Kolom

Biar tak jadi babi yang buta

“Gerakan Ahmadiyah bukanlah gerakan politik dan tak mencampuri perjuangan politik apa saja di manapun juga, sekalipun Gerakan Ahmadiyah menyadari akan pentingnya perjuangan politik.

Gerakan Ahmadiyah tidak dan tidak akan merampas hak politik anggotanya, asalkan gerakan politik itu tak bertentangan dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Namun gerakan Ahmadiyah memperingatkan anggotanya agar tetap setia kepada bai’atnya: hendak menjunjung tinggi agama melebihi dunia.”

Kalimat-kalimat di atas bisa kita temukan dalam rumusan sikap GAI. Kalimat-kalimat yang, menurut keyakinan saya, ilhamiah. Saya menduga, the founding fathers GAI itu orang-orang waskita. Mereka mampu membaca tanda-tanda zaman. Dan karenanya, mereka bisa memprediksi situasi hingga berpuluh dan mungkin beratus tahun ke depan.

Karena itu, meski ilhamiah, kalimat-kalimat itu tentu tak lahir dari  ruang kosong. Ada konteks yang sudah pasti menjadi “asbab-nuzul”-nya. Dan konteks itulah yang sudah pasti juga mendorong para pendahulu GAI merumuskan “sikap politik” di atas.

Di tahun 50-an, era yang tak jauh sejak rumusan itu disusun, Indonesia baru saja mengawali babak politik baru, memulai proses transformasi dari sistem politik warisan imperalis. Pemilu pertama Indonesia di tahun 1955 diikuti oleh 30 Parpol. Dari jumlah parpol yang berpartisipasi itu saja, kita bisa membayangkan nuansa kontestasi dan atmosfir segregasi yang diciptakannya.

Meski proses pemilu pertama ini dianggap berhasil, tapi hasilnya tidak demikian. Buktinya, anggota legislatif hasil pemilu 1955 ini pada akhirnya dibubarkan juga oleh Soekarno!

Pemilu, sebagai representasi politik yang paling verbal, sedari awal hingga sekarang ini, selalu menciptakan ekses instabilitas sosial, ekonomi, budaya dan berbagai lini kehidupan lainnya. Nuansa dan suasana di masa-masa jelang dan usai pemilu selalu membikin gaduh suasana.

Karena itulah, para founding fathers GAI mematrikan pedoman sejak awal, bahwa sebagai organisasi, GAI tidak bisa dan tidak boleh dipakai sebagai instrumen politik praktis. GAI harus fokus pada misi menegakkan kedaulatan Tuhan, agar umat Indonesia mencapai keadaan jiwa atau kehidupan batin yang damai. Keadaan dan kehidupan damai yang tidak paralel dengan instabilitas yang diciptakan oleh situasi politik.

Boleh jadi, mereka paham betul, bahwa sesungguhnya tidak ada yang disebut “politik praktis”. Sungguh, politik itu tidak praktis. Politik itu, rumit!

Dalam politik, tak ada kawan abadi, tak ada musuh abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Adagium ini sudah dimaklumi dan dimafhumi secara umum. Dan, inilah yang jadi pokok pangkal kerumitan politik!

Ketika seseorang masuk dalam ranah politik praktis, maka secara otomatis ia menjadi partisan. Menjadi partisan berarti menjadi bagian dari suatu kubu, yang mau tak mau harus vis a vis dengan kubu lainnya.

Seorang partisan berkecenderungan untuk membabi buta membela kubunya. Yang benar harus selalu kubunya, dan tak ada celah bagi kata ‘salah’ di dalam kubunya. Jika pun ada yang salah, maka akan dicari pembenarannya.

Para pendiri GAI tak menutup sama sekali peluang dan kesempatan anggota pergerakan untuk berkecimpung dalam dunia politik praktis. Mereka sama sekali tak bermaksud untuk ‘merampas hak politik anggotanya’.

Para peletak dasar nilai perjuangan pergerakan itu hanya memberi pedoman bagi para anggota GAI, untuk tak menjadi partisan yang larut dalam euforia politik menang-menangan.

Mereka hanya bermaksud mengingatkan para anggotanya untuk ‘tetap setia kepada bai’atnya’, supaya mereka tak menjadi babi, apalagi yang buta.

Sebab itu, misi utama Gerakan ini, selain mematahkan salib, juga membunuh babi!

 

—  Asghar Ali —
 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here