Diskursus

Soal Klaim Kenabian Mirza Ghulam Ahmad dalam Kacamata Iqbal

Nilai kultural dari gagasan tentang Penutup Nabi-nabi (Khatamul-Anbiya’) dalam Islam sudah saya jelaskan secara panjang lebar di tempat lain.
Maknanya sederhana saja: Tidak ada penyerahan diri secara spiritual kepada siapa pun setelah Muhammad, yang membebaskan para pengikutnya dengan memberikan kepada mereka aturan hukum yang praktis karena timbul dari dalam hati nurani manusia.

Secara teologis, ajaran itu adalah bahwa organisasi sosio-politik yang disebut Islam itu sempurna dan abadi. Tidak ada wahyu apapun yang pengingkaran terhadapnya mengakibatkan penyimpangan atau bid’ah sesudah Muhammad.

Orang yang mengakui mendapatkan wahyu seperti itu adalah orang yang tidak patuh kepada Islam. Karena kelompok Qadiani mempercayai pendiri gerakan Ahmadiyyah sebagai penerima wahyu semacam itu, berarti mereka menyatakan bahwa seluruh dunia Islam adalah kafir.

Argumen dan pendiri gerakan itu sendiri, yang mirip sekali dengan argumen ahli Ilmu Kalam Abad Pertengahan, adalah bahwa spiritualitas Nabi Besar Islam itu dianggap tidak sempurna bila ia tidak disempurnakan oleh Nabi lain. Dia menyatakan kenabiannya sendiri sebagai bukti atas kekuatan spiritualitas Nabi Besar Islam itu untuk mengangkat nabi [lain].

Tetapi bila anda bertanya lebih jauh kepadanya, apakah spiritualitas Muhammad mampu mengangkat lebih dari seorang nabi, jawabannya adalah “Tidak”. Ini jelas sama dengan ucapan: “Muhammad bukan nabi terakhir; tetapi sayalah yang terakhir”.

Karena kurang sekali memahami nilai kultural gagasan Islam tentang penutup nabi-nabi dalam sejarah ummat manusia pada umumnya dan ummat manusia di Asia pada khususnya, dia menganggap penutup nabi-nabi, dalam pengertian bahwa tidak ada seorang pengikut Muhammad pun dapat mencapai kedudukan nabi, merupakan tanda ketidaksempurnaan dalam kenabian Muhammad itu.

Setelah saya memahami jiwa pemikirannya, dia sendiri, demi kepentingan tuntutannya sendiri untuk menjadi nabi, memanfaatkan apa yang dilukiskannya sebagai spiritualitas kreatif Nabi Besar Islam itu dan, pada saat yang sama, melepaskan nabi Besar itu dari status “kepenutupannya” dengan membatasi kemampuan spiritualitas kreatifnya hanya untuk mengangkat seorang nabi, yaitu pendiri gerakan Ahmadiyyah itu. Dengan cara inilah nabi baru itu dengan tenang mencuri status “kepenutupan” itu dari orang yang diakuinya sebagai pemberi warisan spiritualnya.

Dia menyatakan diri sebagai buruz Nabi Besar Islam dengan mengemukakan secara tidak langsung bahwa, karena merupakan buruz-nya, berarti “kepenutupannya” jelas merupakan kepenutupan Muhammad; dan karena itu pandangannya tentang hal ini (dianggapnya) tidak melanggar “kepenutupan” Nabi Besar itu.

Dalam mengidentifikasikan kedua kepenutupan itu, yaitu kepenutupannya sendiri dan kepenutupan nabi Besar itu, secara sadar dia mengabaikan makna duniawi dari gagasan Kepenutupan itu.

Namun yang jelas, bahwa kata buruz itu, walaupun dalam pengertian kemiripan yang sempurna, tidak dapat mendukungnya sama sekali; karena buruz pasti selalu berdampingan dengan aslinya. Hanya dalam pengertian reinkarnasi (penitisan) sajalah buruz jadi identik dengan yang asli.

Jadi bila kita menganggap kata buruz berarti “mirip dalam sifat-sifat spiritual” argumen itu tetap tidak efektif; bila, di lain pihak, kita menganggapnya berarti reinkarnasi dari yang asli sebagaimana dalam pengertian bangsa Arya di zaman dahulu,[1] argumen itu baru bisa dikatakan masuk akal; tetapi orang yang mengakui dirinya sebagai buruz itu tidak lain hanyalah seorang Magi[2] yang terselubung.

Status kepenutupan itu lebih jauh dinyatakannya berdasarkan otoritas wali besar Muslim, Muhyiddin ibnu ‘Arabi dari Spanyol,[3] bahwa setiap wali Muslim dapat memperoleh, dalam perkembangan spiritualnya, sejenis pengalaman yang khas seperti kesadaran para nabi.

Secara pribadi saya tidak percaya bahwa pendapat Syaikh Muhyiddin ibnu ‘Arabi ini benar secara psikologik; tetapi seandainya ia benar pun argumen kelompok Qadiani itu sama sekali didasarkan atas kesalahpahaman terhadap pendapatnya yang pasti.

Syaikh itu menganggapnya sebagai keberhasilan atau pencapaian perorangan murni yang tidak, dan dalam hakikatnya tidak dapat, memberi hak kepada wali yang bersangkutan untuk menyatakan bahwa semua orang yang tidak mempercayainya dianggap telah keluar dari kalangan Islam.

Memang, dari sudut pandang Syaikh tersebut, ada kemungkinan lebih dari seorang wali, yang hidup di zaman atau di negara yang sama, bisa mencapai tingkat kesadaran nabi.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa, meskipun secara psikologik mungkin bagi seorang wali untuk mencapai pengalaman kenabian, pengalamannya itu sama sekali tidak memiliki arti sosio-politik yang menempatkannya sebagai inti suatu organisasi yang baru dan memberikan hak kepadanya untuk menyatakan organisasi ini sebagai ukuran keimanan atau kekufuran bagi para pengikut Muhammad.

Dengan mengesampingkan psikologi sufistiknya, dari kajian yang cermat terhadap beberapa bagian relevan dari buku Futuhat [al-Makkiyyah],[4] saya yakin bahwa tokoh besar Sufi dari Spanyol itu adalah orang yang benar-benar percaya terhadap Muhammad sebagai penutup para nabi, sama sebagaimana kepercayaan ummat Muslim ortodoks lainnya.

Dan seandainya dia benar-benar telah melihat dalam penglihatan sufistiknya bahwa pada suatu hari di Timur ada beberapa orang tokoh Sufi gadungan akan menghancurkan kepenutupan nabi Besar [Muhammad] dengan memakai kedok psikologi sufistiknya itu, dia pasti akan mengantisipasi para ‘Ulama India untuk mengingatkan dunia Islam agar menentang orang-orang yang tidak patuh kepada Islam seperti mereka itu.[]

 

Catatan Kaki

[1] Bangsa Arya adalah bangsa atau orang orang dari Asia Tengah yang menyerbu India dari Iran pada sekitar tahun 2000 dan 1500 S.M. (MH)

[1] Magi atau magu (bahasa Persia lama), magha (India), Magos jamaknya Magoi dan Magi (Yunani), Magot (Kitab Perjanjian Baru), dan Majus (Al-Qur’an) adalah sebutan dalam agama Zoroaster dan agama-agama sebelumnya di Persia (Iran) bagi seseorang yang dianggap mendapatkan anugerah atau rahmat Tuhan. (MH)

[1] Muhyiddin ibnu ‘Arabi,yang juga dikenal dengan nama Ibnu Suraqah dan Syaikhul Akbar, dilahirkan di Murcia, Sepanol Tenggara pada tanggal 17 Ramadan 560 H/ 28 Juli 1165 M, dan meninggal di Damaskus, Syria, pada tahun 638H/1240 M. Ibn ‘Arabi adalah tokoh sufi yang sangat berpengaruh hampir di seluruh dunia Islam hingga sekarang. Dia terkenal dengan ajaran wahdatul-wujud-nya. (MH)

[1]  Kitab Futuhat Al-Makkiyyah,yang ditulis oleh Ibnu ‘Arabi di Mekah sejak tahun 598 H hingga tahun 635 H, adalah salah satu di antara dua karya Ibnu ‘Arabi yang paling berpengaruh dan terkenal. Buku lainnya dalam Fusus Al-Hikam, yang diselesaikannya pada tahun 628 H. Jumlah seluruh tulisannya, menurut catatan Ibnu ‘Arabi sendiri ada 289 buah, besar maupun kecil; tetapi kebanyakan telah hilang (MH)

 

  • Dikutip dari Buku: Islam dan Ahmadiyah: Jawaban Terhadap Pertanyaan-Pertanyaan Pandit Jawaharlal Nehru
  • Oleh Sir Muhammad Iqbal
  • Diterjemahkan oleh Machnun Husein (IAIN Walisongo Semarang)
  • Judul asli : ISLAM AND AHMADISM: Replay to Questions Raised by Pandit Jawaharlal Nehru
  • Edisi bahasa Indonesia ini diterbitkan oleh PT BUMI AKSARA Jakarta, Cetakan pertama, Oktober 1991
  • Sumber Online

 

Baca Juga: Relasi Muhammad Iqbal dan Gerakan Ahmadiyah

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here