Artikel

Sikap Muslim Terhadap Non Muslim

“Perbedaan agama esensinya bukan rintangan untuk menciptakan kerukunan, toleransi, tasammuh antar umat beragama. Justru sebaliknya, perbedaan itu merupakan perekat kerukunan, toleransi dan tasammuh.”

Oleh: K.H. Simon Ali Yasir| Ketua PB GAI Periode 1995-1999

Secara teologis, manusia di dalam khazanah Islam dibedakan menjadi dua golongan, yaitu mukmin (orang beriman) atau muslim (orang Islam) dan kafir. Garis pemisahnya adalah kalimat syahadat, yakni pernyataan la ilaha illallah muhammada-rasulullah, tak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah. Siapa saja yang menerima segala kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah orang yang beriman (mukmin) atau orang Islam (muslim), sedangkan yang menolaknya disebut orang kafir. “Non muslim” atau “ghairu muslim” adalah eufemisme (penghalusan kata) semata dari terminologi kafir itu.

Istilah “kafir” sendiri (jamaknya kaafiriin) telah digunakan oleh Al-Qur’an sejak zaman permulaan tahun bi’tsah. Kita bisa membacanya di dalam surat ke-109 dalam mushaf Al-Quran, yang berjudul Al-Kafirun, yang arti selengkapnya demikian:

(1) Katakanlah: Wahai orang-orang kafir. (2) Aku tak menyembah apa yang kamu sembah. (3) Dan kamu juga tak menyembah apa yang aku sembah. (4) Demikian pula aku bukanlah orang yang menyembah apa yang kamu sembah. (5) Dan kamu pun bukab orang yang menyembah apa yang aku sembah. (6) Kamu akan mendapat pembalasan kamu dan aku juga akan mendapat pembalasanku.

Di tempat lain di dalam Qur’an, Allah SWT menjelaskan bahwa kaum kafir itu ada dua golongan, yakni kaum musyrikin dan kaum Ahli-kitab (Alladzina uutul-kitab) (QS Al-Bayyinah, 98:1-4).

Contoh kaum musyrikin adalah kaum paganis Arab di masa permulaan Islam, yang menyembah  banyak berhala dan dewa-dewa, antara lain yang mereka sebut Lata, Uzza, Manat (QS 53: 20-21) dan Hubal. Uzza adalah dewi yang paling dicintai bangsa Arab, sedangkan Hubal adalah kepala berhala-berhala Arab. Di masa itu, penyembahan berhala tidak hanya merajalela di tanah Arab saja, tetapi juga di berbagai penjuru dunia, termasuk di Romawi, Persia, India, dan sebagainya.

Sedangkan kaum Ahlikitab adalah umat beragama non Islam, antara lain yang sering disebut Al-Quran adalah kaum Yahudi dan Kristen (Nasrani), juga Majusi atau Zoroastrianisme (QS 22:17). Kaum Hindu, Buddha, Kong Hu Chu dan Tao, secara esensial juga termasuk kaum Ahli Kitab, karena mereka menganut sebuah Kitab Suci.

Hanya saja, keempat golongan umat ini adalah pengikut para Nabi atau Utusan yang namanya tak disebutkan oleh Al-Quran (4:164). Sementara itu, tiga umat sebelumnya, demikian pula kitab suci mereka, sering disebut oleh Al Quran dan Al-Hadist.

Kata “musyrikin” yang dituju oleh QS Al-Bayyinah ketika itu diturunkan, adalah kaum politheistik Arab. Tetapi kemudian maknanya meluas kepada sekalian umat manusia di dunia yang tak menganut sebuah kitab suci yang diwahyukan, yang dalam Quran Suci disebut Ummiyyin (QS 3:19).

Sedangkan yang dimaksud Ahli kitab (alladzina uutul-kitab) dalam surat itu adalah kaum Yahudi dan Kristen, karena mereka ada di tanah Arab. Lalu maknanya meluas kepada sekalian umat beragama non Islam.

Jadi, Nabi Suci Muhammad saw itu diutus kepada sekalian umat manusia, baik secara etnis dan rasis, maupun secara teologis. Sebab, Rasulullah saw. adalah Utusan kepada sekalian umat manusia (QS 34:28) dan Al-Quran adalah peringatan untuk sekalian bangsa (QS 25:1).

Ciri khas Islam adalah menghormati umat manusia tanpa diskriminasi, sebagaimana penghormatan kepada para Nabi Utusan Allah dari berbagai bangsa. Mereka adalah bersaudara yang ‘dilahirkan’ oleh seorang ibu, tetapi umatnya berbeda-beda. Bahkan Al-Quran menetapkan bahwa mengimani Para Utusan dan Kitab Suci mereka adalah pilar iman di dalam Islam (Rukun Iman).

Fitrah manusia itu beragama

Kini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah sedemikian majunya. Dunia ibarat satu negeri besar. Lewat alat-alat komunikasi canggih seperti radio, televisi dan internet terbuka kesempatan yang luas untuk saling mengenal di antara bangsa dengan bangsa dan diantara umat beragama yang satu dengan umat beragama yang lain, misalnya antara umat Islam dengan Ahlikitab atau umat non Islam.

Kini para cendekiawan dari masing-masing agama berusaha keras untuk menarik umat manusia kepada agama mereka atau setidak-tidaknya untuk menunjukkan keunggulan agama mereka. Bahkan mereka yang tidak beragama pun mempertahankan paham mereka dengan gigih, sehingga paham itu sendiri seakan-akan menjadi suatu agama, misalnya komunisme, sosialisme, dan sekularisme.

Komunisme yang bertentangan dengan fitrah insan itu sudah hampir kiamat dengan bubarnya Uni Soviet Sosialis Rusia (USSR). Sosialisme terus memudar, tinggal sekularisme yang masih nampak berjaya, di samping kapitalisme, anak kandung Kristianitas yang telah terhuyung-huyung karena kerentaannya.

Berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, rasionalitas berkembang, keleluasaan informasi melalui media massa, baik cetak maupun layar kaca, tak terbendung lagi. Akibatnya, pemahaman-pemahaman kehidupan dan doktrin-doktrin agama yang eksklusivistik, seperti extra ecclesiam nulla salus, tak ada keselamatan di luar gereja (versi Islam: yang benar di sisi Allah adalah Islam, lihat QS 3:19), secara berangsur-angsur ditinggalkan umat.

Sebagai gantinya, muncullah teologi inklusivisme, yang antara lain dipelopori oleh teolog katolik Karl Rahner. Pepatah “there are many ways to Roma,” banyak jalan menuju Roma, mirip dengan pepatah Jawa: “kabeh agama pada wae.”

Kedua aliran teologi ini (eksklusivisme dan inklusivisme) ada benaranya, tetapi ada juga kelirunya. Bahkan, kekeliruannya lebih besar ketimbang nilai kebenarannya.

Secara fenomenologis, kedua teologi ini ada benarnya, karena menunjukkan bahwa penganut paham ini adalah umat beragama. Tetapi menjadi keliru, karena paham ini mengisyaratkan sikap israf (berlebih-lebihan atau melebihi batas). Eksklusivisme melahirkan ekstremitas sempit atau fanatisme, sementara inklusivisme melahirkan ekstremitas luas tanpa batas dalam beragama.

Realitas Rububiyah Ilahi

Rububiyah Ilahi berlaku bukan hanya secara jasmani, tetapi juga secara ruhani. Maka dari itu, munculnya kesadaran beragama secara universal, ini menandakan bahwa dunia tengah menuju kepada Islam. Ditengarai dengan fenomena dimana umat agama non Islam mulai meninggalkan doktrin eksklusivitas mereka, dan umat Islam sendiri mulai meninggalkan doktrin-doktrin sektarianitasnya, menuju Islam yang Quranik.

Hal ini merupakan tanda-tanda alam dan zaman. Alam dan zaman memerlukan adanya suatu agama yang benar-benar humanistik dan universal. Keperluan itu terpenuhi lewat Islam, yang salah satu karakteristik risalahnya adalah pluralistik, baik aqidahnya yang bersifat teoritis maupun syariahnya yang bersifat praktis.

Menurut Al-Quran, Allah adalah Rabbul-‘alamin, Tuhan sarwa sekalian alam atau sekalian bangsa. Rabb artinya Yang menciptakan segala sesuatu, yang tidak saja memberikan mata penghidupan dan pemeliharaan, melainkan pula memberikan kemampuan-kemampuan yang tertanam dalam kodratnya. Dalam lingkungan kemampuan ini, Dia menyediakan syarat-syarat agar ciptaanNya meneruskan perkembangannya setapak demi setapak hingga mencapai puncak kesempurnaan.

Atau dengan dengan kata yang relatif singkat: Rabb adalah Yang memlihara hinga sempurna. Manusia di dunia ini seakan-akan adalah banyak anak dari bapak yang satu. Bapak yang tak membeda-bedakan dalam memelihara anak-anak itu, yang menumbuhkembangkan mereka secara evolutif, setahap demi setahap menuju tujuan kesempurnaan.

Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an, Allah bukan saja dikatakan sebagai Dzat Yang memberi makanan jasmani, melainkan pula memberi makanan rohani berupa wahyu kepada sekalian bangsa di dunia lewat seorang Utusan. Sebagaimana dikatakan, “tiap-tiap umat mempunyai seorang Utusan” (QS 10:47), dan “tak ada satu umat pun melainkan seorang juru ingat telah berlalu di kalangan mereka” (QS 35:24). Inilah landasan teologi pluralisme yang sifatnya humanistis, yang senantiasa dicari-cari oleh segenap umat manusia, karena sesuai dengan fitrahnya.

Di samping itu, sifat Allah sebagai Rabbul’alamin itu mengandung arti pula bahwa Allah sebagai Tuhan sarwa sekalian alam memperlakukan sekalian manusia tanpa pilih kasih. Allah mengasihi sekalian manusia dan mengampuni dosa mereka.

Allah membalas perbuatan yang dilakukan manusia, tanpa membeda-bedakan agama dan kepercayaan serta kebangsaan mereka. Allah membalas perbuatan sekalian manusia tanpa pilih kasih, baik Islam maupun non Islam. Seorang Muslim dianjurkan menyatakan “lakum diinukum waliyadin” : bagimu balasan atas perbuatanmu, dan bagiku balasan atas perbuatanku (QS 109:6).

Allah bukan saja memperlakukan manusia tanpa pilih kasih, melainkan pula Dia menciptakan sekalian manusia dari bahan yang sama (QS 4:1). Yang diciptakan dengan struktur yang sama, menurut gambar dan rupa Allah. Keserupaan dicsini bukan keserupaan badaniah seperti Adam dan anaknya (Kej 5:3), melainkan keserupaan kodrati  atau fitriah.  Sebab, manusia dicipakan menurut fitrah Allah, sebagaimana ditegaskan dalam ayat : “Fitrah Allah, Yang Ia menciptakan manusia atas fitrah itu” (QS 30:30).

Dalam berbagai ayat ditegaskan bahwa setelah embrio sempurna, Allah lantas meniupkan ruh-Nya ke dalamnya. Karena itu, manusia hidup karena dhidupkan oleh ruh-Nya (ahyan-nasa biruuhihi). Tanpa ruh Ilahi, manusia mana pun, dan apa pun agama atau kepercayaannya, serta bagaimanapun warna kulitnya, tak akan hidup, baik secara jasmani maupun secara ruhani.

Jadi, kesatuan manusia adalah akibat mutlak dari Keesaan Allah. Hal ini ditekankan oleh Al-Quran dengan kata-kata yang terang, “sekalian manusia adalah umat satu” (QS 2:213), dan “manusia itu tiada lain hanyalah satu umat, lalu terpecah belah” (QS 10:19). Sebab itu itu, agama diturunkan untuk menciptakan kembali kesatuannya.

Esensi agama adalah pemersatu umat manusia, bukan pemecah belah manusia menjadi berbagai golongan, baik secara etnis dan rasis, maupun secara teologis. Cara mempersatukannya bagaimana? Jawabnya: “berbuat baiklah kepada sesama sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kamu, dan janganlah berbuat anarki di muka bumi, karena sesungguhnya Allah tak suka kepada kaum anarkis” (QS 27:88).

Inilah esensi ibadah dalam Islam yang Allah amanatkan kepada umat manusia, dan Allah menganjurkan umat Islam agar menyatakan kepada kaum non Islam: “Wahai kaum non Islam (Kafir)! Aku tak menyembah kepada apa yang kamu sembah, dan kamu juga tak menyembah kepada apa yang aku sembah, dan aku tak akan menyembah kepada apa yang kamu sembah, dan kamu pun bukan orang menyembah apa yang aku sembah  (QS 109:1-5). Lalu diakhiri dengan penegasan keyakinan, “lakum dinukum waliyadin” (109:6).

Ayat terakhir ini sangat signifikan untuk membuktikan kepada dunia modern bahwa Isalm adalah rahmatan lil ‘alamin, karena ayat tersebut merupakan landasan penunaian kewajiban asasi manusia (KAM) yang melahirkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dalam koridor kemanusiaan yang adil dan beradab serta berakhlaqul karimah.

Kata din dalam ayat itu bisa diartikan pembalasan atau juga diartikan agama. Jika kaum kafir telah mengetahui agama yang benar, tetapi mereka menolaknya serta bersikeras menganut ajaran mereka, ya silahkan. Sebab memang “tak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat” (QS 2:256).

Dengan nada yang sama tapi berbeda redaksi, Rasulullah saw. diperintah Allah agar menyatakan: “Kebenaran itu datang dari Tuhan kamu, maka siapa yang hendak beriman silakan beriman, dan siapa yang hendak kufur silakan pula” (18:29). Kelak di hari kemudian, masing-masing mempertanggungjawabkan pilihannya.

Jadi, di dunia ini seharusnya tak ada seorang pun yang ditindas dan dianiaya oleh orang lain karena agama dan kepercayaannya.

Sikap Rasulullah saw terhadap non Muslim

Uraian di atas nampak semakin jelas jika melihat implementasinya sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Suci saw. Kaum kafir Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lain yang semula begitu keras menolak Islam bahkan menentangnya, akhirnya tunduk dan takluk ke dalam pangkuan Islam dengan suka rela.

Perubahan sikap non muslim karena akidah ini sebenarnya telah diisyaratkan dengan jelas dalam surat Al-Kafirun. Kaum Muslimin dan kafir sama-sama sebagai ‘abid, orang yang menyembah. Kata ‘abid adalah isim fa’il, yaitu bentuk kata yang menunjuk kepada pelaku yang kelakuaannya sudah sedemikian mantap dan mendarah daging dalam jiwanya, sehingga sulit untuk diubah, meski dapat diubah.

Hal ini berarti Nabi Suci saw menyatakan kepada kaum kafir bahwa sejak awal mula beliau tidak pernah menjadi penyembah tuhan-tuhan atau sesembahan-sesembahan kaum kafir. Sejak masa kanak-kanak, keyakinan beliau kepada Tuhan Yang Maha Esa telah teguh tertanam dalam jiwa beliau, dan penyembahan berhala yang telah umum dilakukan oleh bangsanya tak beliau sukai.

Dalam ayat “apa yang kamu sembah” dinyatakan dengan kata “maa ‘abad-tum” (ayat 4). Berbeda dengan ayat sebelumnya, “maa ta’buduun (ayat 2). Perbedaannya, kata ‘abad-tum adalah fi’il madhi, kata kerja masa lampau (past tense), sedang kata ta’budun adalah fi’il mudhari’, kata kerja masa kini dan masa datang (present tense & future tense). Hal ini mengandung arti bahwa kaum kafair tak konsisten dalam penyembehana dan pengabdian. Obyek penyembahan kaum kafir hari ini berbeda dengan yang kemarin.

Jika kita perhatikan secara kontekstual, baik dalam konteks histories maupun dalam konteks sastra, sebagaimana strukturnya dalam Mushaf, nampak jelasa bahwa sesembahan kaum kafir adalah sesuatu yang dianggap dapat mendatangkan keuntungan dan menjauhkan kemalangan baginya. Sesembahan itu bisa berupa  alam, manusia, berhala, dan sebagainya.

Sebaliknya, kaum Muslimin senantiasa konsisten dalam pendirian dan akidah, yakni laa a’budu maa ta’buduun, aku tak menyembah apa yang kamu sembah. Pernyataan “aku sembah” atau “aku menyembah” (arabnya a’bud) secara gramatikal adalah fi’il mudhari’  atau kata kerja masa kini dan masa datang (present tense & future tense). Tiga kali tertulis dalam surat ini, yaitu dalam ayat kedua, ketiga dan kelima.

Hal ini mengandung petunjuk bahwa Nabi Suci saw dan umatnya bersikap tegas dan konsisten, bahwa sekarang dan di masa yang akan datang tidak akan menyembah, tunduk atau taat kepada apa yang telah disembah, sedang disembah dan akan disembah oleh kaum kafir atau non muslim.

Dari sini nampak jelas bahwa kerukunan atau toleransi dalam akidah dan ibadah atau teologi antar agama tidak ada, yang ada ialah kerukunan sosial antar umat beragama. Adanya perintah “Qul” artinya katakanlah, fi’il amar (kata kerja perintah) ini menekankan betapa pentingnya pokok masalah yang dibicarakan. Berulangkali kata itu dinyatakan dalam Quran Suci, tepatnya sampai 332 kali, yang mengisyaratkan agar umat Islam menyatakan dengan tegas dan jelas, tetapi arif bijaksana, terhadap kaum kafir perihal ini.

Jadi perbedaan agama esensinya bukan rintangan untuk menciptakan kerukunan, toleransi, tasammuh antar umat beragama. Justru sebaliknya, perbedaan itu merupakan perekat kerukunan, toleransi dan tasammuh. Sebab perbedaan itu rahmat.

Esensinya, “Lawan akidah adalah kawan dialog dan lawan pendapat adalah kawan berfikir.” Ini selaras dengan sabda Nabi Suci saw., “Ikhtilafu ummati rahmah”, artinya “perbedaan di antara umatku adalah rahmat” (Jami’ush-Shaghir).

Sekalian umat manusia adalah umat dakwah Nabi Suci saw. Oleh karena itu, dialog teologi yang selama ini dikunci rapat oleh para penguasa dan pembesar duniawi, dengan alasan demi persatuan dan kesatuan bangsa atau umat, sudah waktunya untuk dibuka kembali, untuk melenyapkan kekafiran terhadap humanitas religius (Islam).

Untuk keperluan ini Gerakan Ahmadiyah telah memberikan buku panduan, berupa tafsir Quran dalam berbagai bahasa dan buku-buku perbandingan agama.

Sikap Gerakan Ahmadiyah terhadap non Muslim

Kita bersyukur ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya kita menjadi Muslim Ahmadi, pengikut Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Masih dan Mahdi, Imamuzzaman zaman akhir. Lewat beliau kita menemukan hakikat Islam sebenarnya yang selama ini tersembunyi, terutama tentang sikap muslim terhadap non muslim.

Mutiara ini sebenarnya telah tercermin dalam diri Nabi Suci saw, baik dalam nama maupun sejarah hidup beliau. Nama diri beliau yang termaktub dalam Qur’an Suci adalah Ahmad dan Muhammad. Nama Ahmad diberikan oleh ibunda beliau, Siti Aminah, sedang nama Muhammad diberikan oleh kakek beliau Abdul Muthalib.

Kedua nama beliau itu berasal dari akar kata hamida, yahmadu, artinya memuji. Nama Ahmad artinya aku memuji atau yang terpuji, sedang nama Muhammad artinya yang terpuji. Nama Ahmad, dalam arti memuji, mengandung arti sifat jamali, yakni sifat keindahan dan keelokan budi pekerti, yang beliau terapkan dalam sejarah hidup beliau di Mekah. Sedangkan nama Muhammad mengandung sifat jalali, yakni sifat keagungan dan kemuliaan, yang beliau jabarkan dalam sejarah hidup beliau di Madinah.

Berkenaan dengan hidup keagamaan, nama Ahmad dengan sifat jamalinya penerapannya bersifat horizontal-sosial, sedang nama Muhammad dengan sifat jalalinya penerapannya bersifat vertical-teologial, yang tak mengenal toleransi.

Hal ini menjadi jelas tercermin dalam pernyataan madzhar beliau, Imamuzaman Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dalam kitabnya Arba’in :

“Aku ingin menyatakan kepada seluruh orang Muslim, Kristen, Hindhu dan Arya, bahwa aku tidak punya seorang musuh pun di dunia ini. Aku mencintai seluruh umat manusia laksana seorang ibu pengasih terhadap anak-anaknya, bahkan lebih daripada itu. Aku hanya jadi musuh bagi kepercayaan-kepercayaan batil yang merusak dan melemahkan kebenaran. Cinta terhadap manusia adalah kewajibanku. Dan berlepas diri dari bohong, syirik, aniaya dan berlepas diri dari segala perbuatan yang jelak dan akhlak yang buruk adalah pendirianku”.

Akhirnya akan menjadi lebih jelas lagi sikap Gerakan Ahmadiyah terhadap sesama manusia, inklusif terhadap non muslim, jika kita perhatikan Janji Sepuluh yang diucapkan oleh setiap warganya setelah mengucapkan bai’at, yang bunyinya sebagai berikut :

  1. Selama hidup, tak akan berbuat dosa syirik (yaitu menyembah Tuhan selain Allah)
  2. Akan menyingkiri segala macam kejahatan, seperti misalnya: berdusta, berzina, memandang orang lain dengan nafsu birahi, khianat, sewenang-wenang, mengacau dan berbuat bencana, lagi pula tak akan tunduk kepada meluapnya hawa nafsu.
  3. Akan tekun menjalankan salat lima waktu sebagaimana diperintakan Allah dan Rasul-Nya, dan dengan sekuat-kuatnya akan menjalankan salat tahajjud, dan memohonkan rahmat atas Nabi Suci (sHolawat)m, memohon perlindungan dari pada dosa (istigHfar), mengucapkan syukur atas nikmat Ilahi (tasyakur), memuji dan memahasucikan Allah (takHmid dan tasbih).
  4. Tak akan menyakiti sesama manusia, teristimewa kaum Muslimin, baik dengan tangan, lisan ataupun dengan cara-cara lain.
  5. Akan tetap setia kepada Allah, baik diwaktu senang maupun susah, baik waktu kecukupan maupun kesempitan, di waktu sehat maupun sakit, dan dalam keadaan bagaimanapun akan tetap tawakkal kepada Allah, dan akan menghadapi segala kesukaran dan kehinaan di jalan Allah dengan gembira, di saat-saat derita tak akan mundur selengkahpun bahkan semakin menguatkan tali pengikat dengan Allah.
  6. Akan menjauhkan diri dari kelakukan buruk atau menuruti ajakan nafsu daging, dan akan mentaati sepenuhnya segala perintah Qur’an Suci, dan akan menjunjung tinggi sabda Allah dan Rasul-Nya sebagai pedoman hidup.
  7. Akan menjauhkan diri dari kesombongan, dan sebaliknya, akan hidup dengan andap asor, rendah hati dan lemah lembut.
  8. Akan menjunjung tinggi kehormatan agama Islam, melebihi apa saja, bahkan melebihi jiwa, harta, takhta, anak dan saudara.
  9. Akan mencintai sesama manusia demi cinta saya kepada Allah; dan dengan sekuat-kuatnya hendak menggunakan nikmat pemberian Allah untuk kebahagiaan ummat manusia.
  10. Akan mentaati perjanjian ini sampai mati, dan dengan segala keikhlasan akan meneguhkan tali persaudaraan ini, lebih kuat daripada ikatan keluarga dan ikatan lain-lainnya.

Jika karakter demikian dianggap sesat, di dunia ini kaum Ahmadi adalah yang paling sesat![]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comments (1)

  1. Assalamu’alaikum wrwb

    Untuk lebih jelas melihat Nabi Muhammad saw dari waktu mudanya sampai wafatnya..menambah ilmu kita…

    Lanjutkan di VIDEO ini by Rageh Ommar.

    http://muslimbertaqwa.blogspot.com/p/secular-islam.html

    with love

Comment here

Translate »