DiskursusTabayyun

Ahmadiyah Bagian Dari Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah

room with multicolored wall tiles

“Dan hendaklah diantara kamu ada satu golongan yang menyeru kepada kebaikan, dan menyuruh berbuat benar dan melarang berbuat salah. Mereka itulah orang yang beruntung” (Q.S. 3: 104).

Melalui ayat di atas, Quran Suci secara tersirat telah menubuatkan tentang akan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam di kemudian hari. Tetapi Nabi Suci sendiri berulangkali menubuatkan perihal itu dengan kata-kata yang terang. Antara lain dalam sabda beliau sebagai berikut: “Sesungguhnya kaum Yahudi berpecah belah menjadi 71 golongan dan kaum Kristen berpecah belah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan.” (HR Abi Daud).

Dalam riwayat lain, dengan redaksi awal yang tidak jauh berbeda dengan hadits di atas, Nabi Suci menambahkan, “Semuanya masuk Neraka, kecuali satu golongan!” Tatkala ditanya, ”Siapakah dia, ya Rasulullah?” Beliau menjawab ”Al-Jama’ah” (HR Ibnu Majah dan Abi Daud).

Dalam riwayat lain lagi, satu golongan yang disebut-sebut akan masuk surga itu adalah ”Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (golongan yang mengikuti Sunnah Nabi dan para sahabat)” (HR Thabrani), yang di tempat lain diterangkan sebagai ”maa ana ’alaihil-yauma wa ash-haabi (apa saja yang aku berada di atasnya sekarang ini dan juga para sahabatku)(HR Tirmidzi).

Dari beberapa hadits di atas bolehlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ummat (satu golongan) dalam QS 3:104 adalah Al-Jama’ah sebagaimana termaktub dalam Hadits. Hal ini diungkap oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya terhadap ayat ini.

Ibnu Jarir, mengutip keterangan dari Ibnu Abbas, menyatakan bahwa firman Allah Ta’ala dalam QS 6:153 (dan janganlah mengikuti jalan-jalan lain yang menyelewengkan kamu dari jalan–Nya) dan juga QS 42:13 (tegakkanlah agama dan janganlah berpecah belah di dalamnya), dan ayat-ayat semacam ini di dalam Quran Suci, dimaksudkan Allah untuk memerintahkan kaum mukmin agar berjamaah dan melarang mereka berselisih pendapat dan berpecah belah” (At-Tafsir Ath-Thabari).

Tentang wajibnya berjamaah, Syaikh Muhammad Abduh menyatakan, “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ”ummat” dalam QS 2: 213 bermakna ”al-jama’ah”, demikian pula dalam firman Allah di QS 7:171 dan QS 3:104. Tetapi bukan al-jama’ah secara harfiah, melainkan secara istilah, yakni himpunan yang terikat oleh ikatan, seperti satu badan.” (Tafsir Al-Manar, Juz II hlm. 276).

Dari beberapa keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa jama’ah adalah himpunan manusia yang memiliki satu tekad untuk melaksanakan suatu program guna mencapai satu tujuan, dengan satu cara, dan di bawah satu pimpinan.

Karena itu, misalnya, meski pengikut Nabi Suci baru lima orang di hari pertama beliau mendeklarasikan kerasulannya di Kota Mekah, tetapi mereka sudah bisa disebut jama’ah. Sebabnya, mereka telah memenuhi semua unsur jamaah di atas, yakni berhimpun dalam satu tekad untuk mencapai satu tujuan, di bawah satu pimpinan. Sedangkan kaum kafir, meski kala itu jumlahnya terbilang ribuan, mereka tidak bisa disebut jamaah, sebab unsur-unsur ke-jama’ah-an tidak didapati di antara mereka.

Setelah wafatnya Nabi Suci, umat Islam boleh dikata masih dalam satu jama’ah, karena mereka masih taat kepada satu pimpinan, yakni para Khalifah, yang dalam riwayat hadits disebut “khulafa’ al–mahdiyyiin ar-raasyidiin” (yang mendapat petunjuk lagi memberikan petunjuk) (HR Abi Daud dan Muslim).

Dalam riwayat lain, kekhalifahan itu disebut-sebut “berlangsung selama 30 tahun” (HR Tirmidzi dan An-Nasa’i), yang berarti hanya berlangsung hingga wafatnya khalifah keempat, yakni Khalifah Ali bin Abi Thalib (w. 40H/661M).

Faktanya, pasca masa Khulafa’ Ar-Rasyidin, umat Islam mulai berpecah belah menjadi banyak golongan. Semula yang muncul adalah golongan Syi’ah, yang berpendapat bahwa hak kekhalifahan sepenuhnya milik Ali bin Abi Thalib. Disusul golongan Khawarij yang muncul pasca ”Tahkim” yang diinisiasi Mu’awiyah pada tahun 37 Hijriyah (657M).

Memasuki abad kedua di tahun hijriyah, perpecahan di kalangan umat Islam semakin marak. Bukan hanya semata di ranah politik, tetapi juga merambah ke ranah teologi, hukum (fiqih) dan tasawuf. Bahkan di beberapa abad sesudahnya, perpecahan itu semakin menjadi, yang kemudian melahirkan berbagai macam mazhab, bahkan sub-sub mazhab baru.

Di ranah teologi, misalnya, terdapat mazhab atau golongan seperti Qadariyah, Muktazilah, Jabariyah, Murji’ah, Asy’ariyah, Salafiyah, dll. Sedangkan di ranah hukum (fiqih), terdapat golongan yang masyhur seperti Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah, Zhahriyah, dll. Belum lagi di ranah tasawuf, ada banyak golongan seperti Qadiriyah, Sadzaliyah, Kubrawiyah, Maulanawiyah, Christiyah, Badawiyah, Naqsyabandiyah, dll.

Golongan Pengikut Mujaddid Pada Abadnya

Istilah profetik ”ahlus-sunnah wal-jama’ah” secara aplikatif dalam sejarah Islam sudah dipergunakan bagi kelompok yang bermaksud memperkuat kebenaran dalam rangka mempersatukan umat Islam pasca turun tahtanya Hasan bin Ali dari kursi kekhalifahan, dan menyerahkannya kepada Mu’awiyah. Karena itu, tahun 41 H (661 M) di mana peristiwa  itu terjadi disebut Amul-Jama’ah (Tahun Persatuan).

Istilah itu di kemudian hari meluas maknanya, karena digunakan pula untuk menyebut kaum Muslimin yang secara teologis menganut faham Asy’ariyah, di ranah fiqih mengikuti 4 imam mazhab mu’tabar, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, dan di ranah tasawuf dikenal ahli zuhud sekaligus ahli amal. Referensi ajaran yang dianut golongan ini adalah Quran Suci, Hadits Nabi, Ijma’ dan Qiyas.

Jadi, dalam konteks terakhir, golongan “ahlus-sunnah wal-jama’ah” secara khusus merujuk pada golongan Sunni, yang berbeda atau bahkan berseberangan dengan golongan Syi’ah, Khawarij, dan golongan-golongan lain yang dianggap menyimpang.

Dengan demikian, dalam konteks ini, golongan ahlus-sunnah wal-jama’ah adalah golongan terbesar dalam dunia Islam. Karena jumlah besar itulah, atas dasar beberapa riwayat hadits, golongan ini menganggap diri sebagai golongan yang dijamin masuk Sorga.

Antara lain  sabda Nabi Suci terkait hal ini berbunyi, “Umatku tidak akan berkumpul di atas kesesatan. Maka apabila kamu melihat perpecahan, wajiblah atas kamu berada dalam jama’ah yang besar (as-sawadul-a’zham)” (HR Ibnu Majah).

Tetapi Imam Sufyan Ats-Tsauri, seorang alim ahli hadits dan ahli fiqih yang terkenal, sahabat karib Imam Hanafi (w. 161H/777M) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan golongan yang besar (as-sawadul-a’zham) dalam hadits di atas itu adalah seseorang dari golongan ahlus-sunnah wal-jama’ah, walaupun ia seorang diri” (Moenawar Khalil, 1973:407).

Penjelasan Imam Sufyan di atas ini tampak lebih mendekati apa yang dimaksud oleh ayat Qur’an Suci tentang ”ummat” dan Hadits Nabi tetang ”Al-Jama’ah” sebagaimana diuraikan di muka. Sebab, ukuran kebenaran dan tidak menyimpang dari jalan Allah itu bukanlah banyaknya jumlah pengikut, melainkan karena persesuaiannya dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, sebagaimana diperagakan oleh Nabi Suci dan para sahabatnya.

Kata kunci untuk mengetahui satu golongan yang dijamin mendapat keselamatan adalah ”al-jama’ah”, yang secara harfiah berarti himpunan atau kumpulan, tetapi secara istilah telah ditulis di muka. Unsur terpenting dalam jama’ah yang tak terpisahkan dengan penjagaan Ilahi terhadap agama-Nya adalah pimpinan atau Imam (QS 15:9).

Yang menentukan siapa “Imam Sejati” (Imaman Haqqah) di kalangan umat Islam bukanlah manusia, tetapi Allah SWT sendiri yang menetapkannya. Seperti halnya Allah menetapkan para Nabi dan Rasul-Nya, yang Ia karuniai wahyu dan ilham.

Hal ini diisyaratkan Allah dalam firman-Nya: ”Yang meninggikan derajat, Yang mempunyai Singgasana Kekuasaan. Ia menganugerahkan ruh atas perintah-Nya kepada siapa yang Ia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, agar Ia memperingatkan (manusia) tentang Hari Pertemuan” (QS 40:15).

Yang dimaksud ”siapa yang Ia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya” dalam ayat di atas, menurut Imam Qatadah, adalah para Nabi dan Mujaddid. Sedangkan yang dimaksud ”Ia memberikan ruh” dalam ayat itu, menurut Imam Al-Alusi, adalah ”wahyu Ilahi”, yang dahulu dikaruniakan kepada para Nabi, sejak Adam sampai kepada Nabi Muhammad saw., dan dikaruniakan pula kepada para Mujaddid yang dibangkitkan pada tiap-tiap permulaan abad sesudah era kenabian hingga Hari Kiamat.” (Ruhul-Ma’ani)

Jadi, Mujaddid adalah seorang alim, yang dibangkitkan oleh Allah pada permulaan tiap abad, selaras dengan sabda Nabi Suci, ”Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat ini pada awal setiap abad orang yang memperbaharui baginya agamanya” (HR Abi Daud).

Para Mujaddid itulah Imam Jama’ah pada abadnya, yang dalam kaitannya dengan itu, Nabi Suci mengingatkan, ”Barang siapa memisahkan diri dari Jama’ah sejengkal saja, ia sungguh telah melepaskan tali Islam dari lehernya” (HR Abi Daud).

Dalam riwayat lain, Nabi Suci bersabda, ”Barang siapa mati tanpa mengenal Imam Zamannya, maka kematiannya adalah kematian yang jahiliah” (HR Ahmad). Artinya, mengikuti Imam pada zamannya alias berjama’ah itu adalah termasuk kewajiban dalam perkara agama. Karena itu, Sayidina Umar menyatakan, ”Sesungguhnya tak ada Islam kecuali dengan jama’ah, tak ada jama’ah kecuali dengan imamah, dan tak ada imamah kecuali dengan ketaatan, dan tak ada ketaatan kecuali dengan bai’ah.” (HR Tirmidzi).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Jama’ah adalah kaum Muslimin yang mengikuti Mujaddid pada abadnya. Merekalah golongan yang mengikuti sunnah Nabi dan para sahabat pada zamannya, (ma ana ’alaihil-yauma wa ashhabi), atau yang dalam istilah lain disebut ”Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.

Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah di Zaman Akhir

Lantas, siapakah para Mujaddid yang menjadi Imam Jamaah dalam upayanya menegakkan Sunnah Nabi dan para sahabat dari abad ke abad itu?

Banyak kitab yang telah menyajikan nama-nama para mujaddid dan pembaharuan mereka, antara lain Kitab Hujajul-Kiramah karya Nawwab Shiddiq Hasan Khan (1258-1307H/ 1832-1889M). Di halaman 135 hingga 139 di dalam kitabnya itu, Nawwab Shiddiq menyebutkan beberapa nama Mujaddid dari abad ke abad sebagai berikut:

  1. Hazrat Umar bin Abdul-Aziz (Abad I Hijriyah)
  2. Hazrat Imam Syafi’i dan Hazrat Imam Hambali (Abad II Hijriyah)
  3. Hazrat Imam Abu Syarah dan Hazrat Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (Abad III Hijriyah)
  4. Hazrat Imam Ubaidullah dan Hazrat Imam Qadhi Abu Bakar Baqillani (Abad IV Hijriyah)
  5. Hazrat Imam Ghazali (Abad V Hijriyah)
  6. Hazrat Syekh Abdul-Qadir Jilani (Abad VI Hijriyah)
  7. Hazrat Ibnu Taimiyah dan Khawaja Mu’inuddin Khisti (Abad VII Hijriyah)
  8. Hazrat Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Hazrat Shalih ibnu Umar (Abad VIII Hijriyah)
  9. Hazrat Sayid Muhammad Jonpuri (Abad IX Hijriyah)
  10. Hazrat Imam Jalaluddin As-Suyuthi (Abad X Hijriyah)
  11. Hazrat Syekh Ahmad Sirhind Mujaddid Alfi Tsani (Abad XI Hijriyah)
  12. Hazrat Syah Waliyullah Ad-Dahlewi (Abad XII Hijriyah)
  13. Hazrat Sayid Ahmad Barelvi (Abad XIII Hijriyah)
  14. Mujaddid abad ke-XIV bergelar Al-Masih dan Al-Mahdi.

Sejarah mencatat pada awal abad ke-14 banyak ulama yang disebut dan diakui sebagai Imam atau Mujaddid, akan tetapi hanya seorang saja yang mendawakan diri sebagai Mujaddid abad ke-14 H, yaitu Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1200-1324 H/ 1835-1908 M).

Pada tahun 1882, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (HMGA) mendakwahkan diri sebagai Mujaddid, dan kemudian memaklumatkan pengakuannya itu melalui 20.000 eksemplar selebaran pada tahun 1885. Enam tahun berikutnya (1891), beliau mendaku sebagai Al-Masih dan Al-Mahdi yang dijanjikan dalam Quran Suci dan Hadits Nabi, serta diberitakan pula melalui ilham dan kasyaf kepada orang-orang suci terdahulu.

Jika demikian, maka Al-Jama’ah pada abad ke 14 hijriyah atau zaman akhir ini adalah Gerakan Ahmadiyah, yang didirikan oleh HMGA pada 1 Desember 1888, berdasarkan ilham yang beliau terima. Jelasnya, Ahmadiyah adalah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah yang mengikuti mujaddid pada zaman akhir ini. Sedangkan jama’ah Islam non-Ahmadiyah adalah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah non-Mujaddid pada abad ini.

Pola perjuangan Gerakan Ahmadiyah tersirat dalam namanya. Istilah Ahmadiyah merujuk pada kata Ahmad, nama lain dari Nabi Muhammad (QS 61:6). Implementasinya, di bidang akidah Gerakan Ahmadiyah berlaku jalali, tetapi di bidang akhlak-muamalah bersifat jamali.

Sunnah Nabi dan Sahabat yang ditegakkan oleh Gerakan Ahmadiyah di bidang akidah antara lain sebagai berikut:

  1. Sifat-sifat Allah bukan hanya tercermin di dalam sifat dua puluh sebagaimana yang dirumuskan oleh para ulama salaf, tetapi tetapi tercermin dalam Al-Asma al-Husna sebagaimana termaktub dalam Quran Suci (QS 7:180). Dan bukan hanya 99 dalam hitungan angka. Sebab, 99 semata mengisyaratkan jumlah tak terbatas dari sifat-sifat Allah yang tak terbatas itu.
  2. Kitab Suci yang harus diimani tidak hanya berjumlah empat, tetapi banyak, sebanyak jumlah nabi yang diutus Allah (QS 2: 213). Sebabnya, setiap nabi pasti dikaruniai Kitab Suci.
  3. Kenabian bersifat universal. Sebab, hingga berakhirnya era kenabian pada diri Nabi Muhammad saw., para nabi dibangkitkan di segala bangsa (QS 10:47), bukan hanya di wilayah Timur Tengah saja. Sehingga, jumlah nabi bukan hanya 25, tetapi sejumlah bangsa-bangsa yang ada di muka bumi pada masanya.
  4. Tak ada nasikh-mansukh dalam Quran Suci (2: 106). Artinya, sejak diturunkan kepada Nabi Suci, tidak ada ayat di dalam Quran Suci yang dihapus atau dibatalkan, baik teksnya maupun nilai hukumnya, baik oleh ayat yang lain di dalam Quran itu sendiri, apalagi oleh Hadits.
  5. Allah tetap mengaruniakan wahyu kepada makhluk-makhluk-Nya, baik dulu, sekarang, maupun di waktu yang akan datang. Baik kepada nabi maupun kepada yang bukan nabi. Baik di era kenabian, maupun di era pasca berakhirnya kenabian. Karena, wahyu adalah manifestasi sifat Kalam (berfirman) dari Allah SWT yang berlaku abadi (QS 42:51).
  6. Quran Suci adalah peringatan bagi segala bangsa (QS 25:1). Karena itu, tugas dan kewajiban kaum muslimin-lah untuk menyebarluaskan ajaran Quran Suci ke berbagai bangsa itu. Antara lain dengan menerjemah-tafsirkan Quran Suci ke dalam bahasa-bahasa dari berbagai bangsa yang ada di dunia.

Lantas, Sunnah Nabi dan Sahabat yang ditegakkan oleh Gerakan Ahmadiyah di bidang fiqih, antara lain sebagai berikut:

  1. Sumber ajaran dan hukum Islam Quran Suci Hadits Nabi dan Ijtihad.
  2. Ulil-Amri yang wajib ditaati adalah para penguasa dimana seorang Muslim tinggal.
  3. Jihad artinya perjuangan menyiarkan Islam, bukan perang atau memerangi musuh.
  4. Ahli Kitab bukan hanya kaum Yahudi dan Kristen saja, tetapi mencakup semua umat beragama non-Islam.
  5. Seseorang yang Murtad hukumnya bukan dibunuh.
  6. Zina hukumnya bukan rajam.
  7. Mengkafirkan ahlul-kiblat hukumnya haram.
  8. Menghadapi masalah khilafiyah cari persamaan dan abaikan perbedaan .
  9. Haram menghukum seseorang karena akidah atau keyakinan imannya.
  10. Ijma’ ulama harus dikritisi, karena bukan suatu kebenaran yang harus diterima secara mutlak.

Oleh : S. Ali Yasir | Ketua Tabligh & Tarbiyah PB GAI

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »