pedang, ya terhadap pedang yang terhunus, terhadap busur yang dilentur, dan terhadap kehebatan peperangan. Sebab beginilah firman Tuhan kepadaku: “Dalam setahun lagi, menurut masa kerja prajurit upahan, maka segala kemuliaan Kedar akan habis. Dan dari pemanah-pemanah yang gagah perkasa dari bani Kedar, akan tinggal sejumlah kecil saja, sebab TUHAN, Allah Israel, telah mengatakannya.” (21:13-17)
Anjuran “membawa air untuk orang haus dan menyambut orang pelarian (hijrah),” tergenapi tatkala penduduk Madinah menyambut kedatangan Rasulullah saw. dan Abu Bakar. Lalu nubuat yang berbunyi “mereka melarikan diri terhadap pedang, ya terhadap pedang terhunus” tergenapi dengan lolosnya Rasulullah saw. dari rumah beliau yang telah dikepung musuh dan juga tatkala beliau bersembunyi bersama Abu Bakar di dalam Gua Tsur.
Profetik “melarikan diri … terhadap busur yang dilentur” terlengkapi tatkala beliau dikejar-kejar oleh Suraqah bin Malik dalam perjalanan menuju Madinah. Bahkan, tiga kali Suraqah melepaskan anak panah dari busurnya untuk membunuh Rasulullah saw., tetapi gagal.
Sedangkan profetik “melarikan diri… terhadap kehebatan peperangan,” tergenapi dengan terjadinya peperangan pasca Hijrah. Akhirnya, profetik “dalam setahun lagi, menurut masa kerja prajurit upahan, maka segala kemuliaan Kedar akan habis,” tergenapi dengan terjadinya Perang Badar di tahun 624 M, dan peperangan berikutnya yang memusnahkan kemuliaan Bani Kedar, yakni kaum Quraisy.[]
Penulis: K.H. Samian Ali Yasir
Comment here