Saudara Cecep, seorang kerabat GAI dari Purbalingga, mengumandangkan melalui media ini (whatsapp — red) bahwa anak-anak di Purbalingga sangat senang apabila dikirimi “buku bacaan”, baik buku bacaan sekolah atau buku pelajaran maupun buku bacaan umum. Karena, di Purbalingga, di tempat dia tinggal, sangat langka buku bacaan, sementara itu anak-anak haus akan bacaan.
Hati saya tersentuh. Mungkin bukan saya saja, melainkan semua yang membaca apa yang ditulis Saudara Cecep juga tersentuh.
Saya lalu berfikir, anak-anak di daerah itu pasti ingin maju, agar mereka bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi bila disejajarkan dengan anak-anak dari daerah lain atau bangsa lain yang sudah lebih dulu maju. Seperti itulah kira-kira yang terjadi dialam pikir mereka. Mereka tidak hanya ingin mengejar kesetaraan, melainkan ingin memberikan sumbangsih kepada negeri ini. Mereka ingin terlibat dalam pembangunan bangsa bahkan membangun peradaban di negeri yang mereka cintai.
Kemudian saya ingat cerita anak-anak negro yang berada di pedalaman Amerika yang saat itu belum mendapatkan sarana dan metode pendidikan yang baik, mereka terkesan ketinggalan. Ketika pada suatu kesempatan anak-anak itu dipindahkan ke kota dan ditempatkan satu sekolah dengan anak-anak kulit putih yang sudah mendapatkan fasilitas dan metode pendidikan yang lebih baik, ternyata mereka berhasil menyamakan bahkan dapat melampaui prestasi anak-anak kulit putih itu.
Kemudian saya ingat sebuah cerita lain. Pada suatu ketika pemerintah memberikan seperangkat peralatan canggih “penangkap ikan” kepada para nelayan. Dan mengajarkan metode cara menangkap ikan secara “modern dan canggih”. Tidak berapa lama para nelayan itu berhasil menangkap banyak ikan, dan “kocek” mereka menjadi “padat” dengan uang. Tetapi apa yang terjadi? Sebagaian dari mereka berhenti bekerja karena merasa kebutuhannya sudah terpenuhi untuk beberapa saat, dan sisanya mereka hambur-hamburkan untuk berfoya-foya. Di sinilah saya ikut meragukan kata-kata indah, “berilah mereka kail dan jangan beri mereka ikan”.
Kemudian saya teringat, dalam Perang Dunia I, bangsa Korea dijajah oleh bangsa Jepang habis-habisan. Tetapi yang terjadi sekarang adalah lain. Mobil-mobil produk Jepang yang mendesain adalah para teknokrat Korea. Dan orang Korea jarang yang memakai produk Jepang tetapi selalu memakai produk negerinya. Bisa jadi selain telah mencapai kesetaraan, Korea lebih maju dalam beberapa hal dari Jepang.
Orang Korea akan sinis bila melihat produk Jepang, seperti Nissan, Toyota, Datsun, dll. Sama halnya kita yang akan sinis melihat mobil “PROTON” made in Malaysia, negeri yang pernah kita “ganyang” habis-habisan dan sekarang banyak berkeliaran di Jakarta, dan anehnya yang memakai adalah orang Indonesia sendiri. Sedang orang Indonesia yang lain naik “BAJAJ” yang diimpor dari India dan diprakarsai oleh Edi Tanzil, sang maestro penggasak bank.
Bahkan beberapa orang Korea bertanya kepada saya, “Mengapa anda senang mobil Jepang? Bukankah kalian pernah dijajah Jepang”. Saya kira kata-kata itu membuat tidak enak di hati, tapi apa boleh buat.
Jadi, bagaimana caranya membangun sebuah bangsa? Apakah harus dimulai dengan IPTEK yang canggih atau dengan agresi militer? Saya kira tidak.
Nah. Saya ingin mengutip ayat pertama yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Suci, yaitu kata-kata “Iqro” atau “bacalah”, yang maknanya kita harus menggali ilmu pengetahuan, dengan cara “membaca” melalui bacaan yang paling berkwalitas, yaitu Al Qur’anul Karim sebagai sumber ilmu pengetahuan dan sumber pembangunan.
Kemudian Al-Qur’an menjelaskan, bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah sendiri apa yang ada di dalam diri mereka sendiri” (13:11), yang maknanya adalah mengubah daya rohani yang ada pada diri manusia itu sendiri. Karena Daya Rohani itu mampu menciptakan “pandangan hidup, perasaan, kehendak, kemauan atau tekad” seseorang.
Nilai dan pandangan hidup seorang muslim, akan “bergerak dan mengarah” pada satu Wujud Mutlak yang tak terbatas, yaitu Tuhan Yang Esa. Dan nilai serta padangan hidup seperti itu harus “tertancap” pada jiwa anak-anak kita yang sedang membutuhkan “buku bacaan” seperti halnya anak-anak kita di Purbalingga.
Saya kira, selain buku-buku pelajaran yang dibutuhkan di sekolah, kita dapat menyajikan anak-anak kita dengan “buku bacaan” yang bermutu, yaitu buku bacaan keagamaan seperti riwayat Nabi beserta sahabat-sahabat beliau atau sejarah para aulia. Sebagaimana kita harus memulai dengan yang sederhana bukan memulai dengan yang muluk-muluk. [Fatrhurrahman Irshad]
Comment here