ArtikelTokoh

Erfan Dahlan: Putra KH Ahmad Dahlan yang Menjadi Mubaligh Ahmadiyah

”Erfan Dahlan dahulu dari Indonesia menuju Thailand Selatan menjadi guru agama Islam dalam suatu perutusan (mission) Ahmadiyah Lahore di Kota Petani, salah satu dari 4 provinsi negara Thailand yang asalnya suatu kerajaan Petani yang diperintah oleh sultan2 Petani,” demikian kesaksian Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir sebagaimana diungkapkan kembali oleh HM Yunus Anis dalam artikelnya, ”Erfan Dahlan: Putera KHA Dahlan yang Bermukim dan Meninggal di Bangkok” (Suara Muhammadiyah, no. 24 Th. Ke-52/1972).

Kesaksian Kahar Muzakkir yang pernah melawat ke Thailand menemui keluarga Erfan Dahlan tersebut menguatkan perspektif bahwa sesungguhnya sang tokoh yang tidak lain adalah putra pendiri Muhammadiyah secara resmi telah bergabung dalam gerakan Ahmadiyah. Dia adalah putra KH Ahmad Dahlan yang menjadi Mubaligh Ahmadiyah. Tetapi sanggahan dan bantahan dari pihak keluarga Erfan Dahlan yang kini menetap di Thailand menegaskan bahwa sang tokoh seorang muslim modernis yang berafiliasi ke Muhammadiyah.

Warisan intelekual dan amal usaha yang dirintis Erfan Dahlan di negeri Gajah Putih lebih menyerupai pola gerakan Muhammadiyah ketimbang Ahmadiyah. Bahkan, gerakan intelektual dan amal usaha rintisan Erfan Dahlan menjadi cikal bakal Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Thailand.

Di antara putra-putri KH Ahmad Dahlan, sosok Erfan Dahlan yang nama kecilnya Muhammad Djumhan memang paling kontroversial. Ia lahir pada tahun 1907 dari keluarga santri yang sangat kuat menjaga ketentuan agama Islam di kampung Kauman, Yogyakarta.

Saudara-saudara kandung Djumhan adalah Djohanah (lahir 1890)—istri Haji Hilal nantinya sangat akrab dengan muballigh Ahmadiyah Lahore. Siradj (lahir 1898 wafat 1948)—pernah menempuh studi di perguruan Al-Irsyad di Batavia. Siti Busyro (lahir 1903)—kader Sapa Tresna yang di kemudian hari berubah menjadi organisasi ‘Aisyiyah. Siti Aisyah (lahir 1905 wafat 1968)—kader ‘Aisyiyah yang di kemudian hari menjabat sebagai Ketua Umum ‘Aisyiyah. Siti Zuharah (lahir 1908 wafat 1967)—kader Aisyiyah (Junus Salam, 1968: 9; Junus Anis, 1968: 9).

Empat Alasan Menjadi Mubaligh Ahmadiyah

Sampai sejauh ini, penulis telah mengidentifikasi empat indikator yang menyebabkan putra KH Ahmad Dahlan yang menjadi Mubaligh Ahmadiyah. Pertama, setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (dikenal dengan sebutan “Sekolah Kyai”) yang dirintis oleh sang ayah, Djumhan justru melanjutkan studi ke sekolah umum, yaitu HIS partikelir di Kertodirjan. Tampaknya, Djumhan memiliki kecenderungan pada penguasaan ilmu-ilmu eksakta. Sebuah bakat bawaan yang mungkin diturunkan dari salah satu orang tuanya.

Dalam proses pendidikan di keluarga, faktor keteladanan yang paling utama. Nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi kebiasaan dalam keluarga menjadi habit yang menjadi pedoman bagi anak-anak (Zainuddin Maliki, 2010: 88). Karakter dan kepribadian Djumhan banyak dipengaruhi oleh karakter dan kepribadian kedua orang tuanya.

Berdasarkan sumber Yunus Anis (1972), ketika memasuki usia dewasa, Djumhan memiliki kemampuan bahasa yang sangat menonjol, baik bahasa dalam negeri maupun bahasa asing. Dengan menguasai bahasa asing, seperti Persia, Inggris, Jerman, Urdu, dan lain-lain menunjukkan bahwa sejak kecil Djumhan memiliki kapasitas intelektual yang menonjol.

Kedua, selepas wafat K.H. Ahmad Dahlan (23 Februari 1923), kepemimpinan Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah dipegang oleh K.H. Ibrahim, adik ipar sang Khatib Amin. Setahun pasca wafat K.H. Ahmad Dahlan, umat Islam di Yogyakarta kedatangan tamu istimewa, Mirza Wali Ahmad Baig, seorang muballigh Ahmadiyah dari tanah Hindustan

Tamu ini benar-benar istimewa karena sambutan masyarakat di Yogyakarta sangat positif. Bahkan, masyarakat Kauman sangat menghormati tamu istimewa ini dengan menyediakan tempat tinggal baginya. Salah satu keluarga di Kauman, yaitu keluarga Haji Hilal, menantu K.H. Ahmad Dahlan, yang menyediakan fasilitas tempat tinggal bagi sang tamu (Iskandar Zulkarnain, 2005: 186).

Haji Hilal adalah suami dari Siti Johanah, putri K.H. Ahmad Dahlan. Djumhan begitu dekat dengan Mirza Wali Ahmad Baig yang tengah menetap di salah satu rumah kakak iparnya di Kauman.

Ketiga, keputusan putra KH Ahmad Dahlan yang menjadi Mubaligh Ahmadiyah diawali ketika ia melanjutkan studi ke Isha’at School di Lahore (Pakistan) pada tahun 1924. Isha’at School adalah lembaga pendidikan resmi yang dikelola oleh Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam Lahore (AAIIL). Besar kemungkinan pengaruh Mirza Wali Ahmad Baig turut menentukan pilihan dan keputusan Djumhan ketika hendak mengambil studi ke Lahore.

Sebelumnya, dalam Rapat Tahunan (Jaarvergadering) Muhammadiyah 1923 di Yogyakarta, salah satu keputusannya adalah membentuk Fond Dachlan yang berfungsi menyediakan dana beasiswa bagi anak-anak pribumi untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri.

Pada tanggal 7 Juni 1924, laporan R. Kern, Penasehat Urusan Pribumi, menyebutkan bahwa empat orang pemuda Jawa berangkat ke Calcutta kemudian menuju Lahore untuk menuntut ilmu di Sekolah Ahmadiyah Mereka adalah Djundab, Sabitun, Maksum, dan Djumhan (Zulkarnain, 2005: 187). Setelah sampai di Lahore, Djumhan mengubah namanya menjadi Erfan Dahlan (Junus Anis, 1972).

Keempat, ketika Erfan Dahlan pulang ke kampung halamannya pada tahun 1930-an, di jajaran elite Muhammadiyah sedang terjadi gesekan pemahaman seputar gerakan Ahmadiyah yang dibawa oleh Mirza Ahmad Baig ke Yogyakarta. Hubungan harmonis Mirza Ahmad Baig dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang mulai dirajut sejak 1924 ketika memasuki tahun 1926 mulai renggang.

Penolakan atas dakwah Ahmadiyah sebenarnya bukan disebabkan oleh Mirza Ahmad Baigh, tetapi oleh kawan seperjuangannya, yakni Maulana Rahmat Ali, yang menjalankan tugas dari Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam Lahore untuk berdakwah di Sumatera, khususnya di Padang.

Proses dakwah Maulana Rahmat Ali justru mendapat penolakan keras dari para ulama di Minangkabau, terutama Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah), ayah Buya Hamka, yang menilai dakwah Ahmadiyah telah menyimpang dari ajaran Islam pada umumnya (Zulkarnain, 2005: 178-179).

Kritik terhadap Ahmadiyah laksana bola salju yang terus menggelinding, makin lama makin membesar hingga pecah menjadi arus penolakan, termasuk di jajaran teras HB Muhammadiyah. Jika sebelumnya HB Muhammadiyah banyak bersinergi dengan gerakan Ahmadiyah, maka setelah Kongres Al-Islam 1928, hubungan antara keduanya semakin merenggang.

Sebelum Kongres Al-Islam 1928, Haji Rasul telah meyakinkan kepada jajaran elite HB Muhammadiyah tentang kekeliruan-kekeliruan yang menyimpang dari ajaran Ahmadiyah, khususnya kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Pada tahun 1926, Haji Rasul yang berkunjung ke Yogyakarta dan bertemu jajaran elite HB Muhammadiyah, melakukan debat langsung dengan Mirza Ahmad Baig disaksikan langsung oleh Haji Fachrodin.

Pada puncaknya, dalam Kongres Muhammadiyah tahun 1929 di Solo, tokoh-tokoh Muhammadiyah yang terinfiltrasi paham Ahmadiyah harus terdepak dari jajaran HB Muhammadiyah. Nah, Erfan Dahlan yang pulang ke kampung halaman pada sekitar tahun 1930-an dalam kondisi yang tidak tepat, sehingga ia yang telah menjadi bagian dari gerakan Ahmadiyah internasional merasa tidak nyaman untuk berkiprah di Muhammadiyah. Erfan Dahlan pun lebih memilih untuk melanjutkan misi dakwahnya ke Pattani dan Thailand lewat jaringan Ahmadiyah internasional.

Hibriditas Muslim Kosmopolitan

Erfan Dahlan yang memilih untuk melebarkan sayap dakwah dan aktivismenya di negara Thailand—negara yang secara kultural dan paham keagamaan berbeda dengan identitas kulturalnya—adalah representasi identitas kultural Muhammadiyah di pentas internasional yang telah beradaptasi dengan ragam identitas kultural lainnya. Sosok Erfan Dahlan yang dibesarkan langsung oleh keluarga pembaru dari Kauman, Yogyakarta (keluarga pendiri Muhammadiyah), tentunya dapat ditempatkan sebagai representasi dari kepribadian yang memiliki karakter dan paham keagamaan Muhammadiyah.

Ketika menempuh studi ke Lahore (1924), ia sebenarnya telah berinteraksi dengan kultur dan masyarakat di luar habitusnya. Namun, dalam proses tersebut ia mampu beradaptasi dan bersinergi dengan kultur dan masyarakat setempat.

Ketika menjalankan praktik pendidikan Islam (di Lahore) atau aktivitas dakwah (di Lahore, Pattani, dan Bangkok), Erfan Dahlan jelas berhadapan dengan paham keagamaan dan kultur masyarakat yang berbeda. Atau ketika ia membangun jejaring dengan organisasi lain, yaitu gerakan Ahmadiyah, kiprah Erfan Dahlan menjadi suatu model atau formulasi baru dari gerakan Muhammadiyah yang sangat dinamis dan fleksibel ketika berinteraksi dan bersinergi dengan gerakan Islam lain pada level internasional.

Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi yang dimulai sejak awal abad XX tidak hanya merambah negara-negara maju, tetapi juga dialami oleh negara-negara kolonial di Kawasan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia (Hindia-Belanda). Manuel Castells telah memprediksikan bangkitnya masyarakat jejaring (the rise of networked society) sejak awal abad XX di Asia Tenggara (Khairudin Aljunied, 2018: 7). Inilah yang disebut sebagai gejala kosmopolitanisme di kalangan masyarakat Asia Tenggara, termasuk di Indonesia (Hindia-Belanda) ketika putra K.H. Ahmad Dahlan menempuh studi ke Pakistan pada awal abad XX.

Dalam masyarakat jejaring yang makin massif, identitas individu, kelompok, atau bangsa semakin sulit teridentifikasi mengingat makin intensifnya interaksi dengan individu, kelompok, atau bangsa lain yang memiliki identitas kultural yang berbeda-beda.

George Ritzer mengutip teori likuiditas Zygmunt Bauman (1998) sebagai konsekuensi dari gejala globalisasi yang telah menciptakan masyarakat kosmopolitan. Prinsip yang lahir dalam ide likuiditas—dunia yang semakin mencair—akibat globalisasi dan kosmopolitanisme budaya (George Ritzer, 2015: 540-542).

Identitas hybrid menjadi karakteristik masyarakat kosmopolitan. Latar belakang etnis, budaya, dan paham keagamaan semakin kabur mengingat proses interaksi dengan ragam etnis, budaya, dan paham keagamaan lain yang bereda-beda. Dalam konteks ini, identitas budaya dan keagamaan Erfan Dahlan yang berlatar belakang etnis Jawa dengan paham keagamaan modernis ketike beradaptasi dengan sistem budaya lain di luar tanah airnya.

Identitas hybrid dalam diri Erfan Dahlan adalah representasi dari Muslim Kosmopolitan pada awal abad XX. Dalam riwayat hidup dan perjalanan karir Erfan Dahlan ditemukan karakter sebagai sosok Muslim Kosmopolitan yang telah beradaptasi dengan ragam etnis, budaya, dan paham keagamaan yang berbeda dengan latar belakang dirinya.

Khairudin Aljunied (2018: 3) menjelaskan bagaimana proses menjadi sosok Muslim Kosmopolitan: “…memperlihatkan cara-cara kompleks yang digunakan oleh individu, masyarakat, dan institusi Islam di Asia Tenggara dalam menerapkan secara kreatif dan mengadaptasi secara cermat prinsip-prinsip kosmopolitanisme demi mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan toleransi dan sikap saling menghormati dalam masing-masing kelompok dan antarkelompok yang berbeda, terutama antar berbagai kelompok beragama dalam masyarakat.”

Mengakhiri Klaim

Kontroversi seputar klaim bahwa sosok Erfan Dahlan adalah agent misionaris Ahmadiyah (klaim AAIIL), sementara pihak keluarga membantah bahwa putra KH Ahmad Dahlan ini tetap sebagai seorang muslim modernis, sebenarnya dapat dijelaskan dengan pendekatan kosmopolitanisme. Dua klaim tersebut bisa jadi benar semua, tergantung bagaimana kita melihat sosok dan kiprah Erfan Dahlan dalam konteks dakwah lintas budaya dan lintas bangsa.

Jika merujuk pada sumber-sumber seperti Abdul Kahar Muzakkir, Junus Anis, dan beberapa media massa yang terbit pada masanya, maka status dan identitas Erfan Dahlan memang layak disebut sebagai misionaris Ahmadiyah. Namun demikian, bantahan dari pihak keluarga yang ditopang dengan legacy (warisan) yang diturunkan Erfan Dahlan kepada anak-cucunya dapat menjadi penguat bahwa ia adalah sosok muslim modernis yang telah beradaptasi dan mengadopsi budaya kosmopolitan.

Ketika menetap di Thailand, Erfan Dahlan telah merintis komunitas pengajian yang mayoritas terdiri dari keturunan etnis Jawa di negeri tersebut. Selain itu, putra KH Ahmad Dahlan ini juga membangun amal usaha pendidikan, terutama pendidikan anak usia dini. Erfan Dahlan juga merintis panti asuhan di kota Bangkok dan pesantren di daerah Karbi. Pola-pola gerakan semacam ini tidak asing di Muhammadiyah.

Dengan demikian, keturunan Erfan Dahlan di Bangkok sebenarnya mengklaim bahwa mereka melanjutkan warisan Muhammadiyah sekalipun tidak secara eksplisit menggunakan nama Muhammadiyah. Warisan Erfan Dahlan inilah yang di kemudian hari diresmikan sebagai Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Thailand sebagaimana ditegaskan Siti Hadiroh, salah seorang cucu KH Ahmad Dahlan.

  • Penulis : Mu’arif | Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
  • Retrieved from : ibtimes.id
Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »