Kolom

Wilmersdorfer Moschee, Saksi Hubungan Baik Muslim-Yahudi di Era Nazi

Saya ingin bercerita sedikit tentang masjid tua di Berlin ini. Umurnya konon sudah mendekati satu abad. Cat-cat dinding bangunan terlihat mengelupas. Suasana di sekitar sunyi senyap, seperti tidak ada kehidupan. Hanya beberapa gelintir orang yang lalu-lalang di jalan. Memang, masjid ini berada di sebuah gang kecil. Tidak seperti masjid besar lainnya yang rata-rata berada di pinggir jalan raya. Dan, biasanya didesain sangat mencolok mata.

Suasana terasa berbeda, karena ini pengalaman baru saya masuk masjid dan salat berjamaah dengan pemeluk Ahmadiyah. Hanya kami bertiga yang salat: pemeluk Ahmadiyah itu, suami saya, dan saya. Mudatsir, begitu  memperkenalkan diri, menawarkan kami tempat untuk berwudu. Kami kemudian salat berjamaah seperti biasa. Tidak ada yang beda. Sujudnya sama, rukuk, begitu pula jumlah rakaat. Tapi, tentu kami tidak tau rangkaian bacaan salat yang di baca Mudatsir.

Tempat salat kami kebetulan nampak jelas sekali dari jalan. Tidak ada pembatas antara laki-laki dan perempuan di masjid ini. Hanya saja, barisan laki-laki berada di depan, dan perempuan di belakang. Hal ini tidak saya temukan selama saya berkeliling ke masjid-masjid Turki, Arab, termasuk masjid Indonesia yang ada di Berlin. Biasanya laki-laki dan perempuan dipisah dengan menggunakan satir, atau berbeda ruangan.

Misionaris Pertama

Sejarah panjang Wilmerdorfer Moschee ini tak lepas dari awal masuknya misionaris Ahmadiyah dari British-India. Komunitas Ahmadiyah Lahore disinyalir sebagai misionaris muslim pertama yang berhasil merebut hati beberapa warga Weimar Berlin untuk memeluk Islam. Jumlah pemeluk Islam meningkat melalui siaran keagamaan aktif, yang terdiri dari beberapa kalangan kelas menengah, termasuk para birokrat, pelajar, pebisnis, dokter, dan jurnalis.

Salah satunya adalah Hugo Marcus, seorang politisi Yahudi Jerman dan juga jurnalis media besar Jerman, Frankfurter Zeitung, dan Neue Zücher Zeitung yang berbasis di Swiss. Ia merupakan anak seorang industriawan, dan merupakan seorang homoseksual. Hubungan Marcus dengan komunitas Yahudi dan homoseksual tak berhenti meskipun menjadi mualaf. Bahkan ia turut bergabung untuk menyuarakan hak-hak seksualitas kelompoknya.

Marcus menyelesaikan studinya di Universitas Friedrich-Wilhem Berlin pada dekade pertama abad ke-20. Kedekatannya dengan komunitas muslim dan menjadikannya sebagai mualaf berawal dari aktivitas Marcus sebagai pendamping mahasiswa doktoral Muslim non-Jerman.

Kisah Hugo Marcus, awalnya saya dengar dari Mudatsir, yang juga imam masjid Wilmersdorfer yang saya temui siang itu. Bahwa Marcus, setelah menjadi mualaf kerap mengisi kegiatan keagamaan di masjid ini. Ia, lebih jauh lagi merupakan sosok yang kemudian merepresentasikan komunitas muslim awal di Berlin.

Makamnya konon berada di sekitar masjid, hanya berjarak beberapa ratus meter saja. Marcus, dikenal sebagai muallaf yang paling disegani diantara muslim Berlin lainnya. Ia menjabat sebagai ketua Deutsche Moslemische Gesellschaft .e.V (The German-Muslim Society or DMG).

Bahkan ketika ditahan di kamp konsentrasi Nazi, Sachsenhausen tahun 1938, Marcus berhasil dibebaskan atas surat yang dikirim oleh Imam Ahmadiyah, Dr. Syeikh Muhammad Abdullah. Sesaat sebelum meletusnya Perang Dunia II, Marcus berhasil melarikan diri ke Switzerland dengan menggunakan dokumen resmi dari sang imam, dan mendirikan Islamic Cultural Center.

Mudatsir mulai bercerita panjang lebar tentang sejarah, bangunan, serta reaksi masyarakat sekitar tentang masjid ini. Rupanya, dia bukanlah imam resmi yang dikirim dari pihak pimpinan pusat Ahmadiyah Lahore untuk Berlin. Dia bertugas di Denhag. Kebetulan, karena sang imam lagi cuti, dan dia diutus untuk menggantikannya selama beberapa minggu saja.

Ahmadiyah memang bisa dikatakan sebagai organisasi keagamaan yang sudah well established. Hubungan para penganutnya juga dikenal sangat erat sekali. Kaderisasi para imam juga dilakukan dengan sangat rapi. Biasanya, pemuda-pemuda yang telah menjalankan tugas studi agama, baik di Timur Tengah atau di tempat lain, akan diberikan pelatihan bahasa asing secara intensif.

Masjid Ahmadiyah Lahore di luar negara Pakistan jumlahnya tak kalah banyak. Imam-imam khusus akan didatangkan langsung dari Lahore. Setiap imam mendapat tugas untuk menghidupi masjid, dan juga sekaligus menjadi duta ‘wajah’ Ahmadiyah di negara setempat.

Di dalam masjid saya perhatikan ada berbagai versi terjemahan Alquran yang tertata rapi tepat di belakang tempat sholat. Selain Alquran, buku-buku agama, majalah, dan publikasi lainnya juga nampak memenuhi rak buku di salah satu sudut masjid. Publikasi buku dan Alquran diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Jerman, Turki, Arab dan Rusia.

Pihak Ahmadiyah Lahore, lanjut Mudatsir, seringkali dimintai untuk mengalihbahasakan Alquran ke bahasa lokal. Tak tanggung-tanggung, biasanya jumlahnya pun sampai ratusan eksemplar. Jika mereka tidak mempunyai biaya, maka pihak Ahmadiyah Lahore ini akan memberikannya secara cuma-cuma. Nama Marcus lagi-lagi muncul. Konon, ia juga didaulat untuk menjadi editor pertama bahasa Jerman untuk publikasi ilmiah keagamaan dan juga terjemahan Alquran.

Gaya Arsitektur

Sembari berbincang, saya mengamati gaya arsitektur masjid ini yang kental akan nuansa India dan Maghrib. Perpaduan antara Taj Mahal dan Masjid Agung Cordoba nampak jelas dalam sisi-sisi bangunan. Perancang masjid ini adalah K.A. Hermann, arsitek ternama Berlin saat itu. Ketika terjadi Perang Dunia II, mayoritas bangunan masjid ini tidak banyak mengalami kehancuran, hanya saja menara setinggi 27 meter mengalami kerusakan parah. Dan, kedua menara yang ada sekarang merupakan bangunan baru yang dibangun tahun 1999-2000.

Berbincang dengan Mudatsir

Masjid Wilmerdorfer yang terletak di jalan Brienner Straße yang dibangun tahun 1923-1925 punya jejak panjang tentang relasi antara komunitas Muslim dan kehidupan beberapa warga keturunan Yahudi, termasuk Marcus. Tentu kisah ini paling tidak dapat memberikan perspektif lain bagaimana narasi Nazisme dituturkan.

Isu anti Yahudi dalam politik Nazi kerapkali digunakan Hittler untuk memperoleh suara umat muslim, utamanya demi memperluas daerah kekuasaan di sebagian kawasan Eropa Timur, Balkan, Timur Tengah, dan Palestina. Mufti Agung Jerussalem, Amin Al-Husayni (1897-1974) pernah diundang Hitler untuk bertemu di Berlin.

Hitler juga membangun beberapa masjid, serta Berlin Islamic Central Institute (Islamiches Zentralinstitute) sebagai bentuk rayuan dan ajakan umat muslim untuk bekerjasama. Ayat Alquran, dan teks-teks keagamaan kerap digunakan Hitler untuk alat propaganda politis, seperti seruan jihad, perang, dan anti-Yahudi dan Kristen. Kepentingan pragmatis umat muslim saat itu agar terlepas dari dominasi jajahan Inggris, serta alasan lain yang lebih pelik, dapat memberikan gambaran tentang relasi umat Muslim saat Perang Dunia II terhadap Nazi dan Yahudi.

Di masjid inilah, narasi lain itu muncul. Tentang cerita bagaimana komunitas muslim Ahmadiyah Lahore bertahan ditengah Nazisme Jerman, dan mampu meyakinkan khalayak bahwa memeluk Islam merupakan sebuah kesadaran ganda. Bahkan, mereka berani menanggung resiko yang besar atas upayanya menyelamatkan warga keturunan Yahudi dan homoseksual.

Jika dilihat secara luas, memang komunitas Ahmadiyah di Berlin tak punya relasi yang kuat terkait sejarah politis seperti yang terjadi di dunia Arab. Mereka mencoba menghadirkan wajah lain sebagai Muslim pada masa genting Perang Dunia II. Karena kerap kali, identitas muslim dihubungkan dengan situasi politik Timur Tengah.

Ahmadiyah hadir dengan pendekatan lain yang mudah diterima sekaligus menarik bagi kalangan intelektual Berlin saat itu. Ditengah kuatnya rasisme, nasionalisme, dan peperangan di era Nazi, pihak Ahmadiyah memberikan alternatif wacana baru terkait beberapa ajaran Islam yang menentang keras akan ketidakadilan. Aktivitas keagamaan diisi dengan pesan-pesan mendamaikan, seperti hubungan antar agama dan juga perilaku yang tidak membedakan terhadap mereka yang mempunyai orientasi seksual berbeda.

Di masjid ini, saya menemukan kisah lain tentang kehidupan muslim pertama di Berlin sebelum Perang Dunia II berkecamuk. Yang pertama, tentu saja, komunitas Ahmadiyah, mayoritas dari Asia Tengah. Kelompok kedua lebih beragam, namun berada di bawah komunitas muslim Sunni yang terdiri dari berbagai ras dan bangsa, Arab, Turki, Asia Tengah, Asia Tenggara dan Balkan. Kedua kelompok inilah yang mewarnai sekaligus saling berebut kekuatan baru sebagai representasi warga muslim di Berlin hingga saat ini.

Jika masjid di Wilmerdorfer Strasse lebih merepresentasikan kelompok Ahmadiyah, Sehitlik Moschee, merupakan wajah yang paling tepat untuk merepresentasikan kelompok kedua yang mewakili suara muslim Sunni. Saya akan mengulasnya dalam catatan berikutnya. Wallahu a’lam.

Penulis : Maria Fauzi | Alumni Al Azhar Cairo, CRCS UGM. Tinggal di Jogjakarta | Sumber Artikel : https://alif.id

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »