ArtikelKhutbah

Berkorban Sesungguh-Sungguhnya di Masa Pandemi Corona

Dzulhijjah adalah bulan terakhir dari tahun Hijriyah, yang dapat diasumsikan sebagai waktu kumulatif dari 11 bulan sebelumnya, atas sukses pencapaian jasmani maupun ruhani umat manusia.

Karena itu, di penghujung tahun hijriyah ini, sudah selayaknya kita memuji kebesaran dan keagungan Allah, melalui tasbih, tahmid, dan takbir: Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallahu allaahu akbar.

Kita agungkan kebesaran Allah, sebagai rasa syukur atas berbagai karunia nikmat rohani-jasmani, yang kalau kita hitung-hitung tak mungkinlah kita bisa menghitungnya. Wa in ta’udduu ni’matallaahi laa tuhsuuha.

Dzulhijjah secara harfiah artinya Bulan Haji. Sebab, orang Arab dahulu melestarikan tradisi haji ke Baitulllah di bulan ini, warisan nenek moyang mereka, Ibrahim a.s.

Melalui perantaraan yang mulia Nabi Suci Muhammad saw., ritual ibadah yang mulia itu kini menjadi legasi Umat Islam, dengan pembaruan makna dan arti yang lebih esensial, dalam wujud penghambaan setulus hati dalam upaya manusia berma’rifat kepada Allah SWT.

Di samping ibadah yang bersifat vertikal, yakni upaya mendekat kepada Allah dalam rupa laku syariat ritual ibadah manasik, haji juga memiliki makna yang bersifat horisontal, dalam konteks hubungan sesama manusia.

Hal  ini tersirat dalam simbol-simbol manasik itu sendiri, antara lain berupa nilai-nilai persatuan, perdamaian, persaudaraan manusia, sebagai ummatan wahidah, umat yang satu, sebagai kesatuan dari umat Tuhan yang satu.

Selain ibadah haji, dilaksanakan pula ibadah kurban, sebagai pemenuhan kewajiban bagi yang berhaji, maupun bagi yang tak dapat berhaji tapi memiliki kemampuan untuk berkurban.

Dalam perspektif Islam, kurban tidak dimaksud untuk meredakan amarah Tuhan, atau menebus dosa, seperti dalam konsep beberapa agama atau kepercayaan terdahulu. Kurban, di dalam Islam, dimaksudkan sebagai sarana peningkatan ketaqwaan para pelakunya.

“Bukan dagingnya, bukan pula darahnya, tetapi taqwamulah yang yang sampai kepada Allah,” demikian firman Tuhan yang tertuang di dalam Quran Surat Al-Hajj ayat 37.

Kurban sembelihan adalah perlambang kepatuhan manusia kepada Allah, layaknya kepatuhan binatang ternak kepada tuan gembalanya. Sebab, hakikatnya kita ini adalah ternaknya Allah, yang digembalakan di dunia ini, dicukupi segala kebutuhan kita, baik kebutuhan jasmani maupun ruhani.

Atas karunia pemberian yang tak habis-habisnya itu, Allah hanya meminta kita untuk mengabdi kepadanya, antara lain dalam rupa shalat dan kurban. “Sungguh telah kuberikan padamu kebaikan yg berlimpah, maka shalatlah kepada Tuhanmu, dan berkurbanlah,” demikian firman Tuhan yang termaktub dalam Surat Al-Kautsar.

Maka sudah sewajarnyalah kita tunduk patuh kepada Tuan Gembala kita, sebagaimana Ismail dan Ibrahim, mencontohkannya dahulu. Keduanya siap berkurban jiwa raga, semata demi cinta dan penghambaannya kepada Allah Ta’ala, Tuan Gembala kehidupannya.

Demi memenuhi perintah Allah yang ia terima di dalam kasyaf atau mimpinya, Ibrahim rela meninggalkan istri dan anaknya di pandang tandus. Sebaliknya, Sang Istri juga rela ditinggalkan berdua dengan bayi yang masih menyusu itu di gurun pasir tak bermata air.

Bahkan, ketika Ibrahim a.s. juga menerima kasyaf untuk menyembelih anak semata wayangnya yang sudah beranjak remaja itu sebagai korban persembahan kepada Tuhan,  ia pun tetap mematuhinya, dengan kerelaan dan ketulusan hati.

Demikian pula sang anak, Ismail a.s., dengan tulus ikhlas berserah diri pada kehendak sang ayah, yang ia tahu tengah menuruti kehendak Tuhannya. Bahkan sang anak berkata, andai ada perintah, ia rela menyerahkan lehernya demi memenuhi perintah Tuhannya.

Dan Tuhan tampaknya sudah merasa cukup dengan melihat ghirah pengorbanan anak dan ayah itu. Karena itu, Ia pun lantas meminta pengorbanan ayah dan anak itu dipersembahkan dalam perlambang, berupa sembelihan hewan ternak.

Atas kepatuhan Ibrahim dan anak-istri, Allah pun mengganjar mereka dengan bertambah-tambahnya kenikmatan baginya. Terbukti, anak turun Ibrahim melalui Ismail, yakni Muhammad saw. menjadi pewaris kemuliaan dari Allah Ta’ala, dan menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘aalamin).

Ini semata, karena Allah Maha memenuhi janjiNya, bahwa barangsiapa bersyukur, niscaya akan ia tambahkan nikmat karunia baginya (la in syakartum, la aziidan-nakum).

Kisah pengorbanan Ibrahim dan Ismail diriwayatkan dalam Al-Quran tentu bukan tanpa maksud. Tetapi kisah kuno itu bisa kita baca hari ini, supaya menjadi ibrah atau cerminan, atas keharusan kita untuk tunduk patuh kepada Allah, dan bersedia berkurban jiwa raga, demi cinta dan penghambaan kita kepadaNya.

Di Surat Al-Kautsar, kita diperintahkan untuk Shalat dan Kurban, sebagai tanda terima kasih atas limpahan kebaikan Tuhan kepada kita.

Shalat adalah penghambaan yang bersifat personal, semata dalam konteks relasi antara seorang hamba kepada TuhanNya. Sementara ibadah kurban adalah penghambaan yang bersifat personal sekaligus sosial.

Shalat dan kurban adalah dua perlambang yang esensinya satu. Bahwa sejatinya pengabdian kita kepada Allah sebagai Sang Pencipta, sudah seharusnya berdampak pula kepada ciptaan-ciptaanNya

Dalam kalimat yang sebaliknya, pelayanan kita kepada sesama manusia sejatinya adalah wujud praksis dari pelayanan atau pengabdian kita kepada Allah SWT.

Terlebih di masa pandemi corona ini, di mana kesulitan dan kesusahan tengah melanda hampir seluruh umat manusia, sudah selayaknya pengorbanan dan pelayanan kita pada kemanusiaan harus lebih besar lagi.

Dalam syariat, ritual ibadah kurban adalah berupa penyembelihan hewan, yang kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang membutuhkan. Tetapi dalam hakikatnya, ibadah kurban haruslah kita maknai lebih dalam, harus kita pahami lebih luas lagi dari sekedar penyembelihan hewan kurban.

Makna kurban yang esensial adalah pelayanan sosial, pelayanan kemanusiaan, dalam wujud saling tolong-menolong di antara sesama manusia. Yang mampu membantu yang tak mampu, yang diberi kemudahan menolong yang tengah dalam kesusahan, yang memiliki kelapangan membantu yang dalam kesempitan, yang kaya membantu yang miskin, dst.

Jadi, andai pun kita tidak bisa melaksanakan kurban dalam tataran syariat, maka marilah kita melaksanakan kurban dalam tatanan hakikat, yang lebih esensial, yang jauh lebih bermakna, dengan berkurban jiwa raga untuk membantu sesama yang tengah dilanda kesusahan dan kesulitan di dalam hidupnya.

Tentu saja, bagi yang memiliki kemampuan untuk berkurban, akan lebih baik jika melaksanakan kurban pada tataran syariat dan hakikat sekaligus.

Di dalam al-Qur’an, Allah mengisyaratkan bahwa hakikat segala keadaan di dalam kehidupan kita, termasuk situasi keadaan pandemi yang kita hadapi ini, adalah ujian dari Allah Ta’ala, untuk menguji seberapa kuat iman kita, dan melihat siapa di antara kita yang baik amalnya.

“Allah adalah yang menciptakan kehidupan dan kematian, agar ia menguji kamu, siapakah di antaramu yang paling baik perbuatannya,” demikian Sabda Tuhan yang tertuang dalam Quran Surat Al-Mulk ayat 2.

Maka, marilah sekali lagi kita berlomba-lomba di dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Kita buktikan kepada Allah bahwa kita ini adalah hamba-hambaNya yang terbaik, yang mau berbuat baik kepada sesama, sebagai wujud pengabdian kita kepadaNya.

Marilah kita wujudkan iman taqwa kita dalam rupa gairah atau semangat dalam pengabdian kepada Allah, dengan jalan berusaha keras menjauhi larangan dan menaati perintahNya.

Marilah kita aktualisasikan iman taqwa kita itu dengan semakin meningkatkan ibadah mahdlah berupa shalat, zakat, puasa, sedekah, qurban, dan lain sebagainya. Di samping itu, marilah kita juga tingkatkan ibadah muamalah kita, ibadah sosial dalam rupa pelayanan sosial, berbuat baik kepada sesama manusia dan lingkungan kita.

Marilah kita juga berdoa, agar supaya kita semua dapat melewati ujian dan cobaan, dalam rupa wabah corona ini. Semoga wabah ini segera berakhir, dan kita bisa kembali melaksanakan aktivitas ibadah dengan sebaik-baiknya, lebih baik dan lebih berkualitas lagi.

Dan semoga, dengan peningkatan iman dan taqwa, serta memperbanyak amal saleh, amal kebaikan kepada sesama, fa insya allah segala keburukan yang seharusnya menimpa kita, dapatlah dibatalkan dan dihapuskan.

Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw., “Ittaqillaha haytsumaa kunta, wa atbi’is-sayyi’atal hasanata tamhuhaa wa khaaliqinnaasa bi khuluqin hasanin. Bertaqwalah kepada Allah di mana saja kalian berada, dan ikutilah segala keburukan dengan kebaikan-kebaikan yang dapat menghapusnya, dan berakhlaklah kepada manusia dengan sebaik-baiknya akhlak.” (HR At-Tirmidzi).

Penulis: Asgor Ali

******
Tulisan di atas adalah Naskah Khutbah Jumat Jelang Idul Adha 1442 H yang disampaikan pada 16 Juli 2021 di Masjid Margi Utami, Pare, Kediri.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »