Hidayah dapat diartikan sebagai petunjuk Ilahi kepada manusia agar supaya hidup pada jalan yang benar hingga mencapai tujuan yang sebenarnya.
Mirza Wali Ahmad Baig, muballigh Islam dari Ahmadiyah Anjuman IsHaa’ati Islam Lahore, dalam suatu ceramahnya menyatakan bahwa hidayah Ilahi kepada manusia ada empat tingkatan, yaitu:
- Hidayah Gharizaah atau naluri dalam dirinya, misalnya bayi menyusu ketika haus atau lapar, menangis ketika sakit, memejamkan mata tatkala terganggu, dan sebagainya.
- Hidayah Indrawi sebagai penyempurna naluri yang tidak mampu mencapai sesuatu di luar dirinya, berupa mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk membau, lidah untuk mencicipi dan kulit untuk merasakan. Indra kemampuannya terbatas, untuk menyempurnakannya perlu hidayah.
- Akal yang mampu mengkoordinasi semua infiormasi dari panca indra. Namun demikian, masih banyak hal yang tidak mampu dicapai oleh akal. Untuk menyempurnakan diri manusia, Allah melimpahkan hidayah
- Wahyu Ilahi atau agama yang diwahyukan kepada para Nabi Utuasan Allah dari berbagai bangsa di dunia yang mencapai kesempurnaan dalam Islam (5:3), oleh karena itu kenabian diakhiri pada diri Nabi Suci Muhammad saw (33:40).
Pintu Wahyu tetap terbuka
Dengan sempurnanya agama dalam Islam dan kenabian pada diri Nabi Suci Muhammad saw tak berarti bahwa wahyu Ilahi telah tertutup. Yang telah tertutup hanyalah wahyu kenabian atau risalat saja, sedang wahyu dalam bentuk lain tetap terbuka, misalnya wahyu ilham, wahyu mubasysyarat dan sesamanya. Oleh karena itu Allah Swt menganjurkan agar manusia senantiasa memohon hidayah ke jalan yang benar, yaitu jalan orang-orang yang telah dikaruniai nikmat Ilahi (1:5-6), yaitu para Nabi shiddiqin (manusia tulus), syuhada’ (manusia setia) dan shalihin (manusia luhur) (4:69).
Para nabi menerima wahyu Ilahi dalam segala bentuk, sedang para shiddiqin, syuhada’ dan shalihin menerima berbagai macam wahyu, kecuali wahyu kenabian atau kerasulan. Di samping itu, wahyu yang merupakan nikmat tertinggi yang senantiasa dibutuhkan oleh manusia itu merupakan manifestasi sifat Ilahi, yakni Kalam atau Berfirman (42:51).
Allah itu Baqa’ atau Kekal, yang kekal bukan hanya DzatNya, tetapi juga Sifat-sifatNya. Dahulu Allah berfirman, sekarang berfirman dan besok pun tetap berfirman, bahkan nanti pasca Hari Kiamat di Akhirat tetap berfirman, sebab Dia adalah Mutakalliman, Suatu Dzat Yang Maha berfirman.[]
Comment here