ArtikelKliping

Bukan dakwah dari hal kenabian

Mujaddid telah mendapat satu perlawanan yang keras. Orang telah membuat propaganda memusuhi dia untuk membangkitkan rasa ta’assub di antara orang ramai. Serangan-serangan yang berisi kejustaan ditujukan padanya. Daripada penuduhan-penuduhan yang telah disiar-siarkan dengan seluas-luasnya ini, maka yang terutama sekali ialah mengatakan bahwa ia telah melahirkan dakwah menjadi seorang Nabi dan ia tidak mempunyai kepercayaan dalam beberapa cita-cita Islam.

Terhadap kepada segala penuduhan-penuduhan ini, maka dalam tahun 1891 ia telah memperumumkan satu jawab yang luas sekali bermaksud menolak penuduhan-penuduhan dan melenyapkan pengertian-pengertian yang salah.

Kutipan daripada dia punya brosur yang kita muatkan di bawah ini dengan nyata-nyata menunjukkan kejustaannya orang-orang penabur kebusukan.

“Sepanjang pengetahuan saya adalah kejadian ulama-ulama yang memegang pimpinan telah memperumumkan serangan yang berisi kejustaan terhadap kepada saya, mengatakan bahwa saya mengaku berderajat Kenabian dan bahwa saya tidak percaya kepada surga dan neraka, tidak percaya kepada adanya Jibril, tidak percaya kepada Lailatul Qadar, tidak percaya kepada mukjizat dan mi’rajnya Nabi yang Suci.

Begitulah maka untuk keperluannya kebenaran, dengan ini saya menyatakan kepada orang ramai, bahwa semua ini sama sekali adalah satu kejustaan belaka. Saya tidak mengaku berderajat Kenabian, saya tidak menolak kepercayaan kepada mukjizat, saya tidak menolak kepercayaan dari hal adanya malaikat-malaikat atau Lailatul-Qadar. Saya mempercayai adanya semua perkara ini, yang telah menjadi aqidah-aqidahnya Islam, bersetujuh dengan segala madzhabnya ahli Sunnah dan Jamaah.

Saya mempercayai segala perkara yang telah ditetapkan menjadi kenyataan-kenyataan menurut Quran yang Suci dan menurut Hadits-hadits. Dan tiap-tiap pendakwah dari hal Kenabian sesudahnya Nabi yang Suci Muhammad saw. ialah Nabi yang terakhir dari semuanya Nabi, maka pendakwah yang serupa itu saya anggap seorang kadzab dan seorang kafir.

Adalah keyakinan saya bahwa kenyataan Tuhan yang telah diberikan kepada Nabi-nabi itu, ada mulai dengan Nabi Adam a.s. dan tertutup dengan Nabi yang Suci Muhammad saw.”

Tetapi buat menjawab yang tersebut ini, pada hari yang ke 18 bulan Oktober 1891, ulama-ulama mengeluarkan satu brosur mengatakan, bahwa kaum Muslimin mesti menganggap dia seorang penipu dalam segala dakwah ini dan mengganggap dia punya pengakuan-pengakuan dalam brosurnya pada tanggal 2 Oktober itu semata-mata adalah penipuan dan munafikat adanya.

Dengan tidak ada keraguan sedikit pun juga maka inilah menunjukkan bahwa dakwah bikin-bikinan dari hal Kenabian itu tidak lain melainkan satu penuduhan yang justa semata-mata terhadap kepada Hazrat Mirza. Sesungguhpun ia telah menolak dengan sungguh-sungguh akan tiap-tiap dakwah yang serupa itu, tetapi ulama-ulama yang bersangkutan tiadalah suka menarik kembali fatwanya yang ditujukan padanya itu.

Adapun yang menjadikan kekuatan kepada ulama-ulama akan menerbitkan fatwanya menyerang Mujaddid ialah karena mujaddid memakai perkataan-perkataan seperti dzilli nabi, majazi nabi (nabi dalam arti kata yang hanya selaku menggambar-gambarkan saja atau bayang-bayangnya seorang nabi), yang dipakainya buat menyebutkan dirinya sendiri.

Mujaddid pun menerangkan juga bahwa pada sekarang ini Allah berkata juga kepada orang-orang dari antara pengikut-pengikutnya Nabi yang Suci sebagai Allah telah berbuat dalam zaman yang sudah lalu itu. Bicara-bicara dari Allah inilah yang membawa penerangan bagi barang apa yang akan kejadian di kelak kemudian hari.

Seorang penerima penerangan yang serupa itu, di dalam arti yang menurut maknanya perkataan, meskipun bukan di dalam arti perkataan sepanjang Syariat Agama Islam, bolehlah disebutkan seorang nabi, sebab perkataan “nabi” itu bermakna seorang yang mengetahui barang apa yang akan kejadian di kelak kemudian hari.

Begitulah maka Mujaddid telah memakai juga buat menyebut dirinya sendiri perkataan nabi, di dalam arti yang menurut maknanya perkataan atau di dalam arti kata yang hanya selaku menggambar-gambarkan belaka, karena ia mengaku ada pengetahuan yang serupa itu, telah membuat rupa-rupa nubuwat yang sudah nyata benar adanya.

Dengan alasan-alasan inilah maka ulama-ulama telah menjadi marah padanya, dengan melupakan bahwa di dalam dakwah-dakwah yang demikian itu sama sekali tiada ada salahnya. Dakwah-dakwah ini benarlah semuanya dengan bersandar kepada kekuatan-kekuatan yang terutama di dalam Islam.

Dengan nyata-nyata adalah Hadits-hadits yang sahih menyebutkan adanya pemberian Allah akan mengetahui lebih dulu barang apa yang akan kejadian itu sebagai sebahagian daripada kenabian. Begitulah maka perkataan dzilli nabi itu tidak akan menimbulkan khawatiran, sebab nyatalah ia tidak bermakna sejatinya Kenabian, tetapi hanyalah bermakna bayang-bayangannya Kenabian belaka.

Di dalam Hadits-hadits dipakainya juga perkataan seperti dzillullaah (bayang-bayangannya Allah) buat menyebutkan raja-raja yang adil. Tidak ada orang yang akan menyangka sesaat pun juga bahwa seorang raja, yang hanya bayang-bayangannya Allah itu, ada menjadi satu dengan Allah, yang dianggap ada bayang-bayangannya itu.

Sebagai dalam hal ini bayang-bayangan dan barang yang mempunyai bayang-bayangan itu ada dua perkara yang tidak menjadi satu, begitulah juga dalam halnya seorang Nabi dan dia punya bayang-bayangan.

Ulama pun tidak memperingati akan keterangan-keterangan yang jelas ini. Jugalah mereka tidak berfikir bahwa Hazrat Mirza itu bukannya orang yang pertama-tama daripada orang-orang Muslim yang suci, yang telah memakai sebutan-sebutan yang serupa itu bagi dirinya sendiri. Sebelum dia, adalah banyak orang suci yang lain-lainnya yang umum diakui derajat dan kehormatannya, sama memakai sebutan yang serupa itu juga.

Keterangan-keterangannya Hazrat Mirza yang berulang-ulang itu jatuhlah pada telinga-telinga yang tuli. Di dalam karangannya bernama Izala Auham, ia pun berkata dengan sungguh-sungguh bahwa yang dimaksudkan olehnya dengan macam Kenabian ini ialah sama sekali satu rupa dengan barang apa yang lumrahnya terkenal sebagai muhaddasiyat di dalam cara kata Islam itu, satu perkara yang umum diterima baik orang, bahkan oleh ulama itu sendiri.

Di dalam karangannya bernama Haqiqatul Wahyi, ia pun menerangkan juga dia punya pangkat dengan perkataan-perkataan yang terjelas artinya: samiitu nabiyyan minallaahi ‘alaa thariiqil-majaazi la ‘ala wajhul-haqiiqah. “Kami telah disebut Nabi dalam arti kata yang hanya selaku menggambar-gambarkan saja, bukannya di dalam arti kata yang sebenarnya.”

Begitu pun sangat lembek juga alasannya orang yang mengatakan: dari sebab ada sebahagian dari pengikut-pengikutnya Hazrat Mirza yang menganggap dia sebagai seorang Nabi dalam arti kata yang sebenar-benarnya, maka sudah barang tentulah ia telah melahirkan dakwah yang serupa itu adanya.

Mengapakah permaklumannya sendiri ada menolaknya dengan perkataan-perkataan yang amat jelas artinya itu?

Sungguh tidak ada anehnya, bahwasanya ada beberapa orang daripada pengikut-pengikutnya telah mengangkat dia sampai melebihi dia punya derajat yang sebenarnya itu. sebenarnyalah, di dalam hal ini juga, sudah lumrah riwayat itu mengulangi dirinya. Di dalam abad-abad yang telah lalu banyaklah orang yang jatuh menjadi korbannya kelembekkan manusia, menganggap barang-barang berlebih daripada semestinya. Adalah orang-orang yang tersesat mempertuhankan mereka ampunya Nabi.

Nabi isa a.s. yang tidak pernah mengimpi mempunyai sifat ketuhanan dalam hal yang mana pun juga, telah dijunjungnya sampai kepada derajat ketuhanan. Tidak ada seorang yang memperdulikan dia punya keterangan sendiri tentang dia punya perkataan, anak dari Allah, yang masih ada terdapat di dalam Injil-injil itu.

“Maka sahut orang Yahudi kepadanya: Bahwa sebab perbuatanmu yang baik tidak kami rajam (lempari batu) akan dikau, melainkan sebab hujat, dan sebab engkau ini seorang manusia menjadikan dirimu Allah. Maka sahut Isa kepada mereka itu: Bukankah dalam Toratmu pun tersebut demikian: Telah Aku bersabda bahwa kamulah allah-allah. Jikalau orang yang beroleh sabda Allah itu dipanggil allah-allah dan al-Kitab pun tak boleh diubahkan, patutlah kamu mengatakan kepada orang yang disucikan Allah dan yang disuruhkannya ke dalam dunia, bahwa engkau berkata hujat, sebab kataku: Aku ini anak Allah?” (Yahya 10:33-36).

Begitulah maka setujuh dengan adat-adat pada zaman dulu maka ada sesuatu bahagian dari pengikut-pengikutnya Masih Al-Mau’ud telah mengangkat dia dari seorang Nabi dalam arti kata majaz sampai kepada seorang Nabi dalam arti kata yang hakikat.

Bagi orang-orang yang mencari kebenaran nyatalah bukan satu rintangan yang menjerumuskan, dalam pada memikirkan halnya bahwa Masih yang tersebut pertama (Nabi Isa a.s.) itu telah dijunjung sangat lebih tinggi, dinaikkannya sampai kepada derajat ketuhanan. Malahan hal yang demikian itu pun akan menjadi perbandingan antara keduanya Masih itu.

 

_________________

Dinukil dari Da’watoel-‘Amal (Pengajakan Bekerja) oleh Maulana Muhammad Ali, Presiden Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam, Lahore (Hindustan). Disalin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, Presiden Central Sarikat Islam Yogyakarta (Jawa). Diterbitkan oleh Mirza Wali Ahmad Baig, Muballighul-Islam, Utusan Pergerakan Ahmadiyah, Yogyakarta (Jawa). Tanpa Tahun Terbit. Hal. 37-43.

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »