Kolom

Bertauhid di SPBU

Suatu ketika, saya antri beli BBM di salah satu SPBU di Kota Jogja, kota berhati nyaman itu. Tiba-tiba, seorang perempuan berjilbab berusia paruh baya, nyelonong begitu saja di depan saya, persis sebelum saya hampir mendapat giliran.

Perempuan itu langsung minta petugas SPBU untuk mengisi tangki motornya, tanpa menghiraukan yang lain, yang ikut berderet menunggu giliran di belakang saya.

Dengan bekal husnuzhan, saya berpikir: mungkin ia sedang terburu-buru. Tapi, tergelitik juga pikiran lain: perempuan itu pasti bukan orang yang pro budaya antri, budaya yang sudah diproklamirkan sebagai kebudayaan nasional di negeri ini.

Tapi lain halnya dengan pikiran sahabat saya, ketika suatu kali saya ceritakan peristiwa itu kepadanya. Agaknya, ia memandang peristiwa itu sebagai sesuatu perkara yang serius.

Dari sudut pandang tauhid, kata teman saya sesaat setelah saya selesai bercerita, perempuan itu kurang memiliki sikap dan pemahaman tentang tauhid sosial, semacam aplikasi dari keimanannya dalam kehidupan sosial. Meskipun, dilihat dari busana yang dikenakannya, katanya lagi, mungkin ia telah memiliki keimanan.

Saya mengangguk-angguk saja mendengarkan tanggapannya itu.

Keimanan itu memiliki dua dimensi, lanjut teman saya itu, yaitu dimensi vertikal dan horisontal. Terlalu mementingkan salah satu dimensi saja, tentu kurang tepat, karena akan menyebabkan kesenjangan di antara keduanya.

Lebih jauh lagi, teman saya tadi bilang, kalau peristiwa yang saya alami itu mencerminkan apa yang sedang terjadi dengan umat Islam saat ini.

“Lho, kok bisa gitu, Kang?” tanya saya.

Dalam kehidupan sosial, sahabat saya itu menjelaskan, sering kita jumpai kesenjangan-kesenjangan seperti itu, dari yang berskala kecil hingga yang berskala besar.

“Coba kamu perhatikan,” lanjutnya, “betapa umat ini ketika sedang shalat jamaah di masjid, mereka berjajar lurus dalam satu gerakan yang sama. Tetapi begitu keluar dari masjid, mereka bercerai berai: saling ejek, saling olok, bahkan saling menjatuhkan satu sama lain. Dari soal batas tanah, sampai soal batas kekuasaan.”

“Di dalam masjid mereka memiliki imam,” sahabat saya semakin bersemangat meneruskan, “tetapi di luar masjid mereka tidak memerlukan imam lagi. Sebabnya, mereka bermakmum kepada kepentingannya sendiri-sendiri.”

Bahkan ada warga kampungnya, katanya lagi, bisa berjejer dalam satu shaf kalau sedang shalat berjamaah. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, mereka bermusuhan satu sama lain.

Saya mengangguk-angguk mendengar penjelasan sahabat saya itu. Lalu, saya bertanya, “Lantas, bagaimana seharusnya seorang muslim itu hidup di dalam masyarakat, Kang?”

Ya harus balance, jawabnya. Harus ada kesesuaian, antara saat berada di masjid dengan saat berada di luar masjid.

Gampangnya, ia melanjutkan, kalau di masjid kita ini berjabat tangan dengan siapa pun, bertoleransi dengan siapa pun, dan tak membeda-bedakan siapa pun, ya begitu juga seharusnya ketika kita berada di luar masjid. Di pasar, di kantor, di sawah, di mana pun!

Ibarat kata, masjid itu adalah tempat menyepuh iman kita. Maka kehidupan di luar masjid adalah ladang tempat kita membuktikan keimanan kita itu dalam bentuk amal saleh. Itulah cara kita mengekspresikan iman yang ada dalam lubuk hati kita.

Saya kembali mengangguk-anggukkan kepala.

“Secara teori, iman itu memiliki tiga aspek,” sahabat saya meneruskan, “yaitu keyakinan di hati, ucapan di lisan, dan pembuktian di dalam perbuatan. Nah, jika ketiga aspek itu tidak terpenuhi, maka keimanan seseorang itu tidak utuh, bahkan tidak benar.”

Idealnya, lanjut sahabat saya lagi, seorang yang beriman dituntut untuk mampu, bukan semampunya, memproduksi segala amal yang bermanfaat bagi orang lain, baik dalam rupa ucapan, fikiran maupun perbuatan.

Apa pun yang dimiliki seorang muslim, harus diupayakan berfungsi secara sosial. Dus, seorang muslim di mana pun ia berada, harus memedulikan fungsi ini, fungsi yang dalam khazanah Islam disebut sebagai rahmatan lil ‘alamin. Sebab, pengingkaran terhadap nilai ini sama artinya dengan pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan.

Kongkritnya, seorang muslim harus memiliki kualitas kepribadian yang ramah, dermawan, toleran, di mana pun ia berada. Apakah di SPBU, di Mall, atau pun sekedar di angkringan.

“Itu pendapat saya,” kata sahabat saya menyudahi penjelasannya, “kalau kamu, ya terserah kamu.”

Saya mengangguk-angguk lagi, untuk kesekian kalinya.[]

Judul Asli : “Tauhid Sosial”
Penulis : Jumantoro
Sumber : Majalah Fathi Islam, No. 1 Tahun 2002
Penyunting : Asgor Ali

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »