Untuk bisa mendapatkan gambaran yang jelas mengenai perkembangan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI), perkenankanlah kami, dalam peringatan Seperempat Abad PIRI ini, membeberkan riwayat PIRI sejak berdirinya hingga saat ini.
Kami pandang hal ini perlu kami utarakan agak mendetail, agar supaya penerus PIRI di kelak kemudian hari dapat merasakan suka dukanya leladi (mengabdi) kepada Allah, yang diwujudkan dalam segala tindakannya, supaya selalu hati-hati, waspada dan bijaksana.
Marilah kita mulai riwayat itu.
Perguruan Islam, bukan Perguruan Ahmadiyah
Pada Bulan Mei tahun 1947, Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), Ahmadiyah beraliran Lahore, dalam Muktamarnya di Purwokerto, antara lain memutuskan, “Menambah langkah dan tugasnya menyiarkan keindahan Islam dan mempertahankan kebenaran Islam, dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah.”
Putusan ini diambil mengingat adanya perubahan ketatanegaraan di negara kita, dari negara jajahan menjadi negara merdeka. Pada zaman penjajahan Belanda dahulu, GAI dalam melaksanakan tugasnya menyiarkan Islam dan mempertahankan Islam, terbatas hanya mengeluarkan buku-buku agama Islam dalam bahasa Belanda.
Mengapa demikian? Pada waktu itu, kaum terpelajar kita yang telah biasa minum susu Eropa, lebih suka membaca atau mempelajari buku-buku yang ditulis dengan Bahasa Belanda. Kepada Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah, apalagi Bahasa Arab, mereka segan membacanya. Ibarat sawah, mewujudkan tanah kosong yang tak terpelihara.
Hal ini diinsyafi benar-benar oleh GAI. Maka untuk mencukupi kebutuhan itulah, GAI mengeluarkan buku-buku agama Islam dalam bahasa Belanda, besar dan kecil.
Adakah buahnya? Hati yang jujur tentu dapat melihat dengan mata kepala sendiri dan mau mengakuinya. Beberapa kaum terpelajar kita, yang pada permulaan Indonesia merdeka memegang pemerintahan sebagai wakil dari organisasi Islam, beliau-beliau itu telah mempunyai hubungan batin yang erat dengan GAI, karena kebanyakan telah mempelajari buku-buku agama Islam berbahasa Belanda.
Di antara buku-buku itu adalah De Heilige Qur’an, De Religie Van den Islam, Muhammad de Propheet, Hetgeheim van Het Bestaan, Het Geloof aan God, dan lain-lain. Semua buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Bapak Sudewo. Di antara kaum terpelajar kita itu, ada juga karena keyakinannya, lalu bai’at menjadi anggota GAI, kemudian aktif menyiarkan Islam dan mempertahankan Islam, dengan segala tenaga, fikiran, dan hartanya.
Setelah Indonesia merdeka, Muktamar GAI memutuskan menambah penyiaran Islam dengan mendirikan sekolah-sekolah. Maka anggota GAI yang ada di Yogyakarta berniat mempelopori dan merealisir Putusan Muktamar itu, dengan mendirikan sekolah-sekolah.
GAI itu anggotanya tidak banyak. Harta kekayaan pun tidak punya. Padahal, mendirikan sekolah itu biayanya cukup besar. Tetapi anggota GAI jiwanya cukup kuat. Semangat penyiaran Islam menyala-nyala dalam dadanya. Keyakinan akan kebenaran Islam yang ditanamkan oleh Mujaddid abad 14 Hijriyah, berkobar-kobar tak kunjung padam.
Ketua PB GAI, Bapak H. Minhadjurrahman Djojosoegito, mempelopori mengadakan rapat persiapan membentuk Panitia, bersama-sama dengan Bapak Supratolo, Bapak Ali Murni Partokusumo, Bapak Surono Citro Sancoko, dan saya sendiri (Ibu Kustirin).
Karena pada dasarnya GAI itu lebar dada, artinya mempunyai pegangan, “barang siapa mengucapkan kalimat syahadat adalah saudara kita di dalam Islam,” maka dalam rapat persiapan itu diputuskan, akan mengajak simpatisan GAI untuk duduk dalam panitia.
Setelah kami hubungi Sdr. Abbas Sutan Pamucuk Nan Sati, Sdr. Arifin Temiyang, Sdr. Sutan Muh. Said, Sdr. R. Ahmad Mertosono, dan Sdr. KRT. Taniprojo, semua menyediakan diri duduk dalam Panitia, dengan segala keikhlasan hati.
Berkali-kali Panitia mengadakan rapat. Waktu membicarakan nama sekolah, pertukaran pikiran dan pembicaraan agak lama. Dari pihak kita menghendaki nama Ahmadiyah dicantumkan, sehingga nama sekolah itu menjadi: Perguruan Islam Ahmadiyah Indonesia. Tapi dari pihak satunya menghendaki nama Ahmadiyah tidak dicantumkan. Khawatir, kalau-kalau sekolah itu tidak dapat murid, karena masih masih banyak orang yang benci kepada Ahmadiyah.
Oleh karena tugas Ahmadiyah itu menyiarkan Islam, yang berarti nama Islam lebih diutamakan, akhirnya panitia mendapat kata sepakat dengan nama: Perguruan Islam Republik Indonesia, disingkat PIRI.
Berdirinya Sekolah PIRI Yang Pertama
Karena GAI tidak memberikan modal satu sen pun, maka panitia berusaha untuk berdikari. Kerjasama yang baik antar Panitia menyebabkan segala sesuatu dapat berjalan dengan lancar dan baik.
Sekolah yang akan dibuka terlebih dahulu ialah SMP dan SMA. Pendaftaran pun dimulai. Maka mulailah pula Panitia mencari tempat, dengan menghubungi Kepala Sekolah Negeri, untuk meminjam ruangan pada sore hari.
Untuk pertama kali, pada 1 September 1947, dibukalah SMP PIRI, bertempat di gedung SMP I Terban Taman, diselenggarakan pada sore hari. Panitia juga membuka pendaftaran untuk SMA PIRI Bagian A & B, Kelas I, II dan III.
Pada bulan Oktober 1947, SMA PIRI bagian A & B dibuka dengan resmi, bertempat di gedung SMA Bagian A Negeri (sekarang SMA VI-C) di Terban, diselenggarakan pada sore hari. Seluruh kelas yang ada ditempati, atas persetujuan dari Sdr. R Sumadi, Kepala SMA Bagian A Negeri di Jl. Pakem 2. Izin resmi kita terima juga dari kepala bagian alat-alat pelajaran/gedung-gedung Kementrian P.P&K tgl. 26 Mei 1949 No. 8951/Pts/E/G/1950.
Karena banyaknya pengungsi dari daerah pendudukan Belanda, maka di tahun ajaran 1948/1949, yaitu tahun kedua sekolah PIRI berdiri, SMP dan SMA PIRI kebanjiran murid-murid. SMA PIRI yang ada di Jl. Pakem 2 melebar ke Jl. Janti, menempati ruang kelas SGP Negeri di Jl. Janti 2. Sehingga, SMA PIRI Bag. A menempati seluruh ruang kelas SMA Bag. A Negeri di Jl. Pakem 2, dan SMA PIRI Bag. B menempati ruang kelas SGP Negeri, Jl. Janti, sebanyak 5 Kelas.
Adapun SMP PIRI, yang menempati gedung SMP Negeri I Terban Taman, dipindahkan ke gedung SMP Putri Negeri di Kota Baru. Kebetulan yang memegang pimpinan SMP Putri adalah Sdr. Alimurni Partokusumo, sehingga SMP PIRI dapat pindah ke tempat yang baru itu dengan mudah, dan bisa menempati 12 ruangan kelas.
Sekolah Perguruan Islam Ahmadiyah Indonesia (PIAI)
Pada permulaan tahun ajaran 1948/1949, yaitu pada tahun ajaran kedua itu, GAI dengan sepengetahuan Panitia juga membuka sekolah yang mencantumkan nama “Ahmadiyah” di dalamnya, yakni “Perguruan Islam Ahmadiyah Indonesia” (disingkat PIAI).
Bapak Djoyosugito, dibantu oleh bekas teman sekolahnya di Kweekschool, yakni Bapak Pinandoyo, membuka SGA dan SMA Pendidikan PIAI untuk kelas I, bertempat di gedung SKP Negeri Lempuyangwangi pada sore hari. Juga SMP PIAI untuk kelas I, bertempat di gedung SR Negeri Lempuyangwangi pula. Sekolah PIAI itu hanya khusus menerima siswa untuk kelas I, dengan maksud ingin memberikan pendidikan yang lebih teratur, terutama pendidikan agama Islam.
Adapun sekolah-sekolah PIRI yang dipegang oleh Panitia, memang dimaksud menampung pengungsi-pengungsi dari daerah lain pendudukan Belanda. Maka dari itu diteriamanya untuk semua Kelas I, II, dan III.
Sekolah SGA dan SMA Pendidikan yang dipegang oleh GAI sendiri (PIAI) dapat bantuan dari pemerintah masing-masing Rp 654 dan Rp 700 tiap bulan. Sedangkan SMA bagian A dan B PIRI, yang dipegang oleh Panitia, diberi bantuan Rp 3.345 tiap bulan oleh Pemerintah (Kementerian P.P. dan K waktu itu). Ini berarti, sekolah-sekolah dari dua Perguruan itu diakui sah, meskipun bantuannya tidak banyak.
Untuk pertama kali, kita memajukan anak didik kita dari SGA Negeri pada akhir tahun ajaran 1950/1951. Dari 22 siswa, lulus 20 orang, berarti 91% lulus. Alhamdulillah, siswa SGA merasa belum puas dengan ujian persamaan, minta juga agar dapat mengikuti ujian SGA Negeri yang lengkap. Padahal, pendaftaran ujian SGA Negeri sudah tutup.
Tapi kita dengar Sdr. R. Ahmad Mertosono memegang pimpinan di SGA Negeri Semarang. Beliu perintis PIRI juga. Kita mencoba menemui beliau di SGA Negeri Semarang, di Candi Baru. Kita rundingan bersama mengenai nasib dari anak didik kita yang ingin mengikuti ujian SGA Negeri, tetapi pendaftaraanya sudah terlambat itu.
Kita pertimbangkan masak-masak. Akhirnya luluhlah hati Sdr. R. Ahmad Mertosono, Kepala SGA Negeri Semarang itu. Dia kemudian mengizinkan anak didik kita mengikuti ujian SGA Negeri di Semarang. Malahan, para siswa laki-laki diberi tempat penginapan di Asrama SGA Negeri di Candi Lama, sementara anak-anak wanita mendapatkan penginapan di Asrama Kartini.
Dari 15 anak yang mengikuti ujian akhir di SGA Negeri Semarang itu, dapat lulus 12 orang. Berarti 80% lulus, alhamdulillah. Karena Syukur kami ke hadirat Allah SWT, maka kita bergambar pada tanggal 20 Januari 1952 di rumah kami di Cokrokusuman 3 Jetis Yogyakarta, dan makan-makan kecil.
Setelah para siswa SGA meluluskan ujiannya, maka tinggallah SMA Pendidikan yang ada di SKP Negeri Lempuyangwangi.
Pasca Agresi Militer Belanda II
Pada bulan Desember 1948, tentara Belanda menyerbu kota Yogyakarta. Sekolah-sekolah PIRI ditutup. Murid-muridnya ada yang memanggul senjata masuk Tentara Pelajar, berjuang bahu-membahu dengan TNI. Ada pula yang menyusup kembali ke kampung halamannya mengikuti orang tuanya.
Kota Yogyakarta menjadi kancah pertempuran antara tentara RI dan tentara Belanda. Pada malam hari kota Yogyakarta dikuasai oleh pihak RI dengan serangan gerilyanya yang bertubi-tubi, yang pada siang hari dikuasai oleh Tentara Belanda.
Karena kuatnya serangan dari pihak RI yang tidak mengenal lelah dan tidak kenal menyerah itu, rupa-rupanya lama-kelamaan pihak Belanda merasa terdesak. Akhirnya pada tanggal 19 Juni 1949, Tentara Belanda mulai mungundurkan diri ke Magelang, terus ke Semarang.
Tentara RI yang dipimpin oleh Sri Paduka Sultan Hamengku Buwono IX, dengan berkendaraan Jeep, masuk kota Yogyakarta. Meskipun Tentara RI dalam hal pakaian, perlengkapan dan alat senjatanya, serta jumlahnya, tidak seimbang jika dibandingkan dengan Tentara Belanda, ibarat bumi dengan langit, tetapi Tentara RI masuknya ke Kota Yogyakarta dengan penuh semangat, riang gembira membawa kemenangan gilang-gemilang. Rakyat bersorak sorai menjemput kedatangan tentara kita. Alhamdulillah.
Setelah Yogya kembali, mulailah desakan dari kanan-kiri untuk membuka kembali sekolah-sekolah PIRI. Dari Sdr. Abbas Sutan Pamuncak Nan Sati, Arsip-arsip PIRI telah diserahkan kepada kita, karena beliau akan ikut konvoi pindah ke Jakarta.
Mulailah kita mempersiapkan diri membuka sekolah-sekolah PIRI. Pendaftaran dimulai. Setelah pendaftaran memenuhi jumlahnya, maka pada tanggal 1 Agustus 1949, SMA Bag. A & B PIRI dibuka kembali, dijadikan satu di gedung SMA Bag. A Negeri di Jl. Pakem 2.
SGA dan SMA Pendidikan PIRI juga dibuka di gedung SKP Negeri Lempuyanganwangi. Jumlah murid SMA Pendidikan kelas I sebanyak 40 orang, dan SGA kelas II sebanyak 30 orang. Sementara itu, SMP PIRI dibuka di gedung SR Lempuyanganwangi, dengan jumlah murid kelas I 40 orang dan kelas II 40 orang. Murid-murid kembali belajar dengan tenang.
Pada 1 November 1950, SMA PIRI Bag. A & B di Jl. Pakem 2 dipindahkan ke Jl. Serayu 4 di gedung SMP V, karena sekolah itu pada sore hari akan dipergunakan sendiri oleh SMA Bag. A Negeri II, yang sedianya di Jl Serayu 4.
Pada Tahun Ajaran 1952/1953, SMA Pendidikan PIRI yang ada di SKP Lempuyangwangi dipindahkan, dijadikan satu dengan SMA PIRI di Jl. Serayu 4. Lalu pada bulan Maret 1959, dipindahkan lagi dari Jl. Serayu 4 ke Baciro, menempati gedung kepunyaan PIRI sendiri, diselenggarakan pada sore hari.
SMA PIRI mendapat subsidi penuh mulai tahun ajaran 1956/1957, dengan Sp. Tgl 6-11-1956 No. 83065/B sebesar Rp. 10.400, terhitung mulai Agustus 1956. Atas inisiatif Sdr. Kepala SMA PIRI, Drs. Haryono, dengan persetujuan Pengurus Pusat Yayasan PIRI, mulai bulan Januari Tahun Ajaran 1959 SMA PIRI membuka kelas-kelas pagi, yang kelihatan lebih mendapat perhatian masyarakat. Sampai sekarang, SMA PIRI bersubsidi masuk pagi dan sore hari.
Semangat Ngurip-Urip Perguruan
Panitia (Pendiri PIRI) telah bubar, sebagian besar pergi dari Yogyakarta, yang tinggal hanya orang-orang kita saja. Sebab itu sekolah-sekolah PIRI yang telah dibuka itu kita urus sendiri. Kita pelihara sedapat-dapatnya dengan segala tenaga dan fikiran, serta harta yang ada pada kita.
Motto dari pendiri PIRI, “Kumpulan iku Kudu Diurip-urip, Aja Kanggo Urip,” selalu kita pegang teguh. Gagasan bagaimana supaya sekolah-sekolah PIRI makin maju dan makin bertambah baik memenuhi cita-cita GAI, selalu terlintas dalam fikiran kita.
Ke kanan dan ke kiri, kita tidak malu-malu bertanya kepada yang telah berpengalaman dan ahli dalam membina sekolah, bagaimana cara sebaik-sebaiknya mengemudikan organisasi persekolahan itu, supaya berkembang baik dan dapat maju dengan pesat dan baik. Semua petunjuk-petunjuk kami usahakan dapatnya terlaksana dengan baik.
Sampai dengan tahun 1952, bendaharawan PIRI dipegang oleh Bapak KRT Taniprojo. Dalam tahun 1949/1950 itu, kita berusaha juga memikirkan bagaimana supaya PIRI bisa membuka sekolah pada waktu pagi hari. Kita berusaha mendapatkan tempat. Dengan pertolongan Bapak Taniprojo, PIRI dapat meminjam Pendopo Dalem Mangkukusuman di Jl. Pugeran No.15A. Pendopo yang cukup besar itu dijadikan 10 ruangan kelas.
Sambil melanjutkan usaha persiapan, kita suruh Sdr. Suripto mulai menerima pendaftaran murid dengan meja dan kursi pinjaman, sekaligus untuk dua sekolah: SGB dan SMP. Murid-murid berjubel mendaftarkan diri, semuanya anak-anak yang mempunyai syarat lulus ujian masuk SMP. Tetapi persiapan baru ada beberapa lembar tikar, dan pinjaman dingklik dari SGB Negeri Dongkelan, atas kemurahan hati Kepala Sekolahnya, Sdr. R. Muh. Kusban. Beberapa kepang-kepang aten, kita pergunakan juga untuk membuat ruang-ruang kelas.
Pada tanggal 1 Agustus 1950, SMP dan SGB PIRI dibuka dengan resmi di Pendopo Dalem Mangkukusuman. SMP terdiri dari lima kelas, yaitu satu Kelas I, Kelas II Paralel, dan kelas III bagian A & B. Sekolah SGB terdiri dari tiga kelas I, dengan jumlah murid 116 orang. Mereka duduk di atas tikar, dengan dingklik pinjaman sebagai mejanya untuk menulis. SMP Sore yang ada di gedung SR Lempuyangwangi disatukan dengan SMP Pagi yang baru dibuka itu. Inilah wujudnya Sekolah Pagi yang pertama kali diusahakan oleh PIRI.
Apakah kita puas dengan keadaan sekolah semacam itu? Tidak. Kita usaha terus untuk menyempurnakan sekolah tersebut. Kita terus jalan, melihat di SGB Negeri Dongkelan, masih ada bangku-bangku yang tak dipakai itu. Alhamdulillah, dikabulkan.
Masih ada lagi dalam ingatan kami, seorang anggota GAI aliran Lahore yang mempunyai perusahaan mebel dan took mebel bekas di Magelang, yaitu Salamun, seorang guru di ST Negeri Magelang. Kita lalu ke Magelang menghubungi beliau, menceritakan usaha GAI mendirikan sekolah, dan kesulitan-kesulitan mengenai peralatan yang diperlukan bagi pembukaan sekolah pagi.
Rembug punya rembug, akhirnya PIRI akan dibuatkan kursi kebun (tuinstoel), yang antara tangan-tangannya diberi papan agak lebar untuk bisa digunakan tempat menulis, sebagai gantinya meja. Jadi ngirit ongkos, juga ngirit tempat.
Kira-kira empat bulan kemudian, pesanan itu selesai, diangkut ke Jogja dengan pouwer pinjaman dari Tentara Pelajar. Kecuali tuinstoel, kita juga diberi pinjaman almari bekas. Uang harga kursi dan almari bekas itu boleh dicicil dan dibayar belakangan.
Jadi, dalam jangka waktu kurang lebih 8 bulan, anak-anak SMP dan SGB PIRI sudah dapat duduk di bangku biasa, dan belajar dengan tenang. Waktu ada pemeriksaan dari Inspeksi SMP Daerah Jawa Tengah, Semarang, keadaanya masih demikian itu.
Kesulitan Mencari Guru
Berhubung dengan kurangnya tenaga guru yang dibutuhkan pada waktu itu, maka pada tahun itu juga kita memikirkan untuk membuka SGA PIRI. Rencana Pemerintah pada waktu itu, tamatan SGA dapat mengajar di SMP dan SGB, dan tamatan SGB 4 tahun bisa mengajar di SR VI.
Maka dari itu, di samping mengusahakan sempurnanya SMP dan SGB yang telah kita buka pada pagi hari itu, kita berusaha juga mencari tempat dan peralatan untuk membuka SGA PIRI. Sambil mencari tempat dan peralatan, ada yang disuruh mendaftar calon murid-murid SGA PIRI, bertempat di rumah kami di Cokrokusuman, Jetis.
Meskipun waktunya sudah agak terlambat, pendaftaraanya murid itu kelihataanya juga ada perhatian. Dalam waktu dua minggu sampai dengan pertengahan Oktober 1950, animo cukup satu kelas besar, kurang lebih 52 orang murid. Memang SGA dan SGB pada waktu itu murid-muridnya menerima tunjangan ikatan dinas. Mungkin ikatan dinas itulah yang menarik, sehingga sekolah-sekolah guru baik SGA maupun SGB-nya laku seperti pisang goreng.
Kami juga mencari guru dengan menghubungi SMA PIRI, barangkali ada yang mau kami mintai pertolongan untuk memimpin SGA PIRI. Mencari guru pada waktu itu memang masih sulit, apalagi guru yang mempunyai syarat 100%. Kebetulan, ada seorang guru SMA PIRI, yaitu Sdr Singgih, yang menyediakan diri memimpin SGA PIRI. Beliau bekas Pamong Taman Siswa di Malang. Pada waktu itu bekerja pada Kementrian Dalam Negeri.
Kita terus mencari tempat dan peralatan untuk membuka SGA PIRI. Kita melihat di belakang STM Negeri Jetis ada bangunan darurat yang kosong. Kita menghubungi kepala STM Negeri, Bapak R. Stambul Kolopaking, untuk meminjam ruang darurat yang kosong itu, beserta bangku-bangku STM yang pada waktu itu kelihatan bertumpuk-tumpuk di belakang tidak terpakai. Alhamdulillah diizinkan. PIRI diberi dua ruangan darurat, dengan bangku-bangku dan papan tulisnya sekalian.
Pada tanggal 20 Oktober 1950, murid-murid yang telah mendaftarkan diri kita panggil ke tempat pendaftaran di Cokrokusuman 3, untuk menerima pengumuman bahwa mereka diterima sebagai calon murid SGA PIRI, dan mulai masuk sekolah pada tanggal 23 Oktober 1950, bertempat di gedung darurat STM sebelah belakang, menghadap lapangan. Para siswa mendengarkan pengumuman itu dengan riang gembira. Dan pada tanggal 23 Oktober 1950 tepat jam 8, SGA PIRI dibuka dengan resmi.
Bantuan Dari Pemerintah
Sekarang kita mulai memikirkan pemeliharaan ketiga sekolah pagi yang telah kita buka sekaligus di tahun ajaran 1950/1951 itu. Kita dengar bahwa Pemerintah RI (dalam hal ini Kementerian P.P. dan K) akan memberi bantuan kepada badan-badan swasta yang membantu Pemerintah mendirikan sekolah-sekolah. Setelah kita mendapatkan keterangan yang jelas dan mendapat petunjuk dari saudara-saudara yang dekat, kita menyiapkan permohonan subsidi untuk SGA PIRI. Kita ajukan pula, mulai sekolah itu masing-masing dibuka.
Sungguh, segala sesuatu yang kita usahakan selalu kita lihat Tangan Tuhan ada di atas kita menolongnya. Sekolah-sekolah yang menurut penilaian peraturan subsidi zaman Belanda dahulu sama sekali belum memenuhi syarat, oleh pemerintah RI dinilai lain. Yang berwajib dari Inspeksi SMP Daerah Semarang datang memeriksa SMP PIRI, diperiksa adminitrasinya dan keadaannya.
Banyak petunjuk-petunjuk dan Nasehat-nasehat diberikan kepada Pengurus PIRI, lalu berturut-turut dari Inspeksi Pendidikan Guru Daerah Semarang datang juga memeriksa SGB PIRI. Begitu pula dari pusat pendidikan Guru Jakarta Bapak R. Arbidin Joyonegoro datang memeriksa SGA PIRI di komplek STM Negeri Jetis bagian belakang.
Kecuali tentang subsidi, kita rundingkan pula mengenai ikatan dinas murid-murid dengan beliau. Murid-murid semuanya memenuhi syarat dengan ijazah SMP Negeri, dan ada juga satu dua orang berijazah SGB Negeri. Rundingan berjalan dengan baik. Di samping itu, beliau juga memberikan petunjuk-petumjuk dan nasehat untuk bisa mendapatkan subsidi dan ikatan dinas bagi murid-murid.
Rupa-rupanya beliau sadar pula bahwa rakyat Indonesia 90% beragama Islam. Padahal pada jaman penjajahan Belanda dahulu, umat Islam tidak diberikan kesempatan mendirikan sekolah. Uang rakyat Islam yang 90% itu diberikan kepada umat lain yang dapat mendirikan sekolah, menurut peraturan zaman Belanda itu. Maka dari itu dalam wawancaranya, nasehat dan petunjuknya kelihatan sekali menjurus kepada itikad baik akan menolong PIRI.
Segala nasehat dan petunjuk Bapak R. Arbidin Joyonegoro kami laksanakan dengan sebaik-baiknya. Lalu kami ajukan pula permohonan ikatan dinas bagi murid-murid SGA PIRI dan juga bagi murid-murid SGB PIRI sesuai dengan petunjuk yang telah kita terima.
Sungguh Allah Maha-Rahim. Gedung perbendaharaan-Nya terbentang di langit dan bumi. Allah selalu mendengarkan do’anya orang-orang yang merintih mohon perlindunganNya. Usaha manusia yang dengan segala keikhlasan hati berniat membela agama Allah, Allah tentu menolongnya. Demikian janji Allah kepada hamba-Nya yang sungguh-sungguh tekun dalam usahanya.
Dengan tiada terduga-terduga datang surat keputusan pemberian bantuan bagi SGB PIRI tiap bulannya Rp 600, terhitung mulai 1 Agustus 1950, dengan SP tgl 4 Oktober 1950 No. 89/B.I. Dan SGB PIRI berubah menjadi berstatus subsidi mulai tahun ajaran 1951/1952, dengan Sp. Tgl 19 Agustus 1952 No. 29050/Subs, dan diperbaiki pada tgl. 14 Februari 1953.
Lalu menyusul SMP PIRI di Jl. Pugeran 15A, dengan Sp. Tgl 18-6-1951 No 2006/B.I, diberi bantuan tiap bulan Rp 1.000, terhitung mulai Agustus 1950, dan berubah menjadi berstatus subsidi mulai tahun ajaran 1953/1954, dengan Sp. Tgl. 12-4-54 No. 15732/Subs.
Begitu pula SGA PIRI, yang mendapat bantuan terhitung mulai 1 Nopember 1950 dengan Sp. Tgl 8 Maret 1951 No.715/B.I, sebanyak Rp 840, tiap bulannya, dan berubah menjadi SGA bersubsidi penuh terhitung mulai 1 Agustus 1951, dengan Sp. tgl 19-2-1952 No. 906/Subs sebanyak Rp 5.900 tiap bulan.
Sungguh anugerah Ilahi datangnya tidak terkira-kirakan, baik lahirnya maupun batinnya. Dengan Sp. Tgl 5 Februari 1951 No. 279/B.I., para siswa SGB PIRI mendapat tunjangan ikatan dinas, terhitung mulai 1 Agustus 1950 sebanyak Rp 75 tiap siswa tiap bulannya. Lalu menyusul SGA PIRI dengan Sp. Tgl 22-5-1951 No.1656/B.I, para siswanya mendapat tunjangan ikatan dinas dari Kementrian P.P&K tiap bulannya Rp 900 tiap siswa, mulai 1 Nopember 1950. Alhamdulillah.
Betapa besar syukur kami ke hadirat Allah SWT, tak dapat kami nyatakan dengan kata-kata yang sederhana. Allah jualah yang Maha Mengetahuinya. Jika kita renungkan benar-benar, timbul keheranan di dalam hati nurani kita. Begitu besar Maha Kuasa Tuhan untuk memberikan pertolongan kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.
Dengan tiada terasa air mata berlinang-linang, karena rasa syukur yang memenuhi jiwa. Tangan Ilahi kelihatan bergerak-gerak memutar hati nurani sebagai alat untuk memberikan pertolongan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Bersyukur Terus, Berkembang Terus
Pada Tahun Ajaran 1951/1952, perkembangan sekolah-sekolah PIRI memuncak. Pendopo Dalem Mangkukusuman tidak muat lagi untuk dua sekolah SGB dan SMP PIRI. Alhamdulillah, kita dapat lagi pinjaman Pendopo Dalem Pujokusuman. Maka dari itu SGB PIRI kita pindahkan ke Pendopo Dalem Pujokusuman, dan SMP PIRI tetap masih di Pendopo Dalem Mangkukusuman.
Mulai tahun ajaran 1951/1952, SGB PIRI mendapat bantuan guru negeri. Yang diserahi memegang pimpinan adalah Sdr. Slamet Pawiromantri, dengan Sp. tanggal 21-5-1951 No. 12200/CI.
Sejak 1 Januari 1951, SGA PIRI yang ada di komplek STM Negeri Jetis sebelah belakang, mulai Tahun Ajaran 1951/1952 ruangannya akan dipakai sendiri oleh STM Negeri. Maka dari itu SGA PIRI harus pidah ke tempat lain. Kita lalu mondar-mandir mencari tempat yang sekiranya cukup untuk memindahkan SGA PIRI.
Mencari rumah untuk sekolah memang tidak semudah seperti kita kira-kirakan. Alhamdulillah, sebelum kita mendapatkan tempat baru, SGA PIRI diizinkan oleh Sdr R. Supoyo, Kepala SGA Negeri Jetis, yang juga ikut membimbing SGA PIRI, untuk menempati ruangan SGA Negeri Jetis pada sore hari, di Cemorojajar 1. Jadi, untuk sementara SGA PIRI masuk pada sore hari.
Tiga bulan kemudian, kita bisa mendapatkan rumah yang cukup besar di Kemetiran Lor No. 3. Kita mencari peralatan. Bangku-bangku dari STM Negeri Jetis kita pinjam, terus kita angkut ke Kemetiran Lor No. 3, ditambah dengan bangku-bangku pinjaman dari SGA Negeri Jetis. Setelah selesai lengkap, mulailah SGA PIRI dipindahkan ke kemetiran Lor 3, dan kemudian masuk pada pagi hari.
Oleh karena Sdr. Singgih yang memegang pimpinan SGA PIRI adalah pegawai Kementerian Dalam Negeri, maka agar bisa memimpin penuh SGA PIRI, kita berusaha memohonkan agar Sdr. Singgih dipindah dari Kementerian Dalam Negeri ke Kementerian P.P& K. Alhamdulillah, dengan Sp. tgl 14-2-1951 No. 3694/C.1., Sdr. Singgih dipindahkan ke SGA PIRI bersubsidi di Yogyakarta sebagai Guru Negeri diperbantukan, dan diserahi pimpinan. Dan mulai 1 Nopember 1959, dia dipindahkan ke SMA PIRI bersubsidi Yogyakarta, dengan Sp. Tgl. 11 Desember 1959 No. 123784/C.1.
Pada tahun ajaran 1952/1953, SGB PIRI Yogyakarta melebarkan sayapnya lagi menempati Pendopo Dalem Brontokusuman, atas izin yang diberikan oleh Pengageng KHP Wahono Sarta Kriyo tgl 24-10-1952 No. 141/W&K/1952. Saat itu, SGB PIRI bersubsidi Yogyakarta telah mempunyai kelas I, II, dan III sebanyak 11 kelas, terdiri dari 6 kelas 1, dimana-mana kelas adalah pindahan dari SGB PIRI Purwokerto, 3 kelas II dan 2 kelas III, dengan murid sejumlah 468 anak, menempati Pendopo Dalem Pujokusuman dan Pendopo Dalem Brontokusuman.
Bangku kita dapat juga pinjaman dari SMA V-C Negeri di Jl. Pogung, atas kemurahan hati Sdr. Kepala SMA V-C Negeri, Bapak Haditono, untuk melengkapi bangku-bangku SGB PIRI. Oleh karena SGA PIRI dan SGB PIRI telah mendapatkan subsidi penuh dari pemerintah, para siswanya mendapat ikatan dinas.
Asrama PIRI untuk siswa Pindahan dari Purwokerto
Dalam hal asrama, Sdr Supoyo, Kepala SGB Negeri Jetis, besar sekali pertolongannya kepada PIRI. Almarhum memberikan pinjaman dipan-dipan yang tidak terpakai, dan ada beberapa dipan yang sudah rusak diberikan begitu saja untuk diperbaiki dan digunakan oleh SGB PIRI.
Asrama PIRI juga menerima bantuan uang darinya sejumlah Rp 40.000. PIRI juga dibantu agar diizinkan membeli kayu-kayu jati di daerah beliau dengan harga pemerintah, yaitu dari daerah Gundih, Telateh, Kedungjati dan Cepu. Alhamdulillah, permintaan kita dikabulkan, dan berkali-kali kita dapat kiriman kayu-kayu jati dari daerah tersebut, dan kita bayar dengan uang yang kita terima dari Sdr Supoyo.
Kayu-kayu itu sebagian untuk pembangunan gedung komplek PIRI Baciro, sebagian untuk membuat dipan-dipan untuk asrama, dan sebagian lagi dibuat bangku-bangku dan almari untuk sekolah, yang dibuat oleh tukang, diawasi oleh Sdr Fekih.
PIRI dapat menyediakan asrama untuk para siswa pindahan dari Purwokerto di rumah Sdr. Abu dan Sdr Sapraptolo. Asrama Putri di rumah Sdr. Slamet Prawiromantri, kepala SGB PIRI, dan ada juga sebuah asrama di Mangkuyudan di bawah pengawasan seorang guru SGB PIRI, Sdr. Sutrisno. Dipan-dipan kepunyaan PIRI itu diberi letter SGB PIRI. Jadi dipan-dipan yang kita pakai untuk asrama itu sebagian dipan pinjaman atau pemberian, dan sebagaian kepunyaaan sendiri.
Dari keempat asrama SGB PIRI itu, hanya satu yang menerima bantuan dari Pemerintah, yaitu Asrama Putri yang ada di rumah Kepala Sekolah, diberi bantuan mulai 1 Juli 1952 dengan Sp tgl 31-12-1952 No. 50625/Subs sebesar Rp. 500 tiap bulan.
Mendirikan Sekolah Keguruan Islam
Pada tahun ajaran 1953/1954, di Kemetiran Lor No. 3 di tempat SGA PIRI, kita buka SGTK PIRI pada pagi hari, bersama-sama dengan SGA PIRI bersubsidi. SGTK PIRI dimulai pada 10 Agustus 1953 dengan animo murid sebanyak 33 anak untuk kelas I.
Juga pada tahun itu, karena terasa benar bagi kita kekurangan guru agama yang sefaham dan sejiwa dengan kita (GAI aliran Lahore), timbul gagasan untuk membuka Sekolah Guru Agama Islam (SGAI), dipimpin oleh Sdr. Muh. Irsyad.
Pada tahun pertama, animo lumayan banyaknya. Murid-murid kelihatan bersemangat, karena kecuali ajaran Islam yang bersumber pada ajaran mujaddid abad ke-14 H dapat menghidupkan jiwa yang mati, mereka juga dikerudung. Kelak, mudah-mudahan, dapat menjadi Muballigh Islam ke Australia.
Pada tahun ajaran 1953/1954 itu juga, kita membuka SR VI bertempat di SGB PIRI Brontokusuman pada sore hari. Maksud kami membuka SR VI itu agar dapat digunakan untuk latihan mengajar murid-murid SGB PIRI. Tetapi SR VI hanya berumur satu tahun, karena disitu animo kurang, lalu dipindahkan ke Baciro pada sore hari.
Sekarang marilah kita tinjau keadaan sekolah-sekolah PIRI pada Tahun Ajaran 1954/1955. Pembangunan kompleks PIRI Baciro sudah mulai ada yang terselesaikan. Sebanyak 10 ruangan besar: 2 buah rumah untuk guru, yang terdiri dari beberapa kamar, 4 ruangan kecil untuk guru , 4 buah kamar untuk guru bujangan, telah selesai dibangun.
Pada tanggal 1 Agustus 1954, SGA PIRI bersubsidi di Kemetiran Lor 3 kita pindahkan ke Baciro, menempati gedung baru. SGAI yang ada di Kemetiran Lor juga kita pindahkan ke Komplek Baciro, bersama-sama dengan SGA PIRI, tetapi diselenggarakan pada sore hari.
Animo untuk SGAI rupa-rupanya makin menyusut, karena gambaran hari depannya kurang jelas. Padahal anak-anak masuk sekolah itu biasanya gambaran hari depannya sudah jelas. Entah melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, entah bekerja sebagai pegawai negeri, dll. Bibitnya pun kurang baik, yaitu dari anak-anak yang tidak lulus ujian akhir SMP.
Sudah barang tentu hal semacam itu kurang memuaskan, sehingga dipikirkan oleh pembimbingnya, Sdr. Muh Irsyad, untuk dimulai dari underbow-nya yang setingkat dengan SMP, dinamakan SMP Islam. Dengan maksud, setelah lulus SMP Islam, diharapkan bisa masuk SGAI.
Tetapi rencana ini pun gagal. Mereka yang telah lulus dari SMP Islam tidak melanjutkan ke SGAI, tetapi ke sekolah lain. Akhirnya SGAI habis riwayatnya pada tahun 1958. Yang masih terus sampai sekarang SMP-nya, dijadikan SMP PIRI III, yang sedang dalam taraf dimohonkan subsidinya.
Mendirikan Sekolah Khusus Putri
Mulai 1 Agustus 1954, pada Tahun ajaran 1954/1955, di Kemetiran Lor No 3 bekas SGA PIRI bersubsidi kita buka SGB Putri, karena banyaknya murid-murid putri yang mendaftarkan diri. Untuk pertama kali, kita buka 3 buah kelas 1, semuanya memenuhi syarat lulus ujian masuk SLTP. Permohonan subsidi kita siapkan, lalu kita ajukan kepada pemerintah. Berhasil mendapat bantuan mulai 1 Agustus 1956 sejumlah Rp 4.570 tiap bulan, mulai Tahun Ajaran 1956/1957, dengan Sp. Tgl. 29-1-1957 No.10796/B.
Sebagaimana halnya dengan SGB yang lain-lain, mulai 1Agustus 1958, SGB Putri PIRI dialihkan menjadi SMP Putri PIRI. Jadi kelas I menerima untuk SMP Putri PIRI. Pada tahun ajaran 1959/1960, SGB Putri PIRI berubah statusnya dari sekolah bantuan menjadi sekolah bersubsidi dengan Sp. Kementrian P.P&K tgl. 26 Agustus 1960 No. 72475/B.II terhitung mulai 1 Agustus 1959.
Pada tahun ajaran itu juga, yaitu setelah tiga tahun, dalam peralihan SGB Putri PIRI tingkat kelas IV dan SMP Putri telah lengkap kelas I, II, dan III, maka pada akhir Tahun Ajaran 1959/1960 itu, kelas SMP dan kelas IV SGB masing-masing mengadakan ujian akhir. Maka habislah SGB Putri PIRI dan beralih menjadi SMP Putri PIRI bersubsidi.
Persetujuan peralihan SGB Putri menjadi SMP Putri PIRI bersubsidi disetujui dengan terbitnya Sp. dari Kementrian P.P&K tgl 31 Juli 1958 No. 71313/E-I. Mulai tahun ajaran 1964/1965, SMP Putri PIRI dijadikan sekolah campuran, menerima murid-murid pria dan wanita, dan diubah menjadi SMP PIRI II bersubsidi sampai sekarang.
Mendirikan Sekolah SGTK
Sekolah SGTK PIRI kami buka pada tanggal 10 Agustus 1953 pada tahun ajaran 1953/1954 di Kemetiran Lor No. 3, bersama-sama dengan SGA PIRI bersubsidi. Setelah SGA PIRI pada 1 Agustus 1954 kita pindahkan ke Baciro menempati gedung kepunyaan PIRI sendiri, di Kemetiran Lor No 3 kita buka SGB Putri PIRI sebanyak 3 kelas 1.
SGTK PIRI pada permulaan tahun ajaran 1 Agustus 1954 menerima murid baru, dan di Kemetiran Lor No. 3 kelihatan penuh, sehingga untuk tahun berikutnya kita harus bersiap-siap mencari tempat untuk memindahkan salah satu sekolah itu.
Alhamdulillah, kita akhirnya dapat juga tempat di Pendopo Dalem Mangkudipuro, di Jalan Timuran. Kita siapkan pendopo-pendopo itu menjadi ruang kelas, dan kita siapkan bangku-bangku dan papan tulis serta almarinya untuk mencukupi kebutuhan SGTK PIRI sedikit demi sedikit. Sehingga pada permulaan tahun ajaran 1955/1956, tepatnya tanggal 1 Agustus 1955, kita pindahkan SGTK PIRI dari Kemetiran Lor ke Mangkudipuran.
Rupa-rupanya SGTK PIRI mengalami kemajuan pula di tempat yang baru itu dengan bertambahnya muridnya. Ujian akhir SGTK PIRI mengikuti ujian negeri, hasilnya pun tidak mengecewakan. Karena hasil yang lumayan tidak memalukan itu, maka untuk kemajuan lebih lanjut, kita usahakan memajukan subsidinya. Kita bersyukur ke hadirat Allah SWT karena telah disetujui permohonan subsidinya.
Tetapi serenta kita perjuangkan dengan Inspeksi Pusat di Jl. Hanglekir II Kebayoran Baru, Jakarta. Kita mendapat jawaban, karena di Jogja sudah banyak sekali SGTK, maka Inspeksi Pusat tidak dapat menyetujuinya. Dikatakan akan disetujui subsidinya jika PIRI mau mendirikan SGTK PIRI di Ternate. Suatu hal yang mustahil. Akhirnya makin lama animo makin menyusut. Kita bermaksud menggabungkannya dengan SGA, dengan menerima murid untuk SGTK, tetapi animo tidak ada.
Sekolah Kejuruan PIRI
Sekarang marilah kita utarakan musababnya PIRI mendirikan Sekolah Kejuruan. Pada tahun 1964, tatkala kami sedang ada urusan dengan Bagian Subsidi Kementrian P.P&K di Jl. Cilacap 4, Jakarta, kami diberi nasehat agar PIRI berusaha membuka Sekolah Kejuruan.
Padahal, menurut berita yang kami peroleh, Pemerintah berencana mengurangi Sekolah Umum. Dan sebagai gantinya akan membuka sekolah-sekolah kejuruan sebanyak-banyaknya, sehingga diharapakan jumlah sekolah umum dibanding kejuruan 3:7. Malahan jika PIRI mau membuka sekolah kejuruan, pertama-pertama akan diberi bantuan guru negeri, setelah dibuka dan berjalan dengan baik selama tiga bulan, supaya mengajukan permohonan subsidinya, dan akan diberi subsidi.
Rupa-rupanya Allah SWT memberikan jalan kepada PIRI guna melaksanakannya. Bersamaan waktu pada kejadian itu, dari Direktorat Teknologi Pusat Jakarta, PIRI diminta bantuanya secara pribadi, untuk ikut berusaha dan memikirkan, akan dibukanya oleh Kementrian P.P&K, sekolah kejuruan STM Pertanian. Karena sampai saat itu, P.P&K belum mempunyainya. Sekolah SPMA juga sudah ada, tetapi itu kepunyaan Kementrian Pertanian.
Untuk itu, PIRI menugaskan Sdr. R. Sunarto (sekarang Kepala STM Pertanian Negeri Temanggung), sebagai wakil PIRI dalam membantu Direktorat Teknologi dari Jakarta, mengadakan perundingan-perundingan beberapa kali dengan Direktorat Teknologi itu, di kantor Pengurus Pusat PIRI di Jl. kemuning 1 Yogyakarta. Adapun yang dirundingkan mengenai kurikulum STM Pertanian, dan langkah-langkah yang akan dilaksanakan, guna memulai mencoba membuka STM Pertanian Negeri.
Setelah perundingan mengenai kurikulum agak lengkap, lalu meninjau tempat-tempat yang dipandang baik untuk mengadakan percobaan itu. Kepala Derektorat dari Jakarta, bersama dengan Sdr. R. Sunarto, pergi ke Purwokerto, mengadakan perundingan dengan Bpk Bupati Kepala Daerah Purwokerto waktu itu, Bapak R. Subagyo, dua tiga kali.
Malahan kami pernah juga ikut berunding dengan Bapak Bupati Kepala Daerah Purwokerto itu, soal kemungkinan dibukanya STM Pertanian Negeri di Purwokerto, dan tentang fasilitas-fasilitas yang sekiranya bisa diberikan kepada STM Pertanian itu dari Pemerintah Daerah.
Misalnya, diberikannya perkebunan teh bekas onderneming Menggala Nirwana di lereng Gunung Slamet, yang waktu itu tidak terpelihara dan telah rusak, akibat oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, yang pada waktu itu masih merajalela memegang peranan. Sdr R. Sunarto dengan anggota DPRD Purwokerto pernah juga meninjau perkebunan teh Menggala Nirwana di lereng Gunung Slamet itu.
Perundingan mengenai perkebunan teh itu telah mendapat kata sepakat dari Bapak Bupati Kepala Daerah. Tetapi setelah dibawa ke dalam perundingan dengan DPRD setempat, terpaksa gagal karena karena masih dipegang oknum-oknum yang pada waktu itu masih memegang peranan itu.
Pernah juga sdr. R. Sunarto mengantarkan Kepala Direktorat Teknologi Jakarta dua tiga kali pergi ke Wonosobo, menemui Bupati Kepala Daerah Wonosobo, Bapak R. Wibowo Helly, merundingkan kemungkinan-kemungkinan dibukanya STM Negeri di Wonosobo. Bahkan pernah juga mengadakan survey di perkebunan karet Kaliwiro, Daerah Wonosobo.
Pernah juga Kepala Direktorat Teknologi dengan Sdr Sunarto menemui Bapak Bupati Kepala Daerah Temanggung, R. Maschun Sofyan S.H., merundingkan tentang kemungkinan dibukanya STM Pertanian Negeri di Temanggung, dan menyediakan perkebunan yang direncanakan untuk digunakan sebagai tempat praktik bagi para siswa kelak.
Memang tiga daerah itulah yang direncanakan oleh Direktorat Teknologi untuk tempat percobaan membuka STM Pertanian Negeri, yaitu Purwokerto, Wonosobo dan Temanggung. Perjalanan dan survey yang dilaksanakan oleh Direktorat Teknologi Jakarta dengan Sdr. R. Sunarto sebagai wakil PIRI itu, menurut perundingan, secara kekeluargaan dibiayai, itupun diambilkan dari orang-orang PIRI, yaitu guru formasi subsidi dari sekolah PIRI.
Persiapan yang dikerjakan oleh Direktorat Teknologi Jakarta dengan Sdr. R. Sunarto itu hampir satu setengah tahun lamanya. Maka pada Tahun Ajaran 1965/1966, tepatnya tanggal 1 Agustus 1965, rencana pemerintah membuka STM Pertanian Negeri direalisir.
Di Purwokerto, STM Pertanian Negeri itu dikepalai Sdr. Mardiyono, guru formasi SMA PIRI Yogyakarta yang dipinjamkan untuk dipekerjakan di STM Pertanian Negeri Purwokerto. Di Temanggung dipimpin Sdr. Sunarto sendiri, anggota Pengurus PIRI yang dipekerjakan di STM PIRI Temanggung.
Kami berani melepaskan dua orang tersebut untuk menghayati percobaan yang dilaksanakan oleh Kementrian P.P&K. Memimpin STM Pertanian Negeri sebagai percobaan, karena kita mengingat jika percobaan itu berhasil, tentu akan besar manfaatnya bagi kemajuan Nusa dan Bangsa. Dan PIRI pun akan merasakan hasilnya.
Tahun itu mulailah tahun ajaran dirubah menjadi Januari 1965, sehingga tahun ajaran 1965/1966 yang dimulai bulan Agustus 1965, berakhir dalam bulan Desember 1966. Jadi lamanya satu setengah tahun. Sampai sekarang Sekolah-sekolah percobaan (STM Pertanian) itu berdiri dengan baik. Malahan sejak tahun 1958, Sdr. R. Sunarto di PIRI gemar akan penelitian ilmu, sehingga mendapat surat-surat dari Bapak Menteri Pertanian tertanggal 25 Maret 1967 No. 244/III/Menper/1967.
Dengan pengalaman di atas, maka kami pun bersiap-siap membuka Sekolah Kejuruan. Setelah persiapan selesai, maka pada tgl 1 Januari 1967 di Yogyakarta, kita buka STM bagian Mesin dan Listrik. Animo murid memuaskan. Tetapi persiapan untuk membuka SKKA PIRI, karena animo murid sangat sedikit, tidak bisa dilaksanakan.
Sesuai dengan nasehat bagian subsidi Kementerian P.P. dan K, maka STM bagian Mesin dan Listrik yang dibuka pada tgl. 1 Januari 1967, untuk pertama kali kita usulkan seorang guru tetap sebagai Guru Negeri diperbantukan, Sdr. Sriyono, B.Sc.
Untuk memelihara sekolah itu, alhamdulillah berhasil dengan Sp tgl. 4-6-68 No. E. 971/Set-II/B, Sdr Sriyono ditetapkan sebagai Guru Negeri Diperbantukan di STM PIRI bagian Mesin dan Listrik, dan kami serahi memegang pimpinan. Sdr Sriyono aktif dalam menunaikan tugas menyiapkan permohonan subsidinya. Setelah selesai diajukan kepada yang berwajib, dengan Sp tgl. 15-7-70 No. 8585/Biku/Subs/70, STM PIRI bagian Mesin dan Listrik berstatus subsidi.
Tetapi sayang, karena tertutup oleh Peraturan Pemerintah tidak boleh mengangkat Pegawai, maka sampai saat ini guru-guru atau pegawai STM bagian Mesin dan Listrik Yayasan PIRI bersubsidi di Yogyakarta belum mendapatkan pengangkatannya dari Pemerintah. Mudah-mudahan dalam waktu singkat Allah swt. Memberikan jalan keluar untuk mengatasi kesulitan itu. Amin.
SKKA, Cikal Bakal Sekolah Kejuruan Putri
Setelah pada tahun 1967 usaha mendirikan SKKA PIRI gagal karena animo kurang, maka tahun berikutnya pada tgl. 10 Febuari 1968, karena keinginan yang menyala-nyala, kita memaksa diri membuka SKKA PIRI, meskipun animo untuk kelas 1 hanya 4 anak. Pimpinan sekolah kami serahkan kepada Ny. Sri Kushartati Samsuri, Guru Negeri diperbantukan pada SKKA/SKKP Adidarmo.
Menurut keterangannya, di SKKA/SKKP Adidarmo banyak sekali Guru Negeri diperbantukan, tetapi muridnya sedikit sekali. Sehingga pelajaran masak-memasak terkadang dibawa ke rumah, diajar di rumahnya. Maka dari itu, banyak waktu terluang.
Pada tahun 1969, animo kelas 1 SKKA PIRI ada 14 anak, kelas II tetap 4 anak. Tahun 1970, animo kelas I, II ikut ujian akhir 7 anak, lulus 4 anak. Tahun 1971, animo kelas I 36 anak, kelas II 15 anak, kelas III 16 anak. Kelas I tahun 1972 animo 48 anak, kelas II 29 anak, kelas III 16 anak.
Dari statistik, kita bisa melihat kemajuannya. Memang pimpinan SKKA PIRI bertekad kuat untuk memajukan SKKA PIRI. Teman-teman guru di-lelipur (dihibur) agar kerasan mengajar di SKKA PIRI.
Pada tahun pertama dengan murid yang hanya 4 anak itu, PIRI tidak bisa memberikan apa-apa kepada guru-guru selama setahun. Baru pada tahun kedua, mulai dapat memberikan honor per jam pelajaran Rp 15. Tahun 1970, dapat memberikan honor per jam Rp 20.
Mulai April 1970, SKKA PIRI bisa menambah horon guru menjadi Rp. 25 per jam pelajaran. Tahun 1971 dapat memberikan honor Rp 50 per jam pelajaran, dan mulai April 1971 Rp. 60. Baru mulai Januari 1972, bisa memberikan honorarium yang pantas kepada para gurunya, yaitu Rp. 75 per jam pelajaran, karena jumlah muridnya 93 anak.
Alhamdulillah, jiwa pengorbanan pulalah akhirnya yang bisa menentukan kemajuan. Tanpa adanya jiwa pengorbanan, tak mungkin SKKA PIRI bisa terus hidup. Karena di SKKA PIRI Adidarmo rupa-rupanya kurang sesuai, lalu para guru meminta kepada pengurus PIRI mau menarik mereka ke SKKA PIRI.
Kita berusaha meminta tenaga Sdr. Ny Sri Kushartati Samsuri kepada Pemerintah, agar bisa diperbantukan di SKKA PIRI dapat dikabulkan. Maka dengan Sp tgl 20 Februari 1970 No. E 0063/Sp/Set/70, mulai 1 Januari 1970 SKKA PIRI mendapat bantuan Guru Negeri, yakni Sdr Ny Sri Kushartati Samsuri.
Selama 5 tahun berjalan itu, demikian ulet usaha pimpinan sekolah yang dibantu oleh guru-guru, sehingga bisa memiliki tiga mesin jahit kaki, sebuah kaca besar untuk ngepas, dan alat-alat dapur lengkap, meskipun serba sederhana. Malahan, ada guru bujangan, begitu besar pengorbanannya sehingga sering tidur di ruang SKKA PIRI, menjaga barang-barang kepunyaaan SKKA PIRI. Karena, pernah pengalaman kecurian 6 buah kompor baru.
Sekarang di tahun 1972, SKKA PIRI sedang dalam taraf permohonan subsidinya diajukan. Bersamaan dengan waktunya SKKA PIRI, usaha kita membuka SMEA PIRI juga dapat direalisir, atas inisiatif Sdr. Dalyono dengan kawan-kawannya. SMEA PIRI dibuka bertempat di SMP PIRI 1 bersubsidi di Pendopo Mangkukusuman, pada sore hari. Penerimaan murid-muridnya agak lumayan juga.
Perhubungannya dengan kabin baik, sehingga tidak mengalami kesulitan dalam memajukan sekolah itu. Sebagaimana halnya sekolah-sekolah PIRI lainnya yang baru dibuka, SMEA PIRI pun guru-gurunya mau berkorban. Honorarium yang diterima di bawah peraturan pemerintah, karena memang berdikari menurut keadaan keuangan yang masuk di sekolah itu.
Meskipun demikian, semangat mengajar saudara-saudara guru tidak beku, sehingga ujian akhir SMEA PIRI berhasil mengikuti ujian Negeri yang pertama pada tahun 1970, dan kedua pada tahun 1971. Sekarang di tahun 1972 ini, SMEA PIRI juga sedang dalam taraf memajukan permohonan subsidinya.
Alhamdulillah, inilah juga hasil jiwa pengorbanan. Barang siapa mau berkurban akan mendapat hasil yang melimpah-limpah, seperti sabda Ilahi dalam Qur’an Suci 108:1-3, demikianlah: “Sungguh Aku (Allah) telah memberikan kebajikan melimpah-limpah kepadamu. Maka itu shalatlah kepada Tuhanmu dan berkurbanlah. Sungguh musuhmu akan terpisah dari segala kebajikan.”
Sementara itu, sekolah-sekolah PIRI yang dibuka pada sore hari, misalnya SMP PIRI Sore (yang menempati ruang kelas SMP PIRI 1 di Pendopo Mangkukusuman), SMP PIRI Sore di Kemetiran Lor No. 3, yang kesemuanya itu masih tergolong zaman permulaan PIRI berdiri, serta SMA II PIRI Sore, tidak dapat langsung berdiri karena animo kurang. Maka dari itu lalu digabungkan dengan sekolah-sekolah pagi yang telah mendapat subsidi, dan hapuslah sekolah-sekolah itu.[]
Ditulis oleh : Ibu Hj. Kustirin Djoyosugito (Ketua PIRI yang pertama)
Sumber : Buku “Peringatan Seperempat Abad Perguruan Islam Republik Indonesia”, Terbit Tahun 1972.
Penyunting : Asgor Ali
Daftar Singkatan
- P.P. dan K – Kementerian Pengajaran Pendidikan & Kebudayaan
- SGA – Sekolah Guru Atas
- SGB – Sekolah Guru Bawah
- SMA Bag. A – Sekolah Menengah Atas Jurusan Bahasa
- SMA Bag. B – Sekolah Menengah Atas Jurusan Ilmu Pasti dan Ilmu Alam
- SMA Bag. C – Sekolah Menengah Atas Jurusan Ilmu Sosial
- SGP – Sekolah Guru Perempuan
- SPG – Sekolah Pendidikan Guru
- SGL – Sekolah Guru Laki-Laki
- STM – Sekolah Teknik Menengah
- SKP – Sekolah Kejuruan Putri
- SPMA – Sekolah Pertanian Menengah Atas
- SKKA – Sekolah Kejuruan Kewanitaan Atas
- SMEA – Sekolah Menengah Ekonomi Atas
Comment here