Oleh : Mardiyono | Ada seorang raja yang ingin mencari dari budak-budaknya seorang yang haruslah selalu dekat padanya. Raja menyuruh untuk memilih dari budak-budaknya sepuluh orang yang terbaik menghadap kepadanya. Kesepuluh orang budak diperintahkan oleh Raja untuk berdiri berjajar. Masing-masing diberi segelas anggur untuk dipegang dengan kedua tangan.
Raja memberi perintah kepada budak pertama, “Minumlah anggurmu dan bantinglah gelas didepanmu”. Dikerjakan dengan patuh oleh budak. “Ganti kamu disampingnya, minum dan banting”, dikerjakan dengan baik. Kemudian nomor tiga, empat dan seterusnya, semuanya meminum habis anggur masing-masing dan membanting gelas masing-masing ke depan.
Giliran budak yang terakhir. “Minumlah anggurmu dan banting gelasnya”. Tetapi budak diam saja, kedua tangannya bergetar tak dapat berbuat apa-apa, tanda takutnya bukan main pada sang raja.
Raja bertanya “Mengapa kamu tidak minum?” “Duli tuanku, maafkan hamba, Allah melarang siapapun hamba-Nya untuk minum anggur”. “Jadi kamu lebih takut kepada Allah daripada kepadaku. Siapa namamu”? “Ayas, baginda”. “Kamu ikut aku!”.
Demikianlah, Ayas dipilih sang raja untuk selalu dekat padanya. Ayas diserahi tugas memberesi ruang tidur, menyiapkan pakaian, menyiapkan makan minum, menemani waktu berburu di hutan, memijat-mijat jika raja amat capai. Itulah pekerjaan Ayas, yang semuanya dikerjakan dengan baik, sehingga raja amat puas dengan Ayas.
Kemudian terbukti, bahwa Ayas dapat diajak oleh sang raja untuk berdialog dengan baik, bertukar pikiran dengan lancar. Ternyata Ayas amat cerdas dan amat responsif, sehingga lama-lama Raja memberi tanggung jawab-tanggung jawab yang lebih besar kepadanya. Raja melihat, bahwa Ayas dapat berkomunikasi dengan siapapun, jujur dalam ucapan dan perbuatan serta berusaha untuk siapapun diperlakukan dengan baik, adil dan bijaksana. Maka lama-lama kesulitan-kesulitan yang dialami kerajaan, rahasia-rahasia kerajaan, raja percaya untuk mengajak Ayas didiskusikan dan diselesaikan bersama. Akhirnya Ayas diberi oleh raja kedudukan yang amat tinggi di kerajaan, yaitu menteri perbendaraan kerajaan. Harta kekayaan kerajaan disimpan di suatu bangunan di lingkungan istana raja, dan pemegang kuncinya ialah Ayas.
Biasalah dimana-mana, bahwa kedudukan yang tinggi diiri oleh orang-orang lain. Dengan macam-macam intrik orang ingin kedudukan itu untuk dirinya. Maka mulailah fitnah-fitnah terjadi di sekitar Ayas, dilaporkan kepada raja. Pada awalnya raja acuh saja, sebab raja merasa sudah kenal betul dengan Ayas. Tetapi derasnya laporan membuat raja berpikir juga. Sampai akhirnya ada yang melapor, “Raja, waspadalah terhadap Ayas. Setiap siang hari, jika istana sepi, dan tuanku sedang istirahat, tentu Ayas masuk ke dalam bangunan perbendaharaan tuanku. Di dalam tentu ada suara gemerincingnya dinar emas, yang sekeluarnya lagi siapa tahu tentu ada yang terbawa dalam sakunya’.
Siang hari esoknya raja mengintip. Benar juga Ayas mendekati bangunan kekayaan raja. Di depan pintu bangunan Ayas berhenti, melihat ke kanan dan ke kiri. Merasa aman tidak ada yang melihat, kunci dimasukkan ke dalam lubang kunci, pintu dibuka, Ayas masuk bangunan, pintu ditutup kembali dan dikunci dari dalam. Raja mendekat pada pintu dan benar juga terdengar gemerincingnya dinar emas. Raja terkesima dan sangat menyesal, mengapa ia salah dalam menilai Ayas. Maka siang esoknya raja mencari tempat untuk dapat mengintip dengan leluasa ke dalam bangunan. Raja ingin tahu, berapa dinar emas yang setiap kali dibawa keluar oleh Ayas untuk memperkaya dirinya.
Pada saatnya, terdengar kunci masuk ke dalam lubang kunci, pintu dibuka, Ayas masuk, pintu ditutup dan dikunci dari dalam. Ayas melangkah ke sudut ruang yang tersembunyi. Sekeluarnya lagi sudah berganti pakaian, yaitu yang ia pakai sewaktu masih budak, dan kedua kakinya dirantai. Ayas berjalan ke sebuah cermin dengan suara rantainya yang gemerincing, dari luar bangunan terdengar seperti orang menghitung dinar emas. Ayas memandang bayangan dirinya di belakang cermin, kemudian berkata “Ayas, jangan pernah lupa, bahwa itulah dirimu sebenarnya, yaitu budak rajamu, abdi rajamu. Kamu sekarang berkedudukan amat tinggi di kerajaan, bukan karena jasamu, melainkan karena kebaikan hati dan bimbingan sang raja. Balaslah jasa raja kepadamu dengan berbakti yang sebaik-baiknya kepada kerajaan”. Ayas melakukan ini setiap hari. Ayas membalik, kembali ke sudut bangunan, muncul lagi sudah berpakaian kebesaran sebagai menteri perbendaraan kerajaan. Ia keluar dari bangunan.
Di depan pintu raja sudah menunggu, Ayas dipeluk sambil berkata, “Oh Ayas, kamu difitnah habis-habisan. Dikatakan kamu mencuri harta kekayaanku. Ternyata yang kau curi adalah hatiku”.
***
Ayas, dibaca dari belakang adalah “SAYA”, yaitu kita semuanya. Seperti Ayas terhadap rajanya, maka haruslah demikian kita terhadap TUHAN.
Nabi Besar SAW dahulu juga serba “DEMI ALLAH”. Kita semuanya adalah budak Tuhan, abdi Tuhan. Bukankah ayatnya “Tidaklah Ku-ciptakan jin dan manusia selain untuk MENGABDI kepada-Ku” (QS : 51:56), khususnya manusia sebagai Khalifatullah (QS 2:30), yaitu Kuasa Tuhan.
Ayas diberi kuasa oleh raja dalam mengelola kekayaan kerajaan. Manusia diberi kuasaoleh Tuhan dalam mengelola semesta alam dan dirinya sendiri. Insya Allah seperti Nabinya manusia menjadi rahmat yang besar bagi sesama makhluk Tuhan. Sebaliknya Tuhan meningkatkan manusia dalam rahmat tersebut, sampai akhirnya layak Tuhan memberi kedudukan kepada manusia yang amat tinggi, yaitu WALIYULLAH.
Namun apa jadinya jika manusia Islam ragu untuk menjadi Wali, bahkan tidak terpikirkan padanya untuk menjadi Wali?
“Maka sungguh para WALIYULLAH tak bakal takut dan susah, yaitu mereka yang IMAN DAN TAQWA, bagi mereka kabar-kabar baik di dunia dan di akhirat, tiada perubahan dalam sabda (janji) Tuhan, itulah prestasi yang gemilang” (QS 10:62-64).
Jadi IMAN dan TAQWA membuat orang menjadi Waliyullah, ia dituntun oleh Tuhan dengan kabar-kabar baik, berupa ilham, kasyaf, mubasysyarat. Ia KHUSYUK dalam salatnya, sebab sudah beriman (QS 23:2) dan berada dalam AFLAHA (QS 23:1), yaitu sukses lahir batin di dunia ini dan di akhirat nanti, ia manusia pilihan (QS 98:7).
Manusia taqwa mengetahui rahasia yang tersembunyi di ayat-ayat Qur’an (QS 2:2), yang “walakinna aktharonnasi la ya’lamun”, yaitu banyak sekali manusia yang tidak mengetahuinya. Ia taqwa karena NAFS atau JIWA-nya sudah tumbuh menjadi sempurna (QS 91:7-9), siap akhirat, karena Tuhan menyelamatkannya dari neraka (QS 19:72).
Mereka yang segan untuk menjadi WALIYULLAH, cukuplah iman dan taqwanya di bibir saja, tidak perlu susah-susah mencari iman dan taqwa di KALBU. Maka salatnya tidak perlu khusyuk. Siap untuk “takut dan susah”, yaitu siap gelisah, siap ragu, siap stres, frustrasi dan trauma, siap hatinya berkarat, berarti siap dijauhi Tuhan jauh dan didekati neraka (QS 83:14, 19:71).
Jika memang ini semua yang umat Islam sedang bersedia untuk mengalaminya, maka wajarlah, bahwa dewasa ini umat Islam sedang “underdog” dijajah oleh bangsa-bangsa non Islam dalam ekonomi, bisnis, produksi, peradaban, kebudayaan, bahkan ada yang militer, masih ditambah lagi musibah-musibah berupa krisis-krisis, wabah-wabah dan bencana-bencana alam turun dengan dahsyat dan bertubi-tubi.
Umat Islam sudah bersemboyan yang benar, yaitu “Kembali kepada Qur’an dan Sunnah Rasul”, berarti kembali jaya seperti umat Islam dahulu zamannya Nabi Besar SAW selama beberapa abad, yaitu umat yang pegang hegemoni dan mercusuar bagi apa yang dinamakan dunia pada waktu itu, dalam ilmu pengetahuan, kehidupan sosial, ketatanegaraan, peradaban, kebudayaan.
Insya Allah sudah rencana Tuhan, bahwa dalam millennium baru dewasa ini umat Islam bakal menemukan kembali kejayaannya, maka insya Allah akan segera datang TITIK BALIK, yaitu umat Islam yang rendah martabatnya telah siap secara global untuk dipimpin menuju kepada KEJAYAAN KEMBALI.[]
Comment here