Manusia yang mempunyai keinginan untuk mencapai kehidupan yang suci dan mulia di dunia dan akhirat adalah manusia yang mempunyai cita-cita hidup yang tinggi. “Hidup” di sini bukan hanya dalam arti makan dan minum saja, melainkan hidup yang ideal.
Kenyataan menunjukkan bahwa masing-masing orang mempunyai cita-cita hidup yang berlain-lainan. Tetapi hanya ada satu cita-cita hidup yang diridhai oleh Allah. Karena hanya Allah sendirilah yang tahu tentang apakah tujuan hidup manusia yang sebenarnya.
Hal ini diuraikan dalam Quran, “Dan tiada Kami menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mengabdi kepadaKu.” (QS 51:56)
Mengabdi kepada Allah artinya menetapi agamanya yang benar. Menurut Allah, agama yang benar ialah agama fitrah, sebagaimana Ia firmankan, “Maka hadapkanlah wajahmu yang lurus kepada agama. Fitrah ciptaan Allah, Yang Ia menciptakan manusia atas fitrah itu. Tak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang benar.” (QS 30:30)
Di antara fitrah manusia ialah bahwa manusia itu menyukai kebaikan dan membenci keburukan. Sejahat-jahatnya orang, pasti tidak senang jika ia dikatakan orang jahat. Dan setiap orang pasti akan merasa senang, jika ia dikatakan sebagai orang yang baik.
Untuk menjadi orang yang baik, manusia membutuhkan Wahyu Ilahi sebagai pedoman petunjuk. Manusia tak mungkin mencapai kebaikan sejati jika ia mengikuti cara-cara atau jalan yang dibuatnya sendiri.
Baik menurut manusia itu belum tentu kebaikan sejati. Hanya Allah sendirilah yang tahu apakah kebaikan yang sejati itu. Allah Ta’ala berfirman,
“Bukanlah suatu kebaikan bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke Timur atau ke Barat. Kebaikan itu ialah (milik) orang-orang yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, Malaikat, Kitab, dan Para Nabi. Dan karena kecintaan kepada Allah, mereka memberikan hartanya kepada kaum kerabat, anak yatim, kaum miskin, orang bepergian, dan peminta-minta. Dan mereka memerdekakan budak belian, menegakkan shalat, membayar zakat, dan menepati janji tatkala mereka berjanji. Dan mereka yang bersabar tatkala menghadapi kesengsaraan, kesusahan dan peperangan. Mereka itulah orang-orang yang tulus, orang-orang yang bertaqwa.” (QS 2:177)
Dari ayat ini terang sekali bahwa yang disebut kebaikan sejati bukanlah kebaikan yang bersifat lahiriah semata, melainkan kebaikan yang bersifat batiniah. Sebab, kebaikan lahiriah acap kali hanya didasari sikap ria dan pamer. Tetapi kebaikan yang sejati timbul dari kesadaran batin yang suci, tanpa pamrih, tanpa unsur pamer atau ria.
Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh beruntung orang yang menyucikan dirinya.” (QS 91:9). Kata “menyucikan” itu bahasa arabnya zaka, yang mempunyai pula makna lain, yaitu “tumbuh dengan subur.”
Tumbuh-tumbuhan akan tumbuh dengan subur jika terpenuhi dua syarat, yaitu jika darinya dibuang segala hal yang negatif, dan kepadanya diberikan segala hal yang positif. Yang negatif misalnya hama, benalu, jamur, rumput, atau bahkan sekedar kerikil yang mengganggu laju tumbuhnya akar. Yang positif misalnya air, pupuk, tanah gembur, dlsb. Dengan diperlakukan sedemikian itu, tanamaan itu pasti akan tumbuh dengan subur.
Demikian pula halnya dengan jiwa manusia. Supaya jiwanya suci dan menumbuhkan budi pekerti luhur dan berakhlak mulia, harus terpenuhi dua syarat yang sama. Manusia harus membuang segala hal yang negatif seperti berbuat maksiat, konsumsi barang haram, dan atau melanggar peraturan Allah lainnya. Ia juga harus berupaya melakukan segala hal yang positif, seperti beribadah, berbuat baik kepada sesama, belajar dan mengamalkan apa yang ia pelajari, terutama mempelajari al-Quran, dlsb. Dengan begitu, ia akan menjadi manusia yang suci dan mulia.
Memang jalan untuk memenuhi tuntunan itu tidak mudah, tetapi pasti akan berbuah kegembiraan pada ujungnya. Manalah mungkin orang yang tak mau menjalankan itu semua dapat mencapai cita-cita yang luhur. Sebab, pahala besar (ajran adziima) yang dijanjikan Allah, hanya akan diberikan kepada orang yang berusaha dengan sepenuh hati untuk memenuhi tuntunan tersebut.
Dalam nasihatnya yang tertuang dalam buku yang bertajuk Fath-e Islam, Imam Zaman Hazrat Mirza Ghulam Ahmad memberikan gambaran kepada kita demikian:
“Barangsiapa tergila-gila akan jalan Tuhan, dialah orang yang bijaksana. Barangsiapa dimabuk cinta akan wajahNya Yang Jelita, dialah orang yang cerdas.
Mangkuk cintaNya berisi air kehidupan abadi. Barangsiapa minum daripadanya, kematian tak akan menimpanya.
Berjuanglah sekuat-kuatnya untuk kepentingan Islam, dengan seluruh jiwa raga dan harta bendamu, agar kamu menerima dari Allah Ta’ala beratus-ratus pujian dan kemuliaan.”
[Ditulis Oleh Ibu Sri Murdiyah Basir | Sumber Artikel : Majalah Warta Keluarga GAI | No 77/78, Mei/Juni 1977]