Kediri, JP. Kedudukan komisaris Jemaah Ahmadiyah Lahore di Jatim ternyata di Pare, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Kediri. Dan menurut Ketua Cabang Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) Lahore di Pare, Musni Nur Ahmad, di Kediri saja terdapat 4.000 anggota Ahmadiyah Lahore.
Sedangkan di antara 16 cabang Ahmadiyah Lahore di Indonesia ini, tujuh di antaranya terdapat di Jatim dan yang terbesar di Pare tersebut. Cabang-cabangnya di Jatim adalah di Madiun, Kediri, Blitar, Jombang, Magetan, Jember dan Lawang (Malang).
Musni, Ketua Cabang yang mengaku dibai’at tahun 1963 itu selanjutnya mengemukakan, GAI di daerahnya berdiri menjadi cabang sejak 10 Maret 1963. Namun sebelum itu, kegiatannya sudah berjalan. Pertama-tama yang membawa ajaran Ahmadiyah Lahore ke Pare adalah seorang bernama SWB Arifin, yang meninggal dunia 5 Maret 1981 lalu.
Anggota, baik yang sudah bai’at maupun simpatisan tergabung dalam beberapa anak cabang, di antaranya yaitu di kecamatan-kecamatan Kepung, Plemahan, Plosoklaten, Gurah dan Pagu. Klasifikasi anggota terdiri dari berbagai kalangan pekerjaan. Yang terbanyak adalah para petani yang tinggal di pedesaan.
Namun pada awal perkembangannya memang banyak mengalami hambatan, ujar ayah dari empat anak, yang sehari-hari sebagai Guru Agama Islam Negeri di STM Canda Bhirawa Pare pada pagi hari, dan sore harinya mengajar di SMA PGRI Pare itu.
Pegawai di lingkungan Depag yang menjadi murid SWB Arifin sejak 1963 dan aktif mengikuti kegiatan dakwah gurunya itu mengemukakan pula, tahun-tahun pertama ia mengikuti dakwah gurunya memang banyak mengalami rintangan dalam menyampaikan ajaran itu. Tak jarang waktu mengadakan pengajian ada segerombolan anak muda yang tampak terorganisir memperolok-olokkan isi dakwahnya.
“Tapi justru mengapa yang memperolok malah dari kalangan Islam sendiri,” tanyanya tak mengerti. Namun ia menduga, yang memperolok itu lantaran belum memahami ajaran yang disampaikan berdasar Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad itu.
Akan lainnya mengapa pengikutnya justru banyak dari kalangan petani desa, dikatakannya bahwa dakwah yang disampaikan baik oleh almarhum gurunya, Arifin, maupun muballigh-muballigh penggantinya lebih banyak mengarah ke pedesaan, terutama di kalangan masyarakat perkebunan.
Seperti juga halnya yang dikatakan Ny. Arifin yang ditemui secara terpisah sore itu, alhmarhum suaminya memulai berdakwah di kalangan buruh perkebunan beberapa saat setelah Belanda meninggalkan bumi perkebunan di kawasan Kepung di lereng gunung Kelud. Jarak sekitar 12 km dari rumahnya di Pare sering ditempuh dengan berjalan kaki dengan tanpa mengharap imbalan uang dari para santrinya.
“Malah kami seringkali tombok untuk kepentingan mereka,” ujar janda berputera tujuh orang, yang semuanya mengikuti dan menjadi anggota AMAL (Angkatan Muda Ahmadiyah Lahore) itu. Kini ia tinggal bersama dua anaknya di Desa Gadungan Kecamatan Puncu, Kediri.
Isteri yang sering mengikuti perjalanan dakwah suaminya itu melanjutkan, untuk menunjukkan perhatian kepada rakyat kecil maka suami isteri itu sering membawa beras atau jagung kemudian dibagikan. Semua itu berasal dari harta mereka. Baik berasal dari perhiasan atau yang lain. Setelah dijual kemudian dibelikan bahan makanan untuk dibagikan kepada tempat berdakwah.
“Dan yang paling aktif sejak semula adalah Pak Musni Nur Ahmad itu,” kata janda yang mengaku dibai’at sejak sebelum tahun 1950 itu.
Musni Nur Ahmad yang pada periode kedua menjabat ketua cabang GAI Kediri di Pare ini pada periode sebelumnya menjabat Ketua II. Semua keluarganya sudah mengikuti jejaknya. Termasuk anaknya yang nomor tiga yang kini kelas I SMA pun sudah berbai’at. Yaitu bulan Desember tahun lalu waktu diselenggarakan Jalsah (semacam sarasehan) di Magelang.
Guru Agama Islam yang kini Ketua Cabang GAI itu mengaku merasa tertarik dengan ajaran Islam yang disampaikan Ahmadiyah Lahore itu karena keterangan yang diterima sangat ilmiah serta penampilan muballighnya yang menyesuaikan dengan ajaran Nabi Suci Muhammad saw. Misalnya, penampilan muballigh yang lemah lembut, sabar, tak putus asa menghadapi tantangan dan hambatan serta tak mudah marah.
Tantangan dan hambatan yag pernah dihadapi misalnya, di tahun 1964 silam, pernah beberapa pendeta dari kalangan kaum Nasrani (Kristen Adven, Protestan) ada yang mengajak berdialog. Materinya tentang diri Nabi Isa a.s. dan beberapa lainnya yang mereka masalahkan.
Menurut faham Ahmadiyah Lahore, bahwa Nabi Isa a.s. bukannya tak berayah. Namun mempunyai ayah sebagaimana kebanyakan manusia. Dan tugas pendiri gerakan ini, yaitu Mirza Ghulam Ahmad dibangkitkan Allah menjadi mujaddid (pembaharu) adalah untuk meluruskan pendapat sebagian umat Islam seperti itu.
“Sebenarnya kami tak mencari persoalan. Tapi karena mereka mengajak berdialog, kami melayani dengan terbuka,” ujarnya seraya menyebutkan bahwa pada awal perkembangan GAI di Pare ada seorang wanita bernama Karolin asal Belanda akhirnya masuk Islam dari agama sebelumnya, Kristen.
GAI cabang Kediri di Pare, setelah berdiri tahun 1964, jumlah anggotanya sudah mencapai 4000 orang. Untuk membina para anggota, pengurus dan simpatisannya, maka diadakan kegiatan yang dilakukannya yaitu bagi generasi muda yang tergabung dalam AMAL diadakan pengajian Minggu Pagi. Waktunya tiap-tiap dua pekan sekali. Kegiatan ini dinamakan Islam Sunday Morning Class (ISMC).
Bagi anggota senior kegiatan pengajian setiap malam Jum’at mulai pukul 21.00 sampai pukul 23.00. Setelah itu istirahat sebentar dan segera dilanjutkan dengan shalat tahajjud secara berjama’ah. Kegiatan Muslimat GAI diadakan setiap 35 hari sekali yang biasanya dibarengi dengan acara anjangsana kepada masing-masing anggota dan diisi santapan rohani.
Sebagai pusat kegiatannya, kini GAI Cabang Pare sudah mempunyai tempat khusus. Sebuah gedung besar berukuran kurang lebih 20×40 meter yang dibangun setelah tahun 1980 di Jl. Kandangan 47 Pare, Kediri saban acara itu dipenuhi anggota yang datang Anak Cabangnya. Sedangkan untuk kantornya, sementara ini masih menempati rumah salah seorang anggota, Imam Khutaji yang dikenal sebagai “bos”-nya perusahaan senapan angin Bima Asta di Jl. Wilis 17 Pare.
Walau sudah berumur 20 tahun, namun GAI Pare sampai kini belum memiliki masjid tempat shalat berjama’ah sendiri. Menurut rencana, mulai tahun depan akan dimulai pembangunan masjid itu yang berlokasi di sebelah utara pasar Pare di tepi jalan jurusan ke Jombang. Kini sudah tersedia tanah yang cukup untuk ukuran masjid. Dibeli dari kekuatan organisasi.
Karena belum punya masjid sendiri, terpaksa para anggota berjum’atan di masjid sembarang masjid. Memang mereka boleh dan bisa melakukan shalat jama’ah dengan orang Islam lain. Tak pandang bulu. Baik menjadi Imam maupun makmum dalam shalat.
Sumber dana organisasi ini didapat khusus dari anggota. Yaitu sebesar 1% (satu persen) sebulan dari seluruh kekayaan masing-masing anggota. Selain itu, masih ada dana yang bersifat sukarela (insidentil). Dari iuran wajib yang satu persen dari kekayaan masing-masing anggota setiap bulannya itu GAI Cabang Pare berhasil mengumpulkan uang sekitar Rp 50.000 sebulannya.
Sedangkan yang bersifat insidentil, hasilnya tidak tertentu. Terkadang banyak. Misalnya, untuk rencana pembangunan masjid ini, GAI menjual buku atau benda lain yang bermanfaat bagi anggota. Misalnya, kalau tanah untuk masjid seluas 400 meter persegi, maka seorang anggota diberi bagian satu meter persegi dengan jalan membeli buku. Kalau satu meter persegi harganya Rp 4.000,- misalnya, maka anggota membeli buku dengan membayar uang sebesar itu pula.
“Iuran satu persen itu pun mereka sendiri yang menghitungnya,” ujar Musni. Itu dilakukan agar para anggota memberikan iuran dengan ikhlas. Selain itu juga merupakan ujian mental bagi anggota.
Tentang hubungan dengan pemerintah setempat, Ketua Cabang itu mengaku tak ada masalah. Malah, ketika diadakan Jaslah (sarasehan) tahun 1981 lalu, selain dari Depag, dari pemerintah daerah pun diundang, untuk menyaksikan dan memberikan sambutan.
Jalsah yang diadakan setahun sekali dan biasanya selama tiga hari tiga malam itu diikuti oleh anggota GAI seluruh Indonesia. Yang menyelenggarakan Pedoman Besar (PB) GAI. Diadakan pada tiap akhir bulan Desember. Pada kesempatan yang baik itu diisi penerangan serta pembahasan masalah yang dijumpai di cabang-cabang.
PB GAI-lah yang mengisi acara kegiatan itu. Biasanya, dalam acara itu sekaligus diadakan pembai’atan bagi calon anggota yang minta dibai’at. Memang pembai’atan dilakukan atas permintaan calon.
Selain itu, kata Nur Ahmad di akhir pembicaraan selama satu setengah jam sore itu, kegiatan GAI Cabang Pare adalah mengadakan kegiatan ekstra di bulan Ramadhan, yang diikuti bukan saja para anggota dan simpatisan, tapi juga dari umum. Akhir Ramadhan diadakan pondok kilat selama tiga hari tiga malam. Materi yang diberikan meliputi Al-Qur’an, Hadits Nabi, Tarikh dan Fiqih. (ws/mur)
Sumber: Jawa Pos, Rabu Pon, 16 Mei 1982
Comment here