Setidak-tidaknya, terdapat dua pendapat yang mengemuka mengenai arti kata khatamun-nabiyyin yang diterapkan kepada Nabi Suci Muhammad saw. di QS 33:40.
Pertama, khatamun nabiyyin bicara mengenai keberakhiran kenabian yang membawa syari’at. Karenanya, nabi-nabi yang tidak membawa syari’at masih bisa datang setelah Rasulullah Muhammad saw. Pendapat ini, misalnya, dianut oleh para pengikut Jemaat Ahmadiyah Qadiyan
Kedua, khatamun-nabiyyin dalam arti pengangkatannya. Sehingga, ada sebagian umat Islam yang meyakini bahwa para nabi seperti halnya Nabi Isa, Nabi Khidir, Nabi Idris dan Nabi Ilyas dimungkinkan bisa datang kembali setelah Rasulullah Muhammad saw.
Kedua pendapat di atas sekilas tampak beda, tetapi pada hakikatnya sama sebangun, yakni sama-sama meyakini akan adanya lagi nabi setelah Nabi Suci Muhammad saw.
Padahal, ayat ke-44 dari Surat Al-Ahzab berkenaan dengan kedudukan Nabi Suci Muhammad saw. sebagai Khataman-Nabiyyin di atas adalah ayat yang bersifat pasti (muhkam). Artinya, ayat itu dengan tegas dan mutlak menyatakan bahwa Rasulullah saw. adalah Nabi yang terakhir (nabi penutup). Dengan demikian, ayat itu tidak perlu mendapatkan penafsiran lagi sebagaimana halnya dua pendapat di atas.
Adapun pernyataan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang mengemukakan “kenabian” pada dirinya (nabi dalam tanda petik), tidak bisa dan tidak boleh dilepaskan dari konteks nubuatan (profetik) dalam hadits nabi mengenai turunnya Al-Masih di akhir zaman (Nuzulul-Masih).
Sebagaimana umat Muslim meyakini hadits ini sebagai sebuah kebenaran, begitu juga halnya dengan kaum Ahmadi. Hanya saja, terjadi perbedaan pendapat soal apakah Al-Masih yang akan turun itu adalah Nabi Isa a.s. dari kalangan Bani Israil yang hidup sekitar 2000 tahun yang lalu, ataukah yang dimaksud adalah sosok yang lain?
Dalam persoalan ini, kaum Ahmadi berpegang pada dua pendapat. Pertama, Isa bin Maryam ataupun Al-Masih bin Maryam yang disebutkan dalam berbagai hadits Nuzulul-Masih itu bukanlah sosok Nabi Isa a.s. yang dahulu pernah diutus oleh Allah di kalangan Bani Israil pada sekitar 2000 tahun yang lalu. Sosok yang dimaksud adalah tokoh lain yang memiliki keserupaan sifat dengan Nabi Isa a.s. dalam menjalankan misinya memenangkan Islam di akhir zaman.
Dalam hal ini, kaum Ahmadi berpegang pada hadits terkait yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berbunyi, “Kaifa antum idzaa nazalabna maryama fiikum wa imamukum minkum (Bagaimana keadaan kamu semua bila turun Ibnu Maryam di antaramu, dan dia adalah seorang imam kamu dari kalangan kamu sendiri).
Kalimat “seorang imam kamu dari kalangan kamu” dalam hadits tersebut jelas merujuk kepada golongan Muslim, bukan dari golongan Yahudi.
Kedua, kaum Ahmadi Ahmadiy meyakni bahwa Nabi Isa Bin Maryam a.s. yang dulu pernah diutus kepada Bani Israil itu telah wafat. Nabi Isa a.s. hanyalah seorang manusia biasa yang mempunyai keterbatasan fisik. Dia bukan Tuhan atau makhluk niskala yang bisa hidup selama-lamanya tanpa makan dan minum.
Dalam hal ini, kaum Ahmadi bersandar pada dalil-dalil Al-Qur’an antara lain sebagai berikut:
“Adapun orang-orang yang mereka seru selain Allah, mereka tak dapat menciptakan apa-apa, malahan mereka itu diciptakan. (Mereka) mati, tak hidup. Dan mereka tak tahu kapan mereka akan dibangkitkan.” (16:20-21)
“Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad) setiap Rasul kecuali mereka itu makan-minum.” (25:20)
“Dan Kami tak membuat mereka (yakni para Nabi) tubuh yang tak makan-makanan.” (21:8)
Ayat-ayat di atas jelas mengisyaratkan bahwa semua dzat yang dianggap Tuhan pasti telah mati. Demikian halnya juga dengan Nabi Isa, yang dipertuhankan oleh kaum Kristen (5:72).
Bilamana saat ini Nabi Isa a.s. belum wafat, sebagaimana diyakini sebagian orang, tentu ayat-ayat ini batal. Dan keyakinan semacam itu justru menjadi dukungan kuat bagi iman Kristen dan membuktikan bahwasannya Nabi Isa a.s. itu benar-benar Tuhan.
Selain ayat-ayat di atas, tidak sedikit pula ayat Quran Suci maupun Hadits Nabi yang membuktikan bahwa Nabi Isa a.s. telah wafat secara wajar. Bahkan salah satu hadits menyebut usianya Isa kurang lebih 120 tahun. (baca: Nabi Isa telah wafat)
Nah, dalam sudut pandang ini, kaum Ahmadi meyakini bahwa Al-Masih yang dijanjikan datang di akhir zaman dalam banyak hadits Nabi itu bukanlah Isa Al-Masih dari kalangan Bani Israel atau Yahudi (Singkatnya: Al-Masih Israili), melainkan sosok lain yang memiliki keserupaan dengannya, yang berasal dari kalangan umat Muslim sendiri (Al-Masih Muhammadi).
Lalu, yang menjadi pokok soal dalam artikel ini adalah: apakah Al-Masih Muhammadi itu seorang Nabi ataukah bukan? Polemik ini pula yang menyebabkan Gerakan Ahmadiyah terpecah menjadi dua di tahun 1914, persis 6 tahun setelah wafatnya sang pendiri, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad .
Sebagai umat Islam, kita tentu meyakini Qur’an Suci sebagai sumber hukum tertinggi, dan tidak boleh ada yang lebih tinggi daripadanya. Sebab itu, hendaknya segala persoalan yang terkait dengan agama harus disandarkan kepada Al-Qur’an. Qur’an harus menjadi hakim yang utama, dan Hadist Nabi Suci saw. sebagai hakim yang kedua.
Persoalan Nuzulul-Masih dan kedudukan Al-Masih sebagai “nabi” mengemuka hanya di dalam Hadits, dan tidak di dalam Quran Suci. Di dalam Quran Suci, yang ada justru ayat muhkam yang menyatakan bahwa Nabi Suci Muhammad saw. adalah Khataman-Nabiyyin atau Nabi terakhir, sebagaimana dikemukakan di awal artikel ini.
Karena itulah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menafsirkan kenabian Al-Masih Muhammadi dalam berbagai hadits itu sebagai nabi-matsil, bukan nabi hakiki, yakni nabi dalam arti lughawi (etimologi). Seseorang yang menerima naba’ (kabar baik) dari Allah, secara etimologi dalam kamus bahasa Arab disebut “nabi.”
Dalam kasus lain, memahami kasus kenabian Al-Masih Muhammadi ini tidak ada bedanya dengan kenabian dalam pustaka sufi. Dalam khazanah tasawuf, terdapat banyak istilah nabi ghairi mustaqil, nabi ghairi tasryri, nabi ummati, nabi majazi yang pada hakikatnya bukan seorang Nabi dalam terminologi Islam (bukan nabi yang sesungguhnya). Dalam hadits, orang seperti ini disebut muhaddats, yakni orang yang banyak menerima ilham Allah meski ia bukan nabi.
Karena itu, dalam hal ini Ahmadiyah Lahore tegas berpendapat bahwa Nabi Suci Muhammad adalah Nabi terakhir, yang sesudahnya tidak akan datang lagi seorang nabi, baik itu nabi baru maupun nabi lama, meskipun juga tetap meyakini hadits-hadits mengenai Nuzulul-Masih.
Comment here