Shalat dapat dijalankan dalam dua cara. Pertama dilakukan secara sendiri (munfaridl). Kedua, dilakukan secara berjama’ah, yang sedapat mungkin dilaksanakan di masjid.
Shalat yang dilakukan secara sendiri bertujuan untuk dapat mengembangkan batin pelakunya, dan berdampak hanya terhadap diri pribadi sang pelaku. Sedangkan shalat yang dilakukan berjama’ah mempunyai tujuan lebih dari itu, yakni menjadi sumber kekuatan yang ampuh untuk mempersatukan umat manusia.
Bagaimana tidak. Berkumpulnya orang yang hidup di satu kampung sebanyak lima kali dalam sehari di masjid, ini dapat membantu tegaknya relasi sosial yang sehat di antara mereka.
Dalam shalat berjama’ah sehari-hari, relasi semacam itu boleh jadi masih terbatas dalam lingkungan yang hanya terdiri dari para tetangga yang hidup dalam satu lingkungan saja.
Tetapi dengan adanya shalat Jum’at, yang dilaksanakan seminggu sekali, lingkungan relasinya bertambah luas, karena yang berkumpul terdiri dari kaum Muslimin dari beberapa kampung. Dan relasi itu menjadi lebih luas lagi ketika berkumpulnya kaum muslimin pada waktu melaksanakan shalat ‘Idul Adha atau ‘Idul Fitri.
Jadi, shalat berjamaah dapat menjadi sarana menyehatkan relasi sosial antar berbagai golongan masyarakat. Bahkan ada yang jauh lebih penting yang bisa diciptakan melalui shalat berjama’ah, yakni lenyapnya perbedaan atau kasta sosial di dalam masyarakat.
Ketika kaum Muslimin masuk ke dalam Masjid, maka masing-masing akan merasakan suasana persamaan dan cinta kepada sesama manusia. Mereka berbaris menyatu bahu bertemu bahu menghadap Sang Khalik.
Seorang raja atau pejabat pemerintah berdampingan dengan rakyat biasa. Seorang kaya yang berpakaian mewah berdampingan dengan pengemis yang berpakaian sederhana. Si kulit putih berdampingan dengan si kulit hitam.
Seorang raja, pejabat, atau pun orang kaya bisa berdiri di shaf paling belakang. Hatinya bersujud di hadapan Allah, tetapi kepalanya bisa berada di bawah kaki seorang pengemis atau pun di belakang rakyat jelata yang berada di shaf depannya.
Keadaan ketika shalat berjamaah berlangsung tak mengenal adanya kasta sosial. Tak ada yang berkedudukan tinggi maupun yang berkedudukan rendah. Perbedaan kekayaan, pangkat, kedudukan, warna kulit dan sebagainya hilang seketika di dalam masjid.
Yang terasa di tempat suci itu hanyalah suasana persaudaraan, kesetaraan, persamaan dan saling cinta. Suasana yang boleh jadi berlainan sama sekali dengan dunia di luar masjid.
Bukankah akan terasa nikmat sekali dapat bernapas lega selama lima kali sehari dalam suasana damai di tengah dunia yang penuh kontestasi, dan menikmati kecintaan yang meluap-luap di tengah dunia yang penuh kedengkian dan permusuhan?
Sungguh nikmat yang luar biasa, jika kita bisa mengaktualisasikan ajaran hidup yang luhur ini.
Manusia seringkali harus melaksanakan berbagai aktvitias duniawi di tengah-tengah suasana kedengkian dan permusuhan. Tetapi, sebanyak lima kali sehari, ia dapat sejenak berlepas diri dari suasana itu, dan kemudian menikmati nuansa baru dalam semangat persaudaraan, kesetaraan dan kecintaan. Suatu nuansa yang menjadi sumber kebahagiaan sejati umat manusia.
Oleh karenanya, waktu yang digunakan untuk shalat sesungguhnya bukanlah waktu yang sia-sia. Bahkan, jika waktu shalat itu dipergunakan sebaik-baiknya untuk meresapi ajaran hidup yang luhur itu, maka waktu itu akan menjadi penuh arti bagi nilai kemanusiaan.
Terlebih lagi, apabila ajaran luhur tentang persaudaraan, persamaan dan kecintaan dalam suasana shalat berjamaah itu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, maka hal itu akan berfaedah dalam upaya menciptakan peradaban abadi manusia yang berlandaskan persatuan.
Dan sungguh, tujuan shalat berjama’ah lima kali sehari itu, antara lain adalah agar umat dapat mempraktekkan teori dan konsepsi tentang persamaan dan persaudaraan, yang menjadi inti sebenar-benarnya dari ajaran Islam.
Betapa pun kerapnya Islam mengajarkan tentang persamaan dan persaudaraan, jika tak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh para penganutnya, maka ajaran itu hanya akan tetap menjadi huruf-huruf mati belaka.
Dan shalat berjama’ah lima kali sehari, adalah sarana efektif untuk mempraktikkan ajaran Islam yang luhur itu.
(Sumber: Buku Islamologi, Maulana Muhammad Ali)
Comment here