Diskursus

Ahmadiyah Pasca Fatwa

GAI telah menunjukkan eksistensinya selama lebih dari 80 tahun di Indonesia. Jika dilihat pada segi organisasinya, maka secara objektif harus diakui bahwa GAI telah gagal membangun organisasi dakwah yang kuat. Tetapi secara objektif pula harus diakui bahwa ide-ide keagamaan yang diusung oleh GAI tampaknya telah diakui oleh semakin banyak kalangan dalam Islam sebagai sebuah kebenaran, meskipun harus diakui pula “kebenaran” itu tidak harus dan selalu diperoleh langsung dari GAI

Oleh: Mulyono | Sekretaris PB GAI

KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ahmadiyah yang menetapkan aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad, betapa pun berdampak pada eksistensi Gerakan Ahmadiyah Indonesia pada tingkatan riil di masyarakat. Kecurigaan masyarakat pada umumnya kepada organisasi yang berlabel Ahmadiyah ini seakan mendapatkan landasan kuat dari fatwa itu, dan bahkan telah membentuk semacam sikap “Ahmadiyah phobia”.

Persoalan mendasar yang melahirkan fatwa itu adalah ditemukannya “fakta” tentang dakwah/klaim kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Inilah yang dianggap sebagai penyimpangan berat terhadap doktrin Islam yang “baku”, karena dengan begitu dianggap mengingkari berakhirnya kenabian Muhammad saw.

Terhadap kekeliruan persepsi dalam masalah ini sebenarnya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad telah memberikan penjelasan berulang kali, baik secara langsung (dalam berbagai forum) maupun melalui tulisan di berbagai buku, bahwa pengakuan kenabian (seperti yang dipahami oleh umat Islam pada umumnya) itu sama sekali tidak ada, sambil menegaskan keyakinannya bahwa Nabi Suci Muhammad saw. adalah khâtaman-nabiyyîn, dalam arti nabi yang terakhir. Bahkan beberapa waktu sebelum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad wafat pun, penegasan seperti itu masih dilakukan lagi. Ini membuktikan bahwa keyakinan beliau atas berakhirnya kenabian pada diri Nabi Suci Muhammad saw. begitu kuat, sama kuatnya dengan penolakan klaim kenabian diri beliau sendiri, atau oleh siapa pun. Sebegitu jauh penjelasan soal klaim kenabian itu beliau berikan, sampai-sampai beliau mempersilakan menghapus dan menganggap tidak pernah ada, jika orang sulit memahami istilah nabi yang pernah beliau gunakan. Artinya, klaim kenabian yang menimbulkan kontroversi itu telah dijernihkan dengan pernyataan “Tidak ada nabi sesudah Nabi Suci Muhammad saw., baik nabi lama maupun nabi baru”, sambil merujuk sabda Nabi saw. “Lâ nabiyya ba’dî”. Oleh karena itu jika orang mau memperhatikan fakta ini, maka kontroversi klaim kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad seharusnya telah berakhir.

Adalah Maulana Muhammad Ali, salah seorang pengikut setia Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang cukup lama melakukan hubungan dengan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, sehingga dapat diasumsikan bahwa Muhammad Ali memahami benar misi dan posisi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, membantah keras atas tuduhan orang terhadap Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Tak terkecuali, bantahan itu ditujukan kepada sebagian pengikut Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sendiri yang “mengiyakan” tuduhan orang atas klaim kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Tetapi, boleh jadi, bantahan itu dilakukan di saat yang agaknya “kurang tepat”. Dikatakan kurang tepat karena dilakukan pada momen pergantian kepemimpinan, dimana Maulana Muhammad Ali masuk dalam bursa kandidat.

Persoalan kenabian ini, secara internal sudah muncul pada era kepemimpinan Maulana Hakim Nuruddin (pengganti Hazrat Mirza Ghulam Ahmad). Maulana Muhammad Ali pun telah menunjukkan sikap “gerah” atas isu kenabian itu. Sikap gerah itu disampaikan kepada Maulana Hakim Nuruddin, tetapi tampaknya Maulana Hakim Nuruddin berusaha mengendalikan Maulana Muhammad Ali. Agaknya Hakim Nuruddin tidak menghendaki terjadinya konflik terbuka atas isu ini. Dengan wafatnya Maulana Hakim Nuruddin, isu ini tidak bisa dicegah lagi untuk muncul ke permukaan, dan bahkan telah berbaur dengan isu politik kepemimpinan Jemaat.

Terlepas dari upaya-upaya pemenangan dari pihak rival, fakta politik menunjukkan bahwa Maulana Muhammad Ali tidak terpilih sebagai pimpinan Jemaat. Hal ini dianggap menutup peluang bagi Maulana Muhammad Ali untuk mempertahankan pemahamannya terhadap misi dan posisi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, di internal jemaat. Oleh karena itu Maulana Muhammad Ali, dengan dukungan sejumlah karibnya, memisahkan diri dari Jemaat dan membentuk faksi tersendiri, dengan mengusung doktrin yang dipahami dari Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sendiri, yakni, antara lain, bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi melainkan seorang mujaddid, sambil memberikan toleransi terhadap klaim “kenabian bayangan” (zhillun-nabi), kenabian majazi, kenabian ghairu mustaqil, dan sebagainya, dalam pemahaman istilah sufistik atau metaforis, dan bukan “nabi” dalam istilah syar’i. Ini pulalah yang dikemukakan dalam semua buku Maulana Muhammad Ali yang berbicara tentang masalah ini.

Gerakan Ahmadiyah Indonesia, sebenarnya tampak melepaskan diri dari “pertikaian” soal nabi-bukan nabi bagi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, meskipun tidak jarang terseret juga kepada persoalan ini. Memang, fakta menunjukkan bahwa Gerakan Ahmadiyah Indonesia mengusung paham keagamaan faksi Maulana Muhammad Ali, atau yang populer dengan nama Ahmadiyah Lahore. Tetapi satu hal penting yang perlu dicatat adalah pertanyaan R.Ng.H.M. Djojosugito, tokoh sentral GAI, kepada Mirza Wali Ahmad Baig, salah seorang muballigh Ahmadiyah Lahore yang cukup lama mukim di Indonesia untuk melakukan dakwah Islam. Pertanyaan itu ialah “Apakah Wali Ahmad Baig bermaksud mendirikan cabang Ahmadiyah Lahore di Indonesia?”, dijawab dengan kata “tidak”. Boleh jadi oleh sebab itulah, Djojosugito, dkk., meskipun menyertakan kata “centrum Lahore” dalam tanda kurung setelah nama Gerakan Ahmadiyah Indonesia pada organisasi yang dibangunnya, sama sekali tidak ada hubungan organisatoris, atau struktural, dengan organisasi Ahmadiyah Lahore di mana pun, termasuk di pusatnya, Pakistan.

Itulah makanya, terkait dengan ide-ide keagamaan antara GAI dan Ahmadiyah Lahore, Djojosugito menggambarkannya sebagai pohon mangga. Yakni, bahwa kita (GAI) hanya mengambil pelok (bijinya) dari Ahmadiyah Lahore (Pakistan), yang biji itu kemudian ditanam di bumi Indonesia, disiram dengan air Indonesia, dan dipupuk dengan pupuk Indonesia pula. Sayangnya Djojosugito tidak memberikan pemaknaan lebih jauh dan lebih detail tentang gambaran itu, setidaknya melalui tulisan-tulisan yang dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi generasi sesudah beliau. Tetapi jika kita memperhatikan implementasi dari gambaran itu dalam praktik para faunding fathers GAI, sekurang-kurangnya tampak pada karya-karya terjemahan dari buku-buku Ahmadiyah, baik karya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sendiri maupun tokoh-tokoh penting lainnya (Maulana Muhammad Ali, Khawaja Kamaluddin, dll.).

Sejauh yang penulis ketahui, buku-buku Ahmadiyah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, tidak ada satu buku pun yang memuat kontroversi kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Yang ada adalah buku-buku yang secara tegas menyatakan, bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah bukan nabi, melainkan mujaddid, dan bahwa Nabi Suci Muhammad saw. adalah penutup era kenabian, yang sesudahnya tidak akan ada nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru. Inilah yang seharusnya menjadi sudut, atau titik, dari mana orang memandang, atau memahami tentang apa dan bagaimana GAI.

GAI telah menunjukkan eksistensinya selama lebih dari 80 tahun di Indonesia. Jika dilihat pada segi organisasinya, maka secara objektif harus diakui bahwa GAI telah gagal membangun organisasi dakwah yang kuat. Tetapi secara objektif pula harus diakui bahwa ide-ide keagamaan yang diusung oleh GAI tampaknya telah diakui oleh semakin banyak kalangan dalam Islam sebagai sebuah kebenaran, meskipun harus diakui pula “kebenaran” itu tidak harus dan selalu diperoleh langsung dari GAI (misalnya dengan membaca buku-buku GAI, atau yang lain). Sekedar sebagai contoh dapat disebutkan di sini: Nabi Isa a.s. sudah wafat; Jihad tanpa kekerasan; wahyu Ilahi dalam bentuk ilham, kasyaf, ru’yah, akan terus-menerus diberikan kepada manusia; keyakinan terhadap Adam sebagai manusia pertama tidak ada hubungannya dengan keimanan dalam Islam; dan sebagainya.

Tetapi apakah GAI bisa mengklaim bahwa perkembangan pemikiran keagamaan tersebut sepenuhnya sumbangan GAI? Tentu tidak mudah untuk dijawab. Dalam kaitannya dengan masalah ini, catatan terpenting adalah bahwa pengakuan sebagai kebenaran terhadap ide-ide keagamaan seperti contoh di atas bukanlah tujuan utama GAI, melainkan hanyalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan utama itu, yakni “Tegaknya Kedaulatan Tuhan, agar umat Indonesia mencapai keadaan jiwa (state of mind) atau kehidupan batin (inner life) yang disebut salam (damai). Dalam kalimat yang lebih singkat, tujuan GAI adalah untuk mewujudkan Kemenangan Islam (Fathi Islam), paling kurang di Indonesia.

Fakta yang kita saksikan, bahwa visi, atau tujuan yang ingin dicapai oleh GAI tersebut masih jauh dari kenyataan. Konflik antar-kelompok masyarakat, baik yang berlatar belakang masalah ekonomi, sosial, politik, dan bahkan keagamaan, hampir terjadi setiap saat. Semestinya GAI merasa bertanggung jawab (atau paling tidak merasa ikut bertanggung jawab) atas realita ini. Atau, apakah dengan upaya “peminggiran” Ahmadiyah di Indonesia yang dilakukan sekurang-kurangnya oleh MUI, GAI bisa melepaskan diri dari tanggung jawab itu?[]

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »