Kolom

Terorisme dalam Islam

person holding airsoft gun in shallow focus lens

Aksi terorisme, yang sejauh ini diketahui pelakunya banyak dari orang Islam, dalam kesimpulan saya yang boleh jadi amat sederhana, adalah sebuah ekspresi kegelisahan terhadap arus global yang sudah tak dapat dikompromikan, dan/atau terjadinya degradasi budaya dan moral akibat penetrasi budaya asing.

Gelisah dan prihatin atas terjadinya degradasi moral, sudah seharusnya dimiliki oleh setiap Muslim. Nabi Suci saw. sendiri sampai-sampai melakukan tahannuts berbulan-bulan di Gua Hira, karena gelisah dan prihatin terhadap kerusakan moral. Bahkan, seperti diungkapkan dalam Quran 18:6, beliau hampir-hampir bunuh diri karena menanggung prihatin.

Tentu, bukan berarti Rasulullah saw. sungguh-sungguh akan bunuh diri atau mempunyai niat untuk bunuh diri, melainkan karena kerasnya usaha beliau untuk memperbaiki moral umat, sampai-sampai beliau tak memperdulikan diri beliau sendiri.

Apa tidak begitu? Hidup beliau benar-benar dalam bahaya, ancaman mengintai setiap saat. Sedikit saja lengah, akan berakibat fatal. Tetapi beliau terus maju, seakan-akan menantang maut.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah perlindungan Allah hanya diberikan kepada Nabi Muhammad saw.? Tentu saja tidak. Dalam QS 47:7 misalnya, pertolongan Allah dijanjikan kepada setiap mukmin yang menolong Allah. Makanya Rasulullah saw. mengajarkan doa: “Allahummanshur man nasharad-diina Muhammad saw. waj-’alna minhum ….”

Pada dasarnya Allah tidak membutuhkan pertolongan kita, melainkan kitalah yang membutuhkan pertolongan-Nya, karena Dia Maha Kuasa, Maha Perkasa. Jadi yang dimaksud menolong Allah antara lain seperti yang dikemukakan dalam QS 41:30.

Kata-kata “istaqamu” dalam ayat itu diartikan oleh Maulana Muhammad Ali dalam tafsirnya dengan “terus-menerus tak henti-hentinya pada jalan yang benar”.

Bahwa Islam adalah agama damai, dan memang diturunkan oleh Allah untuk membuat damai, pasti sudah diketahui oleh semua orang. Kondisi damai, dalam Q 2:112 dilukiskan dengan kata-kata “laa khaufun ‘alaihim walaahum yakhzanun” (ketakutan tidak akan menimpa mereka, dan mereka tidak akan susah). Kondisi ini bisa dicapai melalui dua hal, yaitu “aslama wajhahu lillah” (berserah diri sepenuhnya kepada Allah) dan “mukhsinun” (terus-menerus berbuat baik kepada sesama).

Dalam uraian sederhana ini mengisyaratkan bahwa sesuatu atau tujuan yang baik, harus dicapai dengan cara-cara yang baik pula. Kalau kita berjuang untuk Islam, bukanlah untuk kepentingan kita sendiri, melainkan untuk kepentingan orang lain juga, dan bahkan untuk kepentingan “musuh” kita juga.

Maksudnya, kemenangan Islam itu tidak ada pihak yang dikalahkan. Semuanya merasa menang. Contohnya orang-orang kafir Mekah. Meskipun secara lahiriah mereka dikalahkan oleh Rasulullah saw., tetapi mereka tidak merasa dikalahkan, melainkan justru sebagai pemenangnya juga. Jadi sama-sama menang. Itulah keajaiban Islam.

Ada satu hal yang sangat prinsip, bahwa musuh Islam bukan orang, golongan, bangsa, dst, melainkan sesuatu yang tersembunyi di dalam diri manusia itu sendiri. Misalnya: kemusyrikan, kekafiran, kemunafikan, kefasikan, kebohongan, kedustaan, keangkuhan, kesombongan, dst.

Dengan demikian musuh Islam bisa berada di dalam diri non-Muslim dan bisa berada di dalam diri Muslim juga. Makanya Rasulullah saw. memberikan isyarat bahwa musuh terbesar kita adalah hawa nafsu yang tidak terkendali. Oleh karena itu jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu. Nafsu membunuh, nafsu merusak, nafsu memberontak, nafsu membuat onar, nafsu membuat ketakutan (teror), dsb.

Arus globalisasi tidak akan bisa dibendung. Penetrasi budaya asing adalah sebuah konsekuensi logis. Islam sendiri sifatnya global. Islam untuk seluruh umat manusia. Prinsip Islam bahwa manusia itu satu umat (ummatan wahidah). Satu umat, satu bumi, satu Tuhan. Ini manifestasi tauhid. Jadi Islam tidak menolak globalisasi. Bahkan tidak salah jika dikatakan bahwa globalisasi merupakan kehendak Tuhan. Persoalannya kemudian, bagaimana proses globalisasi ini berjalan sesuai dengan fitrah, sesuai dengan Islam.

Menurut saya, yang terpenting sekarang adalah perbaikan internal kita masing-masing. Secara internal kita menghadapi banyak masalah. Berbeda penafsiran saja jadi heboh, pentung berayun, batu melayang, amarah berkobar, bangunan hancur, darah pun mengucur. Naif! Padahal perbedaan adalah sumber kemajuan.

Zaman kita ini adalah zaman Islam. Tidak ada kekuatan sebesar apa pun yang bisa menghalang-halangi, karena ini merupakan rencana Tuhan. Sebaliknya, sesederhana apa pun upaya kita, jika itu dimaksudkan untuk memperjuangkan Islam, pasti berhasil. Sepanjang, cara-cara yang kita lakukan sesuai dengan ajaran Islam, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Adalah suatu kenyataan, kemenangan Rasulullah saw. di Hudaibiyah, yang dikatakan dalam Qur’an sebagai “fath-ham mubina” (kemenangan riil), tidak mememerlukan pedang. Jadi kemenangan di situ adalah lebih pada kemenangan moral.

Pendek kata, kemenangan Islam adalah kemenangan umat manusia seluruhnya, dan tidak ada pihak yang merasa kalah. Barangkali dalam falsafah Jawa adalah “Nglurug tanpa bala, menang tanpa hangasorake”.

Lantas, mengapa kita tidak ber-ittiba’ kepada Rasululllah saw.?[]

Penulis: Mulyono

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »