Diskursus

Telaah terhadap Ahmadiyah Qadiyani

Tulisan di bawah ini adalah Laporan Hasil Studi di Mesjid Jemaat Ahmadiyah Desa Sindang Barang Jero Kecamatan  Gunung Batu Kabupaten Bogor Oleh Saeful Bahri dari Litbang Kementrian Agama

MUI pada tahun 1980 telah memutuskan melalui fatwa No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 bahwa aliran Ahmadiyah adalah sesat dan berada di luar Islam. Fatwa ini diputuskan atas dasar temuan dari kajian MUI terhadap 9 buku tentang Ahmadiyah. Namun sayang, fihak MUI tak dapat menyebutkan buku-buku tersebut.

Rabithah Alam Islami dalam sebuah konferensi organisasi-organisasi Islam di Mekah pada tanggal 14 s/d 18 Rabiul Awal 1394 H mengeluarkan fatwa yang serupa. Kondisi yang tidak ramah terhadap jemaat Ahmadiyah juga terjadi di Malaysia, Brunai Darussalam, yang nota bene negara berpenduduk mayoritas muslim, dan juga Saudi Arabia.

Bahkan di negeri tempat dilahirkannya pergerakan ini sekalipun ia tidak mendapat perlakuan yang ramah. Itulah salah satu faktor penyebab hijrahnya markas pergerakan ini ke London, dan ini melahirkan kecurigaan bahwa pergerakan ini disokong oleh Barat.

Menghadapi kondisi semacam ini, mereka hanya mengatakan ini sudah sunnatullah, karena Nabi Suci Muhammad Mustafa SAW juga mengalami hal semacam ini, sehingga beliau harus pindah dari kampung halamannya menuju Yastrib.

Hal ini yang membuat upaya penelusuran tentang ajaran Ahmadiyah yang dianggap kontroversi oleh sebagian umat Islam menjadi hal penting. Benarkah saudara-saudara kita (orang Ahmadi) telah menjadi kafir karena keyakinannya?

Dalam upaya penelusuran ajaran Ahmadiyah, dalam konteks ini adalah Ahmadiyah Qadiyani, maka perlu diidentifikasi beberapa masalah yang dianggap kontroversi umat. Yakni diantaranya, kenabian Mirza Ghulam Ahmad, kedudukan Tadzkirah bagi orang Ahmadiyah, dan sikap eksklusif orang Ahmadi terhadap saudara muslim lainnya.

Untuk memperoleh data tentang ajaran Ahmadiyah, Alhamdulillah penulis memperoleh beberapa penjelasan dari pengurus Jemaat Ahmadiyah seputar yang dianggap kontroversi menyangkut Ahmadiyah. Upaya ini dilakukan dalam rangka tabayyun (mencari kejelasan) menyangkut beberapa isu kontroversial di atas, yang telah memosisikan Ahmadiyah keluar dari Islam menurut pandangan sebagian orang Islam.

Informasi-informasi yang akan dipaparkan berikut ini, diharapkan dapat memberi pemahaman yang objektif tentang Ahmadiyah, sehingga kita dapat berpikir dengan arif setelah mengetahui alasan yang melatarbelakangi pemahaman mereka.

Latar Belakang Sejarah

Jemaat Ahmadiyah adalah organisasi keagamaan dengan ruang lingkup internasional yang telah memiliki cabang di 178 negara dengan jumlah anggota tidak kurang dari 200 juta, tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia, dan Eropa. 

Jemaat ini didirikan pada tahun 1889 oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) di Qadian, suatu desa kecil di daerah Punjab, Pakistan. Nama pergerakan ini diambil dari salah satu nama nabi Muhammad SAW, yaitu Ahmad dan bukan dari nama pendirinya (Mirza Ghulam Ahmad). Hal ini mirip dengan Muhammadiyah.

Ghulam Ahmad mendakwahkan dirinya sebagai Pembaharu (Mujadid) dan orang Ahmadi menganggap dirinya sebagai Al Masih dan Al Mahdi yang dijanjikan kehadirannya di akhir zaman untuk menyelamatkan manusia dari kesesatan. Itulah sebabnya gelar Masih Mau’ud selalu melekat di depan nama Mirza Ghulam Ahmad.

Gerakan ini lahir termotivasi keinginan pendirinya untuk meremajakan nilai-nilai moral Islam yang pada saat itu telah mengalami kemunduran, dan pola hidup umat Islam sudah hampa dari nilai-nilai spiritual. Dan keluar (non muslim) gerakan ini pun aktif menyangkal tuduhan-tuduhan negatif dari orang-orang non Muslim.

Itulah sebabnya jemaat ini aktif melakukan dialog antar agama di samping aktif menggarap proyek-proyek sosial seperti lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, penerbitan literatur Islam, dan pembangunan masjid.

Setelah wafatnya pendiri jemaat Ahmadiyah pada tahun 1908, maka Jemaat ini dipimpin oleh para khalifah al Masih. Hingga saat ini sudah ada 5 (lima) orang khalifah yang memimpin jemaat ini setelah wafatnya Mirza Ghulam Ahmad, yakni:

  1. Khalifatul Masih I, yaitu Hadhrat Maulana Al-Hajj Hakim Nuruddin r.a. (1908-1914)
  2. Khalifatul Masih II, yaitu Hadhrat Al Hajj Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (1914-1965), dan ia adalah putera kedua Mirza Ghulam Ahmad.
  3. Khalifatul Masih III, yaitu Hadrat Mirza Nasir Ahmad r.a. (1965-1982)
  4. Khalifatul Masih IV, yaitu Hadhrat Mirza Tahir Ahmad r.a. (1982-2003), ia adalah cucu Mirza Ghulam Ahmad
  5. Khalifatul Masih V, yaitu Hadhrat Mirza Masroor Ahmad r.a. Ia memimpin jemaat ini dari tahun 2003 sampai sekarang.

Hingga saat ini Ahmadiyah aktif melakukan kegiatan sosial untuk membantu negara-negara miskin di Afrika dengan program Humanity First, dan juga kegiatan penerjemahan Al Qur’an ke dalam 50 bahasa dunia, dan dakwah melalui penerbitan literatur-literatur Islam.

Dan untuk kepentingan dakwahnya, Ahmadiyah Qadian juga sejak tahun 1994 telah memiliki stasiun televisi global Islam yang bernama Muslim Television Ahmadiyya (MTA) yang dipancarkan ke seluruh dunia selama 24 jam non stop.

Kontroversi Ahmadiyah

1. Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi

Pemahaman dan keyakinan mereka terhadap kenabian Mirza Ghulam Ahmad dilatarbelakangi oleh cara mereka memahami makna khataman nabiyyin. Menurut mereka, arti kalimat tersebut bukanlah berarti Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, sebagaimana diyakini oleh sebagian besar umat Islam, melainkan mengandung pengertian bahwa Muhammad nabi yang paling mulia, artinya segala sifat kemuliaan dan kesempurnaan para nabi terhimpun pada pribadi Muhammad SAW. Nabi Muhammad mereka yakini sebagai stempel para nabi dan sebagai perhiasan para nabi, dan tidak akan ada pernah nabi yang akan dapat menandingi keagungan dan kemuliaan nabi Muhammad SAW.

Dalam menafsirkan hadits-hadits yang mengatakan ana akhirul anbiya dan la nabiyya ba’di mereka berhujjah bahwa nabi itu ada dua, yakni nabi pembawa syariat dan nabi yang tidak membawa syariat. Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir yang membawa syariat, dan pintu kenabian masih tetap terbuka setelah itu, namun nabi tersebut tidak membawa syariat. Di sinilah letak posisi Mirza Ghulam Ahmad, yakni nabi tanpa membawa syariat.

Mereka pun mengutip pendapat beberapa ulama di antaranya:

  • Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi yang menjelaskan dalam Kitabnya Futuhatul Makkiyah, h.3. “Inilah arti sabda Rasullah SAW ‘Sesungguhnya risalah dan nubuwat sudah terputus, maka tidak ada lagi nabi sesudahku yang bertentangan dengan syariatku. Apabila ia datang, ia akan di bawah syariatku‘”.
  • Ali Al-Qari seorang imam besar dari madzhab Imam Abi Hanifah menjelaskan dalam kitabnya Maudhu’at kabiir, h. 69 “Jika Ibrahim (putra Muhammad SAW) hidup, dia bisa menjadi nabi (hadits). Artinya, jika nabi sesudah itu tidak akan hadir lagi, baik nabi syari’ati maupun nabi ummati, untuk apa Rasullah mengeluarkan hadits itu?
  • Imam Abdul Wahab Asy-Syarani dalam kitabnya Al Yawaaqit wal Jawaahir h. 42, menjelaskan “Dan sabda Nabi SAW: ‘tidak ada nabi dan rasul sesudah aku, adalah maksudnya tidak ada lagi nabi sesudahku yang membawa syariat”.

Di samping argumen-argumen tersebut, keyakinan  mereka terhadap kenabian  Mirza Ghulam Ahmad juga didasari atas beberapa nubuwwatan (tanda  kenabian) seperti menerima wahyu (ilham), diperlihatkannya perkara gaib, dan Allah SWT berbicara dengan dia, hal-hal seperti  itulah yang melatar-belakangi keyakinan mereka terhadap kenabian Mirza Ghulam Ahmad.

Sedangkan dari beberapa literatur yang ditulis Mirza Ghulam Ahmad sendiri, penulis tidak menemukan pengakuan Mirza Ghulam Ahmad secara pribadi sebagai nabi. Bahkan secara jelas dia membantah hal itu, ketika dia dinyatakan kafir, murtad oleh beberapa ulama muslim lainnya.

Hal ini dapat kita lihat dari surat Mirza Ghulam Ahmad yang ditujukan kepada Mian Nazir Husain (seorang ulama Delhi) sebagai berikut:

“Tuhan maha mengetahui bahwa aku seorang muslim. Aku beriman kepada segala akidah yang dianut oleh golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah. Aku berpegang teguh kepada kalimah Tayyibah ‘Laa ilaaha Illallah Muhammadur rasulullah’, aku pun mendirikan shalat ke arah kiblat. Aku bukan orang yang mendakwahkan kenabian, bahkan aku beranggapan pendakwa semacam itu keluar dari Islam”.

Yang ada sebenarnya adalah pengakuan dirinya sebagai Al Masih yang dijanjikan kehadirannya di akhir zaman. Pengakuannya ini berdasarkan pemberitahuan dari Allah kepada dirinya yang dia paparkan dalam Al-Khutbah Al-Ilhamiyah, sebagai berikut:

“Dan sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada saya sesungguhnya Isa ibnu Maryam telah wafat. Dan sesungguhnya orang yang turun dari langit itu, maka inilah orangnya, yang berdiri di hadapan kamu sekalian, sebagaimana apa yang telah diwahyukan kepada saya dari Hadirat yang Maha Agung”.

Salah satu misi Mirza Ghulam Ahmad adalah untuk meluruskan paham sebagian umat Islam mengenai akan turunnya Isa Al Masih yang kedua di akhir zaman, yang menurut mereka ini adalah keliru. Persoalan ini bertolak dari pemahaman terhadap ayat 158 dan 159 surat An Nisa yang artinya,

“Mereka (kaum Yahudi) itu tak dapat membunuh dia, dan tak dapat mensalib dia, tetapi disamarkan atas mereka, dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih faham tentang itu adalah di dalam keraguan tentang yang di bunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang orang yang dibunuh itu melainkan mereka hanya mengikuti prasangka belaka dan mereka juga tidak yakin yang dibunuh itu Isa. Tetapi yang sebenarnya Allah telah mengangkat Isa kepada Nya dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Quran Majid, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1987, h. 400-4005)

Pemahaman orang-orang Ahmadiyah menyangkut orang yang disalib itu adalah memang Isa Al Masih yang sebenarnya, dan bukan orang lain yang wajahnya mirip dengan Nabi Isa (Yudas Eskariot) seperti yang dipahami oleh sebagian orang Islam. Kata Syubbiha lahu mengandung pengertian kondisi kritis (pingsan) nya nabi Isa di atas tiang salib, dan ini membuat orang-orang Yahudi yang bermaksud membunuh Isa beranggapan bahwa Isa sudah mati padahal sebenarnya tidak demikian.

Ayat selanjutnya menyatakan bahwa Allah telah mengangkat Isa, pengertiannya adalah Allah mengangkat derajat nabi Isa menjadi mulia, dan ini merupakan jawaban Allah atas motivasi orang Yahudi yang mana mereka meyakini bahwa orang yang mati di atas tiang salib akan menjadi hina dan tidak akan diterima oleh Tuhan.

Berita tentang kehadiran Al Masih di akhir zaman hendaknya ditafsirkan secara ma’nawy bukan lafdzi. Al Masih adalah sosok atau figur yang akan lahir di tengah suasana kehidupan yang jauh dari norma-norma kebenaran, dan ia dengan gigih akan menegakkan kembali kebenaran tersebut.

Kondisi kehidupan pra kedatangan seorang rasul atau nabi selalu dalam suasana kekacauan, dalam situasi seperti ini selalu ada orang yang mengharapkan datangnya juru selamat, namun setelah datang orang tersebut tidak sedikit orang yang mengingkarinya.

Seperti pada 14 abad setelah wafatnya nabi Musa a.s. orang-orang Yahudi sedang menantikan kehadiran Al Masih yang diharapkan dapat menghidupkan kembali syariat Israili. Namun ketika Isa ibnu Maryam datang dan di tunjang dengan beberapa nubuwatan, mereka pun menolaknya dan berusaha untuk membunuhnya. Dan hal itu serupa pun terjadi menjelang kelahiran Muham mad SAW.

Di samping Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Al Masih yang dijanjikan (Masih Mau’ud), maka dia juga mengakui dirinya sebagai Imam Mahdi, karena nabi Isa dan Imam Mahdi adalah dua nama untuk satu pribadi. Keyakinan ini didasari hadith nabi yang berasal dari Anas ibnu Malik, bahwasanya bersabda “Tiada seorangpun (sebagai) al-Mahdi kecuali Isa ibnu Maryam” (HR. Baihaqi dan Al Hakim)

2. Kitab Suci Tadzkirah

Kitab suci orang Ahmadiyah adalah Al-Quran, sama dengan orang Islam yang lainnya. Yang ada sebenarnya terjemah tafsir Al-Qur’an versi mereka. Jumlah juz dan surat sama yakni 30 juz dan 114 surat, perbedaannya hanya dalam jumlah ayat, karena Basmalah oleh mereka dihitung ayat, dengan alasan setiap perkara yang baik hendaklah diawali Basmalah (hadits). Di samping itu mereka tidak mengenal nasikh masukh (proses pencabutan hukum).

Adapun Tadzkirah adalah sebuah buku yang isinya terdiri dari kumpulan ilham/wahyu-wahyu, kasyaf-kasyaf, dan rukya-rukya (mimpi-mimpi yang benar) yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada Mirza Ghulam Ahmad. Istilah Tadzkirah sebagai kitab suci orang Ahmadiyah baru muncul tahun 1992, ketika M. Amin Djamaluddin menulis buku Ahmadiyah  dan Pembajakan Al-Quran. Jadi yang mengatakan Tadzkirah sebagai kitab suci orang Ahmadiyah adalah M. Amin Djamalludin, dan bukan orang Ahmadiyah (wawancara dengan jemaat).

Terbitnya buku Tadzkirah dilatarbelakangi oleh instruksi Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (khalifah II) pada tahun 1935 kepada biro penerangan dan penerbitan Jemaat Ahmadiyah (Nazarat Ta’lif wa Tasshnif) untuk mengumpulkan wahyu-wahyu, kasyaf-kasyaf, serta rukya (mimpi) yang diterima Mirza Ghulam Ahmad yang terdapat dalam berbagai terbitan Ahmadiyah. Untuk kepentingan itu, dibentuklah sebuah panitia yang terdiri dari Maulana Muhammad Ismail, Syekh Abdul Qadir, dan Maulvi Abdul Rasyid. Buku itu kemudian diberi nama Tadzkirah, yang berarti kenangan atau peringatan.

Wahyu atau ilham yang tertuang dalam Tadzkirah ada yang sifatnya mengulang apa yang telah tercatat dalam Al-Quran. Ini terjadi bukan atas kehendak Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, tetapi kehendak Allah SWT sebagai pemberi wahyu. Dalam Al-Qur’an pun ada beberapa kisah umat terdahulu yang terdapat dalam Taurat dan Injil, hanya saja kelemahan Tadzkirah itu mengutip teks Al-Quran secara langsung dan tidak pada konteksnya. Tadzkirah itu mengutip teks Al-Quran secara langsung dan bukan pada konteks nya, dan ini beda dengan Al-Quran ketika mengutip kisah umat terdahulu, maka yang diambil dari kitab terdahulu hanya konteksnya.

Tadzkirah sebagai kumpulan wahyu, menurut mereka, dapat saja turun kepada para nabi, para wali, atau orang-orang yang mempunyai kedekatan secara emosional dengan Tuhannya, sebagaimana dinyatakan Allah dalam surat Haa Mim As Sajadah ayat 31 yang artinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang senantiasa mengucap tuhan kami adalah Allah dan mereka istiqamah akan turun kepada mereka para malaikat seraya berkata janganlah kamu takut dan jangan bersedih serta sampaikanlah kepada mereka kabar gembira bahwa syurga diperuntukkan bagi mereka sesuai dengan yang telah dijanjikan kepada mereka.”

Dari ayat tersebut, jelas bahwa wahyu dapat diterima oleh siapa saja, dengan syarat orang tersebut memiliki derajat keruhanian yang memadai, seperti Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang mempunyai kedekatan dengan Allah SWT.  Di dalam Quran disebutkan beberapa orang yang pernah menerima wahyu, seperti Zulqarnain, ibunda Nabi Musa a.s., dan Siti Maryam. Wahyu yang mereka terima bukanlah wahyu syariat, dan wahyu semacam ini senantiasa akan ada, seperti dinyatakan dalam surat Al A’raf ayat 36. Artinya:

“Wahai anak Adam, kapan saja datang padamu rasul-rasul dari antara kalian sendiri yang membacakan dan menerangkan padamu ayat-ayat-Ku, maka barang siapa di antara kalian yang bertakwa dan beramal saleh, mereka tidak akan takut dan sedih.”

Di dalam ayat itu terdapat kata kerja “ya’tiyanna” bentuknya fi’il mudhari’ yang berfungsi menyatakan perbuatan tersebut masih berlangsung. Jadi proses turunnya wahyu masih berlangsung sampai sekarang, termasuk wahyu yang diterima oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, hanya saja wahyu yang diterima oleh beliau tidak mengundang muatan syariat, karena hal itu telah berakhir dengan diutusnya nabi Muhammad SAW.

3. Sikap Eksklusif Orang Ahmadi

Orang Ahmadi mempunyai masjid sendiri, dan pendiri jemaat ini memang menganjurkan untuk salat di masjid milik jemaat Ahmadiyah. Anjuran pendiri jemaat ini menyangkut hal ini disikapi oleh pengikutnya sebagai doktrin, sikap ini nampak usaha mereka selalu melaksanakan salat di masjid jemaat Ahmadiyah.

Jika mereka tidak mendapatkan masjid tersebut, mereka boleh salat di masjid umum tetapi mufarraqah (tidak bermakmum kepada orang yang bukan Ahmadi). Alasannya, loyalitas makmum terhadap imam sangat penting dalam salat berjamaah bukan masalah teologi.

Masalah pernikahan dengan orang non Ahmadi juga tidak ada larangan, namun masalahnya adalah faktor sekupu dalam pernikahan sangat penting karena hal ini akibatnya keharmonisan dalam suatu rumah tangga.

Dalam organisasi Ahmadiyah setiap anggota ada keharusan menyerahkan infak sebesar 16 % untuk kepentingan organisasi dari pendapatannya setiap bulan. Jika suami dan istri salah satunya bukan orang Ahmadi, jelas ini akan menjadi problem, dan tidak sedikit anggota jemaat Ahmadi yang mengalami problem sehingga akhirnya mundur teratur (keluar) dari jemaat Ahmadiyah.

Hal semacam ini yang menyebabkan adanya himbauan agar orang Ahmadi menikah sesama Ahmadi yang semata-mata demi kepentingan organisasi dan bukan alasan teologis.

Rekomendasi

  1. Budaya tabayyun (cross check) hendaklah dijadikan tradisi oleh kita di dalam menyikapi perbedaan, terutama bagi pihak yang memiliki otoritas dalam mengeluarkan fatwa atau keputusan. Karena fatwa tersebut dapat menjadi alat legalitas bagi sekelompok orang untuk menghabisi kelompok yang dianggap sesat dalam fatwa tersebut. Kasus dipancungnya syekh Siti Jenar, telah memperlihatkan kepada kita bagaimana kekuatan fatwa yang sangat luar biasa.
  2. Kesan tertutup rekan-rekan Ahmadi masih nampak, jika sikap ini tidak diubah maka kecurigaan akan senantiasa ada. Untuk itu hendaklah rekan-rekan Ahmadi bisa lebih terbuka, baik menyangkut pelaksanaan ibadah dan sosialisasi tentang Ahmadiyah melalui tulisan. Selama ini hanya dilakukan di lingkungan internal organisasi saja.[]
Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »