Artikel

Islam Bukan Hanya Sistem Ritual, Tapi Sistem Hidup

Islam bukan hanya sebuah sistem ritual, melainkan juga sebuah sistem hidup. Sistem ritual yang kami maksud adalah serangkaian praktik peribadatan atau cara-cara menyembah Allah.

Di sebagian masyarakat Jawa, misalnya, hingga saat ini masih ada tradisi-tradisi yang harus dilakukan sebagai sesuatu yang dianggap wajib, misalnya: kenduren, sesajen, dan lain-lain. Bahkan orang seolah merasa berdosa jika tidak melakukan itu. Tetapi dalam banyak kasus, mereka melakukan itu tanpa mengerti maksud dan tujuannya, kecuali sekedar tradisi yang harus dilakukan. Orang sudah merasa tenteram hatinya jika sudah melakukan tradisi-tradisi itu.

Islam tentu bukan sekedar tradisi, atau istilah kami “sistem ritual” seperti itu. Artinya, setiap bentuk peribadatan memiliki tujuan yang amat sangat dalam, terutama pada aspek rohani, meskipun memiliki juga dampak pada aspek-aspek fisik, misalnya terhadap kesehatan, aspek sosial, dll.

Semua praktik peribadatan dalam Islam, sebenarnya semacam pintu gerbang untuk memasuki suatu sistem hidup yang spesifik, yang seharusnya berbeda dengan lain-lain sistem hidup yang ada di sekitar kita, seperti halnya sistem hidup kapitalis, sistem hidup sosialis, dll.

Sistem hidup yang dikembangkan oleh Islam adalah sistem hidup yang seluruhnya mengacu kepada sifat-sifat Allah. Allah adalah rabbu-l ‘alamin, misalnya. Kata Rabb, dalam pengertian ini adalah ‘Yang menciptakan lalu menyempurnakan” (lihat Q.s. Al-A’laa [87]: 2). Secara singkat, maksudnya adalah bahwa Allah selalu berbuat kebaikan atau demi kebaikan dan terus berupaya meningkatkan kebaikan itu sampai tingkat yang sempurna.

Allah adalah pemilik asma’ul khusna (nama-nama [dalam pengertian sifat] yang terbaik), yang jumlahnya tidak terhingga, sama tak terhingganya Dzat Allah itu sendiri, yang merupakan satu kesatuan yang utuh (esa). Sehingga, semua praktik peribadatan dalam Islam berorientasi ke sana.

Secara sederhana, beberapa contoh dapat dikemukakan di sini.

Pertama, Ibadah Shalat. Ibadah ini dimaksudkan untuk membentuk sikap selalu mengagungkan kebesaran Allah, yang berarti, yang memiliki kebesaran itu sesungguhnya hanya Allah. Kalau manusia bisa hebat itu sungguh-sungguh karena kehebatan Allah semata (laa haula wa laa quwwata illa billaah), dan oleh karena itu orang ‘diwajibkan’ untuk mengawali setiap aktivitasnya dengan ucapan “bismillaahirrahmaanirrahiim.”

Kecuali itu shalat juga membentuk sikap rendah hati. Shalat juga mengajarkan kesetaraan. Tidak ada orang yang merasa lebih baik, lebih hebat, dst., karena yang paling baik, paling hebat hanyalah Allah.

Jika shalat berjamaah memiliki nilai pahala yang lebih tinggi, maka dalam praktik hidup berjamaah akan memiliki peluang keberhasilan lebih tinggi juga, sepanjang tidak ada yang merasa lebih hebat dari yang lain: pemilik modal tidak merasa lebih penting dari pekerja, pimpinan tidak merasa lebih penting dari bawahan. Birokrat tidak merasa lebih hebat dari rakyat. Ayah tidak merasa lebih penting dari ibu. Guru tidak merasa lebih penting dari murid, dst.

Keberhasilan hanya akan terwujud jika ada kesetaraan. Dalam shalat berjamaah, imam dan makmum sama-sama pentingnya, pahalanya juga sama. Imam tidak mendapat bonus pahala tersendiri dari Allah.

Adanya kesetaraan yang diajarkan oleh shalat juga akan menuntun kita dalam praktik hidup lainnya, misalnya dalam hal perniagaan. Pembeli tidak merasa lebih tinggi dari penjual, dan sebaliknya. Pembeli tertolong oleh penjual, dan penjual juga tertolong oleh pembeli. Penjual tidak akan merugikan pembeli, sebaliknya pembeli juga tidak mau kalau penjual rugi. Bahkan nonton konser musik atau pertunjukan sepak bola, kalau memang harus bayar, tentu tidak mau gratis.

Kedua, ibadah Puasa. Ibadah ini akan menumbuhkan sikap simpati dan empati atas penderitaan orang lain. Sikap ini tentu akan melahirkan suka menolong orang lain. Dia mampu melakukan puasa karena kekuatan yang diberikan oleh Allah, maka dia menolong orang lain juga bukan semata-mata karena dia sendiri, tetapi yang menolong adalah Allah, meskipun melalui tangan, kaki, atau pikirannya. Allah menolong dia tanpa pamrih, maka dia juga akan menolong orang lain tanpa pamrih.

Ketiga, Zakat. Ibadah ini memiliki banyak aspek. Aspek sosial dan aspek ruhani, paling tidak. Secara sosial sudah sangat jelas. Dalam hal ini yang penting adalah sikap batin. Ketika seseorang mengeluarkan zakat, bukan berarti dia lebih hebat ketimbang penerima zakat. Sikap batinnya adalah: dia mendapatkan harta yang banyak itu karena bantuan Allah semata.

Kalau dia harus bekerja keras untuk mendapatkan harta, kemampuan kerja keras itu karena bantuan Allah. Orang lain, mungkin bekerja lebih keras dari dia, tetapi tidak mendapatkan hasil yang banyak. Ibarat orang menggali sumur, ada yang baru lima atau enam meter dalamnya, airnya sudah melimpah. Sementara orang lain, menggali hingga puluhan meter belum juga menemukan sumber air. Yang tersebut belakangan ini tentu bekerja lebih keras dan lebih lama, tapi hasilnya nihil.

Maka berzakat sesungguhnya hanyalah memindahkan milik Allah kepada orang lain, melalui tangan kita. Aturan 2,5% adalah batas minimal. Di luar itu harus diupayakan dan terus ditingkatkan.

Secara ruhaniah, zakat memiliki nilai yang sangat tinggi. Kalau zakat diartikan “menumbuhkan” atau “menyucikan”, pengertiannya luas sekali. “Menumbuhkan” bisa berarti mengembangkan manfaat dari harta itu. Menyimpan kelebihan uang kebutuhan belanja di brankas, di almari atau di bank, berarti tidak bermanfaat.

Apakah menyimpan uang di bank ada jaminan keamanan? Ternyata tidak juga. Kalau kita sakit dan harus rawat inap di rumah sakit, tabungan kita di bank terpaksa kita ambil (catatan: tetapi sama sekali tidak boleh mengatakan bahwa orang yang sakit berarti tidak berzakat. Sakit, bagi manusia juga sangat penting, sama pentingnya dengan sehat).

Qur’an Suci melarang sifat “musrifin” yang arti harfiahnya “berlebihan”. Istilah itu juga mengandung isyarat bahwa kita tidak boleh menguasai/menyimpan barang, yang sebenarnya tidak kita perlukan, sementara orang lain sangat memerlukan (istilah dalam bahasa Jawa: muspra). Dalam kisah kaum sufi, konon mereka tidak akan menyimpan bahan makan lebih dari kebutuhan sehari, kalau tetangganya masih ada yang tidak bisa makan.

Kata “menumbuhkan” juga berarti bertambah banyak. Ini janji Allah, bahwa orang yang bersedekah dengan ikhlas itu ibarat menanam biji yang tumbuh menjadi tujuh cabang, yang masing-masing terdapat 100 biji. Jadi, kalau kita mendapat harta, sebenarnya karena Allah itu Arrahiim, melipatgandakan kebaikan dari kebaikan yang kita lakukan. Kalau kita menanam sebutir biji mangga, hasilnya bisa ribuan mangga. Itu Rahimiyah Allah.

Zakat bisa berarti “membersihkan”. Pertama, membersihkan harta yang kita kuasai. Mungkin, harta perolehan kita, meskipun kita sudah hati-hati, masih ada juga yang sesungguhnya bukan hak kita. Kedua, membersihkan atau menghilangkan prasangka buruk orang lain. Berprasangka buruk itu dalam banyak hal dosa (Q.s. Al-Hujurat [49]: 12). Kalau kita kaya, biasanya ada orang yang kasak-kusuk bahwa kekayaan kita itu hasil korupsi, dapat warisan, dll. Dengan zakat, sedekah, dll. prasangka buruk itu, insya Allah, tidak akan muncul.

Terakhir, Ibadah Haji. Ibadah ini sungguh istimewa. Boleh dibilang sebagai puncaknya ibadah. Kalau disebut puncak, bukan berarti orang bisa secara tiba-tiba berada di puncak. Artinya, puncak itu harus didaki dari bawah. Beribadah haji itu praktis mengorbankan segala-galanya: harta, tenaga, waktu, dll.

Pendek kata, segala yang bersifat jasmani/materi dikorbankan. Dia menjadi manusia yang terputus sama sekali dengan urusan duniawi. Jika ibadah haji bisa dihayati sampai tingkat seperti itu, maka pertemuan dengan Allah bukan lagi teori, tetapi sunguh-sungguh riil. Jika orang lain menyaksikan kebesaran Allah baru pada tingkat “ilmu”, dia sudah menjadi realita. Tak ada lagi tabir antara dia dengan Allah.

Kita tentu bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila semua jamaah haji kita, sepulang dari Tanah Suci, tetap membawa semangat (ruh) ibadah haji. Berkorban sehebat-hebatnya dengan harta, tenaga, waktu dll. demi kesejahteraan orang lain. wallahu a’lam bish-showab.[]

Penulis: Mulyono | Sekretaris PB GAI

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comments (3)

  1. Islam bukan hanya sebuah sistem ritual, melainkan juga sebuah sistem hidup. Sistem ritual yang kami maksud adalah serangkaian praktik peribadatan atau cara-cara menyembah Allah. Di sebagian masyarakat Jawa, misalnya, hingga saat ini masih ada tradisi-tradisi yang harus dilakukan sebagai sesuatu yang dianggap wajib, misalnya: kenduri, membuat sesaji, dan lain-lain. Orang akan merasa berdosa jika tidak melakukan itu. Tetapi dalam banyak kasus, mereka melakukan itu tanpa mengerti maksud dan tujuannya, kecuali sekedar tradisi yang harus dilakukan. Orang sudah merasa tenteram hatinya jika sudah melakukan tradisi-tradisi itu.

    Islam tentu bukan sekedar tradisi, atau istilah kami “sistem ritual” seperti itu. Artinya, setiap bentuk peribadatan memiliki tujuan yang amat sangat dalam, terutama pada aspek rohani, meskipun memiliki juga dampak pada aspek-aspek fisik, misalnya terhadap kesehatan, aspek sosial, dll. Semua praktik peribadatan dalam Islam, sebenarnya semacam pintu gerbang untuk memasuki suatu sistem hidup yang spesifik, yang seharusnya berbeda dengan sistem hidup-sistem hidup lain. Kita mengenal berbagai sistem hidup itu, misalnya sistem hidup kapitalis, sistem hidup sosialis, dll.

    Sistem hidup yang dikembangkan oleh Islam adalah sistem hidup dan seluruhnya mengacu kepada sifat-sifat Allah. Allah adalah rabbu-l ‘alamin, misalnya. Kata Rabb, dalam pengertian ini adalah ‘Yang menciptakan lalu menyempurnakan” (lihat Q.s. Al-A’laa [87]: 2). Secara singkat, maksudnya adalah bahwa Allah selalu berbuat kebaikan atau demi kebaikan dan terus berupaya meningkatkan kebaikan itu sampai tingkat yang sempurna. Allah adalah pemilik asma’ul khusna (nama-nama [dalam pengertian sifat] yang terbaik), yang jumlahnya tidak terhingga, sama tak terhingganya Dzat Allah itu sendiri, yang merupakan satu kesatuan yang utuh (esa). Sehingga, semua praktik peribadatan dalam Islam berorientasi ke sana.
    =============================RESPOND SAYA.

    Prof Dr HM Quraish Shihab,ahli tafsir terkenal di Indonesia berkata;

    ”Alquran tidak kering. Betapa pun orang membahasnya, setiap saat dia memberikan hal yang baru,”

    Begitu juga ketika ia mempelajari Alquran. Dia bisa menemukan makna baru, rahasia baru yang belum ditemukan oleh orang sebelumnya karena dia bersumber dari Tuhan.”

    Assalamu’alaikum wrwb

    Wahyu2 ALLAH adalah pedoman hidup manusia di bumi ini. Orang2 yang tidak mengikuti wahyu2 ALLAH dlm kitab2Nya yaitu Taurat,zabur,Injil dan Al Quran seperti manusia2 yang tinggal dihutan2 yang tidak berbaju dan tidak tahu mana yang halal dan mana yang haram.Dan tidak tahu siapa yang menciptakannya dan tidak tahu akan ALLAH.
    Mereka hidup dalam kegelapan.

    JADI sistem hidup manusia yang beragama Islam adalah mengikuti kitab2 ALLAH,peraturan2 ALLAH.

    Mengikuti peraturan2 ALLAH artinya mengikuti sunnah Rasulullah saw.

    Seorang bertanya kepada istri Rasulullah saw yang telah meninggal dunia” bagaimana akhlaq rasulullah saw?

    Istri Rasul menjawab; akhlaq rasulullah saw adalah al Quran.

    Inti ajaran Islam itu 6 butir, rukun Islam.
    kalau di perkecil lagi 3 butir yaitu;

    1. Mengajarkan tauhid dan beriman kepada ALLAH yang Esa.
    2. Mengajarkan akhlaq yang mulia yaitu akhlaq al quran.

    3. Mengajarkan membangun keluarga yang sejahtera dan bahagia.

    Demikianlah dari sudut pandang saya mempelajari Islam agama ALLAH,semoga bermanfaat.

    Wassalamu’alaikum wrwb

  2. (2) Puasa.

    Ibadah ini akan menumbuhkan sikap simpati dan empati atas penderitaan orang lain. Sikap ini tentu akan melahirkan suka menolong orang lain. Dia mampu melakukan puasa karena kekuatan yang diberikan oleh Allah, maka dia menolong orang lain juga bukan semata-mata karena dia sendiri, tetapi yang menolong adalah Allah, meskipun melalui tangan, kaki, atau pikirannya. Allah menolong dia tanpa pamrih, maka dia juga akan menolong orang lain tanpa pamrih.

    ============RESPOND SAYA;

    Mari kita lihat dari sudut pandang yang berbeda,semoga bermanfaat.

    Assalamu’alaikum wrwb.

    Selain menimbulkan sifat simpaty kepada orang2 yang tidak makan atau miskin, juga untuk melatih diri;

    1.berdisiplin dengan waktu berbuka dll
    2.melatih diri untuk jujur untuk tidak makan dan minum disiang hari walaupun tidak dilihat oleh orang lain,tapi ALLAH melihat.

    3.Melatih diri atau tubuh menahan lapar,haus dan nafsu sexual dll agar kuat dlm menghadapi setiap perjuangan.

    4.Sesungguhnya berpuasa itu memberikan kesehatan yang lebih baik.

    Wassalamu’alaikum wrwb

  3. 1) Ibadah Shalat.

    Ibadah ini dimaksudkan untuk membentuk sikap selalu mengagungkan kebesaran Allah, yang berarti, yang memiliki kebesaran itu sesungguhnya hanya Allah. Kalau manusia bisa hebat itu sungguh-sungguh karena kehebatan Allah semata (laa khaula wa laa quwwata illa billaah), dan oleh karena itu orang ‘diwajibkan’ untuk mengawali setiap aktivitasnya dengan ucapan Bismillaahirrahmaanirrahiim. Kecuali itu shalat juga membentuk sikap rendah hati. Shalat juga mengajarkan kesetaraan. Tidak ada orang yang merasa lebih baik, lebih hebat, dst., karena yang paling baik, paling hebat hanyalah Allah. Jika shalat berjamaah memiliki nilai pahala yang lebih tinggi, maka dalam praktik hidup berjamaah (net work) akan memiliki peluang keberhasilan lebih tinggi juga, sepanjang tidak ada yang merasa lebih hebat dari yang lain: pemilik modal tidak merasa lebih penting dari pekerja, pimpinan tidak merasa lebih penting dari bawahan. Birokrat tidak merasa lebih hebat dari rakyat. Ayah tidak merasa lebih penting dari ibu. Guru tidak merasa lebih penting dari murid, dst. Keberhasilan hanya akan terwujud jika ada kesetaraan. Dalam shalat berjamaah, imam dan makmum sama-sama pentingnya, pahalanya juga sama. Imam tidak mendapat bonus pahala tersendiri dari Allah. Adanya kesetaraan yang diajarkan oleh shalat juga akan menuntun kita dalam praktik hidup lainnya, misalnya dalam hal perniagaan. Pembeli tidak merasa lebih tinggi dari penjual, dan sebaliknya. Pembeli tertolong oleh penjual, dan penjual juga tertolong oleh pembeli. Penjual tidak akan merugikan pembeli, sebaliknya pembeli juga tidak mau kalau penjual rugi. Bahkan nonton konser musik atau pertunjukan sepak bola, kalau memang harus bayar, tentu tidak mau gratis.

    =================RESPOND SAYA;

    Assalamu’alaikum wrwb.

    Mari kita lihat dari sudut lain–apakah semua setara?

    Hadits;
    Tangan yang barada diatas lebih mulia,dari tangan yang berada di bawah.

    Apa artinya itu?

    Pengusaha2 yang memberikan nafkah kepada pekerja2 lebih mulia dari pada pekerja2.

    Begitu pula,Guru2 yang memberikan ilmunya kepada murid,lebih mulia dari pada murid2 yang menerima ilmu.

    BENARKAH BEGITU?

    Wassalamu’alaikum wrwb

Comment here

Translate »