PWMU.CO – Dari 8 anak KHA Dahlan, ternyata ada satu yang menetap di Thailand. Ia adalah Djumhan atau yang dikenal dengan Erfaan Dahlan, anak ke-5 KHA Dahlan dari istri pertamanya, Nyai Siti Walidah. Sampai sekarang anak keturuan Djumhan masih menetap di Negeri Gajah itu.
Bagaimana kisah Djumhan sampai tinggal di Thailand. Melalui percakapan dengan pwmu.co, Diah Purnamasari, cicit Kyai Dahlan dari anak ke-6, Siti Zuharoh, mengungkap panjang lebar soal itu. Wawancara dilakukan dua kali yaitu tanggal 26/5 dan 2/6/2016.
“Awalnya Eyang Djumhan dikirim ke Lahore Pakistan oleh PP Muhammadiyah, setahun setelah KHA Dahlan wafat. Saat itu beliau berusia 14 tahun,” kata Diah membuka cerita. Di Lahore Djumhan belajar ke perguruan milik Ahmadiyah. Karena waktu itu, Muhammadiyah belum tahu apa, siapa, dan bagaimana Ahmadiyah.
“Jadi beliau dikirim ke Lahore untuk menyelidiki sambil belajar di sana,” jelasnya. Menurut Diah, Djumhan termasuk orang yang jenius. “Eyang menguasai 9 bahasa asing, sesuatu yang masih langka di zaman itu,” ujarnya.
Selain Djumhan, sebenarnya ada 8-9 orang lainnya yang juga dikirim ke Lahore. “Akan tetapi yang sampai lulus hanya Eyang,” kata putri dari Chayatul Huriyah, anak Siti Zuharoh binti Ahmad Dahlan. “Entah suatu kebetulan atau bagaimana, atau ada politik tertentu, di masa itu, tidak tahu… Yang pasti ketika Eyang Djumhan lulus dan bersiap-siap untuk pulang, tiba-tiba muncul keputusan Majelis Tarjih bahwa Ahmadiyah itu sesat,” cerita Diah.
Oleh karena itu, yang belum lulus lalu ditarik pulang ke Tanah Air. “Dan Eyang yang sudah lulus tahun 1930 ditinggal di Pakistan. Karena dianggap sudah jadi Ahmadiyah. Padahal sama sekali tidak,” katanya. Sejak itu Djumhan terlunta-lunta di Lahore. “Eyang sempat hidup sengsara di Lahore. Bekerja apa saja untuk hidup,” kata Diah yang tinggal di Yogyakarta dan Bogor ini.
Saat ditanya pwmu.co mengapa hal itu bisa terjadi? Diah dengan ekpresi sedih berujar, “Karena sebagai kader Muhammadiyah, beliau tidak diakui oleh Ahmadiyah. Sementara sebagai alumni perguruan Ahmadiyah, beliau juga tidak diterima kembali oleh PP Muhammadiyah.”
“Jadi Eyang nggak bisa pulang,” katanya. Tapi pertolongan itu akhirnya datang. “Alhamdulillah, suatu ketika, ada kongres dokter internasional di Lahore, sekitar tahun 1933-an,” kata Diah. “Ada dokter dari Pattani Thailand Selatan yang menggunakan jasa Eyang untuk menjadi penerjemah.”
Diah bercerita bahwa dokter itu tertarik dengan eyangnya. “Lalu mengajak beliau ke Pattani menjadi asistennya. Eyang yang waktu itu masih berusia 20 tahun, diperlakukan seperti anak sendiri,” ungkapnya.
Hingga akhirnya sang dokter ini berencana mengirim Djumhan ke Bangkok untuk belajar. “Tapi sebelum niat itu terlaksana, dokter yang baik hati itu meninggal dunia,” kata Diah. Djumhan kembali sebatang kara. Lalu ia berpikir akan ke Bangkok untuk mencari pekerjaan. “Waktu itu Eyang hanya punya dua lembar sarung dan baju yang melekat di badan saja,” kata Diah.
“Sampai di Bangkok, Eyang beristirahat di Masjid Kampung Jawa, yang terletak di Distrik Sathorn, Yannawa,” kisahnya. Beberapa hari di masjid itu, membuat Imam Masjid Kampung Jawa tertarik pada Djuman. “Karena Eyang orang asing tapi bisa bicara bahasa Jawa dan Thai halus,” tutur Diah.
Imam Masjid Kampung Jawa itu akhirnya menjodohkan Djuman dengan putrinya. Daerah itu dinamakan Kampung Jawa karena memang nenek moyang mereka datang dari Jawa. “Mereka dikirim ke Thailand untuk mengurusi kebun istana,” tutur Diah.
“Imam masjid itu sendiri nenek moyangnya dari Kutoharjo Jawa Tengah. Tapi istrinya orang Cina dari Chiangmai,” kata Diah yang mendapat kisah ini dari pamannya, Vinai Dahlan (anak ke-6 Djumhan) dan Auntie Rambhai Dahlan (anak pertama Djumhan). Setelah di Thailand Djumhan mengubah namanya menjadi Erfaan Dahlan. Karena ada kewajiban di Thailand untuk memiliki nama Thai selain nama Islam.
Bukan Ahmadiyah
Diah Purnamasari membantah keras soal isu yang berkembang bahwa Djumhan adalah penganut Ahmadiyah. “Itu fitnah. Eyang tetap bersyahadatain. Tidak ada plus-plus Mirza Ghulam Ahmad segala,” katanya.
“Nah, kalau sekarang Ahmadiyah mengklaim Eyang anggotanya, itu karena Ahmadiyah melihat Muhammadiyah besar dan Kyai Dahlan ditokohkan,” jelas Diah. “Makanya isu bahwa Erfaan Dahlan adalah anggota mereka, tentu itu promosi yang bagus.”
Salah satu bukti bahwa Erfaan Dahlan bukan Ahmadiyah, menurut Diah, di Thailand tidak ada Ahmadiyah semasa eyangnya masih hidup. “Malah ghirah Muhammadiyah yang hidup di sana,” katanya.
Untuk membersihkan nama baik Erfaan Dahlan dari Ahmadiyah, Diah mengaku pernah melakukan klarifikasi yang dijembatani oleh Nadjib Burhani (kini Sekretaris Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah).
“Kami pernah mengklarifikasi hal itu sekitar akhir 2012,” katanya. “Klarifikasi kami lakukan melalui Facebook. Waktu itu Pak Nadjib Burhani posisinya sedang di Amerika. Beliau bikin suatu forum, yang di situ saya di-tag, juga Paman Vinai Dahlan. Ada pula perwakilan Ahmadiyah Indonesia, salah satu nara sumber Pak Nadjib,” cerita Diah.
“Jadi kami bikin klarifikasi waktu itu tertulis di wall FB-nya Pak Nadjib. Saling menjelaskan. Dan terakhir pihak Ahmadiyah Indonesia menyatakan minta maaf dan akan meralat. Karena sudah ada permintaan tertulis itu, maka waktu itu kami anggap sudah selesai. Kami nggak ambil pusing lagi.”
Diah melanjutkan,“Tapi, beberapa bulan yang lalu, saya shock ketika ada seorang teman FB yang kirim cuplikan halaman tulisan Pak Nadjib. Beliau menulis bahwa Eyang adalah anggota Ahmadiyah, tapi, yang aliran apa gitu, saya lupa. Di situ saya kecewa sekali.”
Menurut Diah, ketika Auntie Rambhai ke Indonesia, ia sudah tidak peduli lagi soal itu. “Paman Vinai juga saya kabari, tapi sepertinya beliau sibuk sekali. Jadi tidak terlalu concern tentang hal ini. Toh, lagi pula waktu itu sudah diklarifikasi. Jadi dianggap sudah clear,” jelasnya.
“Tapi saya yang pusing,” ungkap Diah. “Karena banyak yang tanya ke saya. Bahkan pernah subuh-subuh saya ditelepon teman Ayah, hanya untuk tanya soal ini. Karena katanya, beliau baru saja ngobrol dengan seorang tokoh ormas tertentu yang bilang ke beliau bahwa salah satu anak KHA Dahlan ada yang Ahmadiyah,” jelas Diah.
Muhammadiyah di Thailand?
Ditanya pwmu.co soal perkembangan Muhammadiyah di Thailand, Diah menjelaskan bahwa di Thailand semua organisasi keagamaan dilarang berdiri atau mendirikan cabang, sekalipun itu organisasi Agama Buddha. “Tapi orang bebas melaksanakan kewajiban agamanya masing-masing,” ungkap Diah yang mengaku mendengar cerita ini dari Auntie Rambhai, yang pernah berdinas di KBRI Bangkok, Thailand,
Waktu itu Paman Phaesaal dan Paman Adnan Dahlan sempat ingin mendirikan Muhammadiyah di Songkhla, tapi terganjal aturan itu. Jadi hanya bisa berbentuk welfare (semacam rumah miskin).” Phaesaal dan Anan adalah anak Erfaan Dahlan, masing-masing anak ke-4 dan ke-7.
Mereka dengan dana patungan sendiri menghidupi welfare keluarga KHA Dahlan. Terutama untuk membangun sekolah. “Tapi saya kurang mengikuti kegiatan amalnya seperti apa. Karena mereka tidak mau cerita apa-apa,” ujar Diah.
Yang jelas, keluarga kami, kata Diah, di mana pun tetap memegang amanat KHA Dahlan untuk menghidup-hidupkan Muhammadiyah dan bukan hidup dari Muhammadiyah. “Prinsip itu, yang berusaha kami pegang dengan baik,” ujarnya menutup percakapan. (Mohammad Nurfatoni)
Sumber: pwmu.co