Tokoh

Apa & Siapa: K.H. Sami’an Ali Yasir

Siap Mati Demi Kebenaran       

Menjadi mubaligh adalah panggilan hati, meski banyak rintangan menghadang. Bahkan berbagai ancaman yang mengincar keselamatannya, tidak menyurutkan tekatnya untuk menyampaikan kebenaran. Jalan hidup dan riak riuhnya langkah sudah ia lakoni penuh kesabaran dan semangat jihad fi sabilillah, bersungguh-sungguh di jalan Allah.

Itulah yang dikerjakan K.H. Sami’an Ali Yasir, atau yang sering dipanggil juga Simon Ali Yasir, tokoh langka yang memahami ilmu terkait Kristianologi Qurani, yang sering disalahkaprahkan sebagai ahli perbandingan agama.

“Sebenarnya tidak ada perbandingan agama itu. Itu hanya istilah salah kaprah yang justru memicu ketidaknyamanan untuk berdialog,” tutur Kiai yang kini mukim di Dusun Sumber Kulon, Berbah, Kalitirto, Sleman itu.

Dalam pandangan Ali Yasir, ilmu Kristianologi Qurani sebenarnya membuka wawasan bagaimana Quran menempatkan agama Kristen dan semua ajaran berikut sejarahnya, yang itu memang ada dalam kitab suci Alquran.

Selama ini yang dilakukan hanyalah menyampaikan kebenaran itu, tanpa ada tendensi dan maksud apapun. Tapi langkahnya ternyata sering dipandang keliru oleh banyak pihak.

“Ini kan hanya menyampaikan kebenaran seperti yang ada dalam Alquran, tapi justru sering dianggap negatif oleh banyak pihak. Bagi saya itu tidak masalah, sebab inilah perjuangan menyampaikan kebenaran. Dan siap mati di jalan itu,’’ tandas suami Nunuk Suparti dan bapak dari empat anak yang sudah memiliki cucu ini.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, penekanan dan intimidasi terkait dengan tugasnya sebagai mubaligh selalu mengundang kecurigaan. Bahkan pernah ia harus melakukan wajib lapor di Korem setiap hari Senin dan Kamis selama hampir setahun.

Semua itu berawal dari beberapa kajian yang sering dilakukannya setiap Senin di tempat tinggalnya di jalan Kemuning Baciro, yang membahas Kristologi Islam ketika itu.

‘’Teman-teman saya yang wajib lapor itu kebanyakan pencuri, penjudi dan gali. Jadi, muballigh seolah sama martabatnya dengan mereka itu,’’ungkap Ali Yasir dengan nada sedih.

Jaman sudah terbuka, kini gerak langkahnya semakin leluasa. Kedewasaan dalam memandang perbedaan bukan menjadi soal yang besar. Justru perbedaan menjadi rahmat. Sebagaimana agama Islam sendiri yang harus mampu menjadikan rahmatan lil alamin, bagi segenap umat manusia.

Meski masih ada sekelompok orang yang alergi dengan ilmunya, namun kiprahnya kian mantap. Sebab justru banyak generasi muda mendukungnya dan belajar kepadanya ilmu langka yang sangat ampuh membuka tauhid ini.

Ali Yasir juga banyak memberikan mata kuliah di beberapa Perguruan Tinggi dan menjadi pengampu mata kuliah Orientalisme dan Kristianologi Qurani di Pondok Pesantren UII.

Forum kajian yang dibidaninya sejak tahun 80-an sampai sekarang masih berjalan. Dengan Yayasan Bina Umat Mualaf Indonesia (YABUMI), Ali Yasir banyak menjadi sandaran keteguhan tauhid bagi banyak mualaf.

Dakwah Panggilan Hati

Sedikit yang mengenal K.H. Sami’an Ali Yasir, kecuali keluarga perguruan PIRI. Namanya identik dengan Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia.

Mantan Ketua Umum Pedoman Besar, jabatan tertinggi di GAI ini, mengaku perjalanannya menjadi mubaligh sarat dengan tantangan, karena dirinya seorang Ahmadiyah Lahore.

“Soal tauhid saya keras. Tetapi ketika bergaul dengan sesama manusia, saya lebih mengutamakan kelembutan Islam, agar bisa ada dialog kebenaran,” papar Kiai Ali Yasir.

Masa kecilnya dihabiskan di lingkungan pondok pesantren desa, di kampung kelahirannya Temurejo, Walikukun, Ngawi. Setelah tamat SD tahun 1960 lantas hijrah ke Madiun masuk PGA empat tahun.

Jiwa mandiri dan semangat belajar yang kuat lantas membawa keinginannya belajar ke PGA 6 tahun setingkat SLTA di Surakarta. Semasa sekolah di Surakarta, ia tinggal di lingkungan pondok pesantren, yang kian menguatkan ilmu agamanya.

Kemudian Ali Yasir masuk SGPLB Negeri Surakarta, lantas melanjutkan ke FIP IKIP Negeri Surakarta, tapi tidak sampai lulus karena keburu hijrah ke Yogyakarta.

Hidup di lingkungan pesantren semasa sekolah PGA di Madiun, nyantri di Pondok Pesantren Ngoro-oro Ombo. Ketika di Surakarta hidup di lingkungan Pesantren Jamsaren. Ini semakin mengokohkan keinginannya untuk menjadi seorang mubaligh, disamping panggilan hati ketika melihat kenyataan masih sedikitnya anak muda yang tertarik menjadi da’i.

Semasa muda kiprahnya sudah merambah berbagai organisasi. Dalam Pelajar Islam Indonesia (PII) yang kian mendewasakannya, jabatan Ketua diembannya, meski hanya sebagai Ketua ranting Lawu Utara. Ia pun pernah menjadi Sekretaris Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) wilayah Jawa Tengah.

Mengaku masuk Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI) sejak 1971, kiprahnya sebagai mubaligh semakin nyata. Di organisasi ini, ia pernah menjabat sebagai Ketua Seksi Angkatan Muda cabang Yogyakarta (1972-1976), Ketua GAI cabang Yogyakarta (1980-1985), Ketua Pengurus DIY (1987-1993), sampai puncak jabatan di ormas itu diraihnya sebagai Ketua Umum Pedoman Besar (1994-1999).

Selain aktif di Ahmadiyah, Kiai Ali Yasir juga banyak terlibat dalam berbagai organisasi seperti Majelis Dakwah Indonesia (MDI), menjabat sebagai Ketua Biro Pemuda DIY (1995-2000), Anggota Dewan Pakar ICMI Orwil DIY (1996-2000), dan ketua Yayasan Bina Umat Mualaf Indonesia (YABUMI) Yogyakarta (1995 sampai sekarang).

Selain memberikan tausiyah di berbagai majelis taklim dan aktif mengisi khotbah di berbagai masjid, Kiai Ali Yasir juga mengajar di berbagai sekolah. Selain mengajar Pendidikan Agama Islam di lingkungan PIRI, khususnya di SMA PIRI 1 Yogyakarta, pemilik nama alias Simon Ali Yasir ini juga mengajar di Taman Madya Ibu Pawiyatan Yogyakarta (1976-1999).

Ali Yasir juga mengajar di berbagai perguruan tinggi sebagai dosen Agama Islam antara lain di Syariah Bank Institut Yogyakarta (1994-1998) dan Islamic Business School Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Yogyakarta (1996-1999).

Selain mengajar, Ali Yasir juga aktif menulis di berbagai media cetak lokal maupun nasional. Ia pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Warta Keluarga GAI (1979-1990) dan Pimpinan Umum Majalah Fathi Islam (1996-1999.

Ia banyak juga menulis buku. Banyak karya-karya tentang Kristianologi Qurani yang sudah diterbitkan. Sayang, bahan khotbah jum’atnya yang pernah dibacakan dan terarsipkan secara baik, menjadi harta karun yang tertumpuk.

“Ada keinginan untuk membukukan semua itu, termasuk dengan konsep-konsep yang selama ini berhenti di ketikan manual. Memang masih banyak yang takut karena saya orang Ahmadiyah,” pupus Kiai yang merasa masih memiliki semangat muda untuk berjihad dengan menjadi mubaligh sampai akhir hayatnya itu.

Reporter: Teguh. Dimuat dalam Koran Minggu Pagi, No. 20 Th 66 Minggu III Agustus 2013.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »