Artikel

Strategi Keumatan Menuju Islam Jaya

photo of crowd of people gathering near jama masjid delhi

Awal abad ke-14 Hijriyah, atau pertengahan abad ke-20 Masehi, seakan-akan dicanangkan oleh umat Islam sebagai abad kebangkitan Islam. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai organisasi Islam yang membawa ide-ide pembaharuan (at-tajdiid fil Islaam).

Ide mengenai kebangkitan Islam ini diilhami dengan adanya kesadaran kesejarahan bahwa Islam pernah menghegemoni dunia selama lebih kurang tujuh abad, terhitung sejak zaman Rasulullah saw. hingga berakhir pada Dinasti Utsmani. Kemudian muncullah upaya-upaya untuk mereformasi berbagai pemahaman keagamaan yang kemudian memunculkan gerakan-gerakan reformasi di tengah-tengah umat.

Ma’rifatul-Islam

Untuk mengenal Islam (ma’rifatul islam), kita dapat menempuh dua cara. Pertama melalui ajaran atau risalahnya, dan kedua melalui pembawa risalahnya, yakni Rasulullah Muhammad saw.

Dalam hal ajaran, Rasulullah saw. bersabda, al-Islamu ya’luu wa laa yu’laa ‘alaih, Islam itu tinggi atau mulia dan tak ada yang lebih tinggi daripadanya. Sabda Nabi ini sejalan dengan firman Allah, innaddiina indallaahil Islam (tiada agama di sisi Allah selain Islam),yang terdapat di dalam Quran surat Ali Imran ayat 19. Bahkan, menurut hemat penulis, Sabda Nabi ini tidak lain adalah pemaknaan semata terhadap ayat Al-Quran itu.

Artinya, secara pendekatan ilmu pengetahuan, Islam adalah agama yang sempurna dan menjadi penyempurna agama-agama terdahulu.

Melalui konsep berpikir seperti ini, maka sesungguhnya umat Islam tidak perlu menganggap dirinya sebagai pihak yang paling berhak diterima amalnya oleh Allah, yang berakibat pada pola kebiasaan berpikir “Islam-lah yang benar, yang lain salah.”

Lantas, berkenaan dengan Nabi Muhammad saw. sebagai pembawa risalah Islam, nama beliau dalam berbagai kajian kesejarahan ditempatkan di urutan pertama, sebagai orang yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia di muka bumi. Dipandang dari pendekatan sosial, Nabi Muhammad saw. juga menunjukkan keberhasilan pada tingkat tertinggi dibandingkan tokoh-tokoh transformasi sosial lainnya.

Tidak ada yang dapat menandingi kesuksesan beliau dari sisi waktu. Hanya lebih kurang 23 tahun, beliau mampu secara gemilang merubah tatanan kehidupan sosial yang paganistik dan barbaristik ke dalam pola kehidupan sosial yang  tertata dan berperadaban.

Misi Islam

Islam diturunkan untuk sebuah tujuan mengatur kehidupan manusia di dunia ini. Ya, di dunia ini, bukan di tempat lain.

Semua ajaran di dalam Islam dimaksudkan untuk perbaikan dan kebaikan hidup dan kehidupan manusia. Baik dalam skala pribadi maupun sosial. Banyak ajaran- ajaran Islam terkait bagaimana berinteraksi sosial, bertetangga, dan berkomunikasi dengan orang lain. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa banyak nilai-nilai Islam yang sesungguhnya menjadi sendi dasar teori sosial, teori ekonomi, dan lain-lain.

Oleh karenanya, sesungguhnya ajaran-ajaran Islam tidak saja bermuatan moral. Tetapi lebih dari itu, di dalamnya terkandung pula visi sosial. Itulah antara lain mengapa, misalnya, Quran menyebut orang yang tidak memiliki kepedulian terhadap sesamanya sebagai “pendusta agama” (QS 107:1-5). Sebab orang yang tidak memiliki kepedulian terhadap sesama tidak sejalan dengan misi keagamaan Islam: menjadi rahmatan lil alamin.

Maka sesungguhnya seorang muslim di dalam  mengamalkan agamanya tidak cukup sekedar berhenti pada cita-cita menggapai sorga bagi diri dan kerabatnya sendiri. Tetapi dia harus melibatkan diri dalam berbagai kegiatan yang memiliki orientasi yang sejalan dengan misi agama Islam di atas.

Dengan kata lain, seorang muslim tidak dibenarkan hanya memiliki kualitas kesalehan pribadi, tetapi dia juga harus memiliki kualitas kesalehan sosial.

Tugas Kekhalifahan dan tanggungjawab keumatan

Dalam Al-Quran kita bisa baca, inni ja’ilun fil ardi khalifah, sesungguhnya Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka Bumi (QS 2:30 ). Jadi, manusia itu diciptakan untuk sebuah misi: menjadi khalifah, yang bertugas untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi (baca pula QS Hud 11:61).

Dengan begitu, di pundak seorang manusia, khususnya manusia muslim, terletak amanat untuk menyelenggarakan kemakmuran kehidupan di bumi ini. Bukan sekedar untuk umat yang seagama, tetapi untuk seluruh umat, bahkan untuk seluruh makhluk ciptaan Allah, atau alam semesta dan segala isinya. Dan itu adalah tugas yang sangat berat, sampai-sampai Quran menyatakan, “bahkan langit, bumi dan gunung-gunung sekalipun enggan memikulnya.” (QS Al-Ahzab 33:72 ).

Maka, misi diciptakannya manusia ini seiring sejalan dengan misi keagamaan Islam. Karena itu, sekali lagi perlu ditekankan, bahwa diturunkannya Islam dan Al-Quran sebagai pedoman yang berisikan petunjuk-petunjuk dari Allah, tentu bukan sekedar untuk tujuan-tujuan yang bersifat pribadi.

Adapun ayat yang menyatakan bahwa tidaklah diciptakannya jin dan manusia kecuali untuk beribadah, adalah spirit bagi seorang muslim di dalam segala aktivtasnya. Jadi, tugas kekhalifahan seseorang harus diberi spirit peribadatan, artinya manusia dengan segala aktivitasnya harus memenuhi unsur peribadatan sebagai seorang hamba dan untuk memenuhi tugas kekhalifahan. Itulah makna tugas keumatan bagi seorang muslim dengan memberi manfaat sebesar-besarnya  (rahmatan lil ‘alamin).

Sebuah upaya strategi keumatan

Sejarah mencatat bahwa kemunduran sebuah komunitas (lembaga, organsasi, negara atau peradaban) selalu dimulai dari dalam komunitas tersebut. Dan hampir dipastikan dari sumber daya manusianya. Oleh karena itu tidak ada strategi yang lain untuk membawa Islam (baca: umat Islam) menuju kejayaan, kecuali peningkatan sumber daya manusia muslim.

Yang harus dilakukan pertama kali adalah membentuk mindset yang benar tentang keberadaan dirinya: apa misi diciptakannya, apa fungsi dan misi agama diturunkan ke muka Bumi.

Islam itu secara keilmuan tidak tertandingi, nabinya juga tak ada bandingannya, tetapi kalau umatnya mindsetnya salah, maka selama itu pula umat Islam tidak akan mengalami kejayaan.

Kalimat-kalimat bahwa di akhir zaman nanti agama Islam akan mengalami kejayaan, umat Islam adalah umat terbaik, semua itu harus dimaknai sebagai sesuatu yang bersyarat, bukan dengan sendirinya. Wallaahu a’lam.[]

Oleh : Jumanto | Ketua Badan Tabligh dan Tarbiyah PB GAI

Naskah disampaikan dalam Jalsah Salanah GAI pada 23-25 Juni 2023 di Yogyakarta

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »