Diskursus

Ahmadiyah: Sebuah titik yang dilupa (1)

Di kalangan muslimin Indonesia sekarang Ahmadiyah kurang-lebih hanya menduduki tempat pengenalan samar-samar. Mereka tahu ada Ahmadiyah Qadian dan ada Ahmadiyah Lahore. Bedanya tak begitu jelas tapi yang pasti Ahmadiyah Qadian meyakini Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) sebagai Nabi — meskipun hanya Nabi yang menghidupkan kembali ajaran Rasulullah Muhammad S.A.W. dan bukan Nabi yang membawa syari’at baru. Sedang yang Lahore menganggap Ghulam Ahmad sekedar seorang Mujaddid Pembaharu untuk abad ini — tak beda dengan pembaharu-pembaharu untuk abad-abad terdahulu seperti Iman Syafi’i, Al-Ghazali, Ibnu Taimiah, dan lain-lain.

Sumber: Majalah Tempo | Nomor 29, 21 September 1974

JAKARTA, 1933. Pada tanggal 29 September malam orang berjejal di sebuah tempat di gang Kenari, Salemba. Mereka mengikuti perdebatan antara dua orang tokoh: Nama terkenal A. Hassan yang mewakili Pembela Islam dan Abu Bakar Ayub Ahmadiyah Qadian. Pada akhir itu juga fihak Pembela Islam menerbitkan rekaman debat tersebut yang kemudian dicetak ulang 40 tahun kemudian.

Pada halaman-halaman pertama boleh dibaca keterangan yang menggambarkan jalannya perdebatan: Rapat dihadiri oleh lebih kurang 2.000 orang Wakil pers yang datang: Keng Po, Sin Po, Pemandangan, BintangTimur, Sikap Adil. Sumangat, Senjata Pemuda Jawa Barat, Ceto Welo-Welo. Wakil-wakil perkumpulan yang datang: Persatuan Islam, Pendidikan Islam, AnNadil Islamie, Persatuan Islam Garut, MAS Garut, Persatuan Islam Leles, Islamiyah Jatinegara, Perukun Kebon Sirih, Salamatul-Insan, Al Irsyad, PBO.

Pukul 8 rapat dibuka oleh Ketua, tuan Mohd. Muhyidin dengan lebih dahulu mengucapkan seperti berikut. Tuan-tuan putera dan puteri. Saya mengucapkan teimakasih atas kedatangan sekalian. Ternyatalah perdebatan ini dapat perhatian yang penting. Melainkan saya harap supaya tuan-tuan sekalian akan tinggal dengan iman, seperti kemaren. Sekarang akan diperingati lagi kepada tuan-tuan supaya janganlah mencela atau mengeluarkan perkataan atau isyarat-isyarat yang memihak ke salah satu partai yang sedang berdebat. Barang siapa tiada menurut akan aturan ini, saya akan ambil tindakan. Ingatlah, walaupun tidak setuju juga simpan sahaja dalam hati. Tetaplah memegang aturan seperti kemaren malam. Pembicaraan ini malam akan dibicarakan, apakah sesudah Nabi Muhammad s.a.w. akan ada lagi Nabi atau tidak. Fihak Ahmadiyah akan mengasih keterangan, dalil-dalil yang menguatkan pendiriannya, bahwa sesudah Nabi Muhammad, ada Nabi lagi yang tidak membawa syare’at. Pembela Islam akan kasi keterangan sesudah Nabi Muhammad tidak akan ada Nabi lagi, walaupun yang tiada membawa syare’at baru. Saya persilahkan tuan Abu Bakar Ayub waktunya 1 jam paling lama janganlah menyimpang dari rel.

Tuan A. Hassan: Tuan Ketua dan Yuri! Saya minta bicara. Tuan Ketua: Apa panjang? Tuan A. Hassan: Cuma perkara yang kemaren malam sahaja. Tuan Ketua: Jangan sekarang dibicarakan. Tuan A. Hassan: Saya majukan pertanyaan, apakah aturan tetap seperti kemaren atau ada robahnya, karena praktek kemaren tidak baik. Tuan Ketua: Saya tidak mengizinkan. Saya pegang aturan yang sudah ditetapkan oleh kedua belah fihak. Tuan A. Hassan: Karena tuan Rahmat Ali mendustakan saya. Tuan Ketua: Saya minta tuan tunduk kepada aturan. Tuan Hassan lalu duduk.

Itu bukanlah satu-satunya debat antara Ahmadiyah dengan kaum muslimin umumnya. Zaman itu adalah zaman ketika kebebasan mimbar terbuka penuh. Sedang munculnya organisasi-organisasi pembaharuan Islam di awal abad 20 seperti Muhammadiyah Al-lrsyad atau Persatuan Islam telah menyebarkan satu udara di mana kegemaran berdebat secara terbuka tumbuh menjadi satu institusi yang di belakang hari boleh mengejutkan para penyelidik yang kurang teliti. Namun dari besarnya perhatian — baik pers maupun para pengunjung luar kota — terhadap debat di atas diketahui bahwa pada tahun 30-an itu masalah Ahmadiyah bukan masalah yang asing bagi rakyat muslimin umumnya. Bahkan boleh dipastikan ia lebih aktuil di masa-masa tersebut dibanding sekarang ketika sudah begitu banyak soal-soal lain yang lebih merebut minat umat beragama.

Orang seakan-akan baru diingatkan kembali ketika dari Makkah dari satu muktamar organisasi-organisasi Islam sedunia beberapa waktu yang lalu datang keputusan yang mengkafirkan Ahmadiyah Qadian. Disusul dengan berita remang-remang tentang beberapa kericuhan di Pakistan negeri asal Ahmadiyah akibat keputusan tersebut.

Tidak begitu banyak yang diketahui orang tentang perincian peristiwa tersebut secara jelas. Namun dari berita-berita kecil di koran-koran didapat kesan bahwa di negeri yang baru pecah dua itu gumpalan sentimen yang rupanya sangat berakar — antara kaum Ahmadiyah Qadian dan umat muslim umumnya — memang cukup kuat untuk menimbulkan ledakan setiap waktu.

Dan bagaimana di Indonesia? Tak ada ledakan apapun. Syukurlah. Di kalangan muslimin Indonesia sekarang Ahmadiyah kurang-lebih hanya menduduki tempat pengenalan samar-samar. Mereka tahu ada Ahmadiyah Qadian dan ada Ahmadiyah Lahore. Bedanya tak begitu jelas tapi yang pasti Ahmadiyah Qadian meyakini Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) sebagai Nabi — meskipun hanya Nabi yang menghidupkan kembali ajaran Rasulullah Muhammad S.A.W. dan bukan Nabi yang membawa syari’at baru. Sedang yang Lahore menganggap Ghulam Ahmad sekedar seorang Mujaddid Pembaharu untuk abad ini — tak beda dengan pembaharu-pembaharu untuk abad-abad terdahulu seperti Iman Syafi’i Al-Ghazali. Ibnu Taimiah dan lain-lain. Para pembaharu ini menurut mereka juga menerima wahyu hanya saja bukan wahyu kenabian (TEMPO, 18 September 1971).

Terhadap Ahmadiyah Lahore memang bukan tidak pernah terjadi serangan dari kalangan muslimin selebihnya. Bahkan pada masa hidupnya HOS Tjokroaminoto bapak pergerakan rakyat itu sendiri pernah terlibat dalam satu debat terutama dengan kalangan Muhammadiyah: tentang penilaian terhadap tafsir Qur’an yang ditulis Maulana Muhammad Ali, bapak aliran Lahore.

Meski begitu reaksi yang lebih berat tentulah ditujukan kepada Ahmadiyah Qadian. Debat A. Hassan lawan AlBakar Ayub sendiri hanyalah salah-satu bentuk reaksi tersebut. Di Sumatera Barat misalnya tujuh tahun sebelum itu telah tampil Aji Rasul — nama ppuler Dr. Abdul Karim Amrullah ayah Hamka — yang menulis sebuah buku berbahasa Arab berjudul Al-Qaulush Shahieh (Sabda Yang Benar) buat menyerang habis kaum Qadian. Buku tersebut lantas dibalas oleh lawannya dengan judul yang juga dalam bahasa Arab Izharul Haqq (Kumandang Kebenaran).

Sementara itu majalah seperti Pedoman Masyarakat yang terbit di Medan (1937) maupun Panji II/Masyarakat di Jakarta tak ayal pula memuat tulisan-tulisan yang “menguliti” Ahmadiyah. Pada 1936 misalnya majalah ini memuat tulisan keras yang kemudian dibalas oleh Abu Bakar Ayub (lawan debat A Hassan) dengan brosurnya berjudul Bantahan Lengkap. Beberapa bulan lalu Panji juga memuat terjemahan Ali Aman dari ulama An-Nadi yang juga merupakan serangan kepada kaum Qadiani.

Tetapi mengapa Sumatera Barat dalam hal Ahmadiyah lebih dahulu terdengar beritanya daripada Jakarta misalnya?

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1974/09/21/AG/mbm.19740921.AG65421.id.html

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »