Dalam bersikap terhadap segala perkara agama Islam, GAI mustahil mengingkari dua dalil yang paling otoritatif (al-adillatu-l qath’iyyah), yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.

Dengan berpedoman pada QS 33:40 dan sejumlah Hadits yang menyatakan bahwa sesudah Nabi Muhammad saw. tidak ada nabi lagi, maka setiap klaim kenabian sesudah Nabi Muhammad saw. kami tolak.

Dalam kaitannya dengan hal ini juga, GAI berkeyakinan sepenuhnya bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad TIDAK PERNAH mengklaim dirinya sebagai nabi. Tetapi andai pun memang benar adanya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengklaim sebagai nabi, maka GAI tetap akan menolaknya.

GAI menghormati Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai salah seorang mujaddid, sebagaimana penghormatan yang serupa diberikan pula kepada mujaddid-mujaddid lain, seperti Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, dll.

Faktanya, sebagian besar warga GAI adalah pengikut Imam Syafi’i, terutama dalam hal fiqih ibadah. Warga GAI juga pengikut Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, terutama dalam aspek aqidah, dan lain sebagainya.

Di samping itu, warga GAI adalah juga pengikut Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, terutama dalam aspek metode atau cara menyiarkan dan membela Islam.

Berkenaan dengan aspek penyiaran dan pembelaan Islam itu, GAI mengakui pula bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Masih dan Mahdi yang dijanjikan. Itu pun harus dipahami dalam kaitannya dengan pembabaran dari fungsi dan peran kemujaddidan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, yang erat hubungannya dengan konteks syiar Islam, yang berlaku bagi internal umat Islam maupun antar umat agama lainnya.

Seseorang yang bukan nabi tidaklah mendapat jaminan “tidak salah” dalam upaya ijtihadnya terhadap masalah keagamaan. Oleh karenanya, kemungkinan terjadi kesalahan dalam upaya ijtihad, entah fatal atau tidak, adalah sesuatu yang wajar.

Hal seperti itu bukan mustahil terjadi pula pada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Sebagai seorang yang bukan nabi, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sangat mungkin melakukan kesalahan atau kekeliruan ijtihad dalam upayanya memahami dan memberikan pemahaman mengenai hal-ihwal agama Islam.

Harus diakui, banyak hal dari Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang tidak bisa dipahami atau belum bisa dipahami oleh banyak warga GAI sendiri, terutama dalam hal-hal yang bersifat sufistik-spiritualistik. Ketidakpahaman atau kebelumpahaman itu boleh jadi disebabkan oleh karena berbagai faktor, mungkin persoalan konteks waktu, keadaan, tingkatan spiritualitas, dll.

Dalam menyikapi hal-hal seperti ini, GAI lebih senang untuk kembali kepada dalil-dalil yang qath’i, yang secara umum dipahami, atau dijalankan, oleh kebanyakan umat Islam di Indonesia. Dan pada kenyataannya, sikap sedemikian ini membuat warga GAI, sejauh ini, tidak satu pun yang teralienasi dan apalagi bersikap eksklusif dalam hal praktik-praktik keagamaan (baik ubudiyah maupun muamalah), karena memang tidak ada perbedaan sedikit pun dengan praktik keagamaan mayoritas umat Islam di Indonesia.

Sikap semacam itu juga berlaku dalam hubungan sosialnya dengan siapa pun dan di mana pun.[]

Lihat Juga : Klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dalam Perspektif Ahmadiyah Lahore

Comment here