DiskursusEdisi Kemerdekaan

Rasionalisme Islam: Pintu Masuk ke Alam Pikiran Soekarno

GENIAL. Pada saat Konferensi Islam Asia Afrika yaitu tanggal 15 Maret 1965 yang dihadiri oleh 33 negara peserta dan empat negara peninjau, Sukarno dinobatkan sebagai Pendekar Kemerdekaan dan Pahlawan Islam. Satu-satunya gelar yang diberikan oleh para pemimpin negara-negara Muslim se-dunia pasca runtuhnya hegemoni kolonialisme dan imperialisme di banyak negara-negara Asia dan Afrika. Gelar Pahlawan Islam Asia Afrika bukan diberikan secara tiba-tiba begitu saja, tetapi para pemimpin negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim menilainya berdasarkan jejak keintelektualan Sukarno akan wacana Islam dan pembebasan, serta perjuangan Sukarno di dalam memerdekakan bangsa-bangsa Asia-Afrika. Keislaman Sukarno dalam pandangan para negarawan Islam yang hadir dalam Konferensi Islam Asia Afrika disebut sebagai Islam Revolusioner.

Sukarno adalah pengagum sekaligus penerus perjuangan pahlawan Islam Jamaluddin al Afghani yang disimbolkan sebagai perlawanan imperialisme Barat dan dalam aktivitasnya berusaha menyatukan kekuatan persaudaraan kaum Muslimin sedunia dalam Pan Islamisme. Boleh jadi metode perjuangan Sukarno dan Al Afghani berbeda, namun semangat pembebasan dari segala sistem yang menindas dan kemerdekaan akal dari mereka berdua sama. Sukarno adalah pewaris rasionalisme Islam yang dimulai dari al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Suhrawardi al-Maqtul, Mullah Sadra hingga Al Afghani.

Dari perspektif filsafat Islam, Sukarno adalah pewaris dari ajaran Ibnu Khaldun dalam hukum determinisme sejarah yang berfokus kepada problematika sosial yang mewujud dalam sejarah umat manusia. Khaldun mengingkari determinisme Tuhan dalam sejarah manusia, membutuhkan bukti-bukti empiris yang objektif dan menolak pertimbangan-pertimbangan spekulatif ataupun teologis dalam menganalisa sejarah manusia. Khaldun berkeyakinan bahwa hukum sosiologis dalam sejarah harus dianalisa melalui pendekatan metodologi penelitian objektif (empirisme) berasal dari Tuhan juga. Khaldun menamakannya Sunnah Allah (Tradisi Allah) yang berbeda dengan determinisme Tuhan yang bersifat sewenang-wenang. Sunnah Allah memberi ruang bagi adanya hubungan logis dan mencerminkan keadilan.

Logika dialektis Sukarno melampaui logika formal dari para filsuf Islam Paripatetik yang mengajarkan hylomorfisme bahwa apapun yang ada di dunia ini terdiri atas dua unsur utamanya yaitu materi dan bentuk. Boleh jadi alur pemikiran Sukarno bergerak lebih jauh lagi seperti para filsuf Islam Iluminasionis yang dipelopori oleh Suhrawardi al-Maqtul bahwa metode demonstratif dengan akal dan metode intuitif merupakan dua metode yang pasti dalam mencerap objek eksternal, kebenaran, dan pengetahuan esensial. “Subyektif sebelum memakai otak”, kata Sukarno pada saat menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan dari Universitas Indonesia, pada 2 Februari 1963. Namun menurut Sukarno, “Bukan saja otak, tetapi hati”.

Kita bisa melacak konstruksi berpikir Sukarno melalui teori perjuangannya yang diajukan oleh Sukarno pada tahun 1923. Sukarno memberikan istilahnya sendiri untuk menamakan teori perjuangannya. Sukarno memberi istilah Trilogi yakni: Nationale Geest (Roh dan Semangat Nasional), Nationale Wil (Kemauan Nasional) dan Nationale Daad (Perbuatan Nasional). Ada kesamaan konstruksi berpikir Sukarno dengan Khawaja Kamaluddin (1870-1932) atau pemikiran yang sama yang diutarakan oleh mantan Presiden Gerakan Ahmadiyah Lahore dan Kongres Nasional India yaitu Maulana Muhammad Ali melalui karyanya Da’watole Amal yang diterjemahkan oleh HOS Cokroaminoto.

Tidak menutup kemungkinan, Sukarno mendapatkan inspirasi teorinya dari mereka melalui Cokroaminoto. Seperti Cokroaminoto, Sukarno mengakui bahwa pemikiran Islamnya tidak terpaku oleh pemikiran atau mazhab Islam tertentu. Dalam mendalami Islamologi, Sukarno tidak mengambil hanya dari satu sumber saja. “Banyak sumber yang saya datangi dan saya minum airnya”, pengakuan Sukarno yang disampaikan melalui suratnya yang berjudul Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah Nabi.

Cokroaminoto mempunyai andil besar atas pemikiran Islam Sukarno melalui karya-karya dari berbagai pemikir Islam, termasuk Ahmadiyah. Selama Sukarno diinternir di Ende, Cokroaminoto mengirim buku-buku Islam dari Ahmadiyah, antara lain The Holy Quran, Mohammad the Prophet dan Inleiding tot de studie van den heiligen Qoer’an juga dari Muhammad Ali, serta Het evangelie van den daad karya Kamaludin. Ratusan buku, majalah dan jurnal ilmiah terbitan Muhammadiyah, Persatuan Islam, bahkan terbitan luar negeri dari India, Mesir, Inggris, Jerman dan Belanda juga dilahap oleh Sukarno yang ketika di Ende sangat haus akan pengetahuan tentang Islam. Karya tulisan pengarang non Muslim, antara lain Snouck Hurgronye, Arcken, Dozy Hartmann, Theodore Lothrop Stoddard dan pengarang lainnya, baik yang simpati maupun anti terhadap Islam juga menjadi referensi Sukarno dalam studi dan kajiannya tentang Islam.

Genealogi Islamisme Sukarno dipengaruhi oleh rasionalisme Islam dari para pembaharu Islam abad 18-20, antara lain Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh (Pan Islamisme), Muhammad Ali dan Kamaluddin (Ahmadiyah), Arabi Pasha, Mustafa Kamil, Mohammad Farid Bey, Ali Pasha, Ahmed Bey Agayeff, dan Shaukat Ali bahkan Muhammad bin Abdul Wahab. Sukarno juga amat mengagumi Syaikh Tantowi Jauhari melalui karyanya Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim. Buku tersebut merupakan tafsir Jauhari terhadap al Quran yang menggunakan metode anti-mainstream yang tidak hanya berfokus kepada ilmu fiqih dan tauhid, tetapi lebih banyak menggunakan pendekatan ilmiah dan ilmu pengetahuan modern untuk mengupas alam semesta. Dari dalam negeri, para tokoh gerakan dan cendikiawan Muslim yang pikiran-pikirannya dipengaruhi oleh para pembaharu Islam dunia seperti HOS Cokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, dan Ahmad Hassan tokoh Persatuan Islam memperkuat pemikiran Islam Sukarno. Tidak mengherankan kalau Sukarno bergabung ke dalam organisasi Muhammadiyah, bahkan Ia menjadi guru di institusi pendidikan Muhammadiyah ketika dibuang di Bengkulu.

Tidak banyak orang yang tahu bahwa ketika menempuh studi teknik di Bandung, Sukarno yang memang aktivis Sarekat Islam pernah diusulkan sebagai Ketua Jong Islamieten Bond (JIB) dari cabang Bandung. Pencalonannya diusulkan oleh Mohammad Natsir, Ema Puradireja (Ketua JIB Cabang Bandung) dan tokoh Sarekat Islam garis keras. Pencalonan Sukarno sebagai kandidat Ketua JIB pada Kongresnya yang ketiga diumumkan dalam Majalah Het Licht (Cahaya) milik JIB. JIB Bandung menjagokan Sukarno sebab pada masa itu Sukarno sering memberikan ceramah-ceramah tentang Islam dalam perpektif keindonesiaan. Namun tawaran tersebut kandas, sebab Sukarno pada tahun 1926-1927 berpisah jalan dengan ideologi gurunya, mengambil jalannya sendiri yakni jalan Nasionalisme-Radikal. Padahal Cokroaminoto berharap Sukarno menggantikan peranannya sebagai pemimpin Sarekat Islam.

Aktivitas pembelajaran Sukarno ketika aktif bergelut sebagai aktifis Trikoro Dharmo, dan Sarekat Islam di Surabaya, serta kelompok studi di Bandung telah membentuk pandangan dunia Sukarno menjadi semakin maju. Disinilah peranan guru sekaligus mertua beliau yaitu Cokroaminoto. Sukarno pernah bercerita bahwa ketika beliau dibawah asuhan Cokroaminoto, buku-buku yang berkaitan tentang Islam seperti beberapa buku karangan Theodore Lothrop Stoddard menjadi bacaan wajib dan harus dipresentasikan kembali oleh Sukarno dihadapan Cokroaminoto. Tidak hanya dengan tokoh-tokoh Islam, Sukarno juga berguru dengan para tokoh pemikir Marxis dan pejuang kebangsaan anti kolonialisme dan imperialisme. Dialektika pemikiran dari hasil pembelajaran dan kontemplasi Sukarno ketika masa mudanya telah membentuk manusia Sukarno yang sangat rasionalis.

Walaupun Sukarno sangat rasionalis, seperti halnya para reformis Islam lainnya, Ia tetap berpegang pada pijakan teks al Quran dan hadis. Pandangan seperti ini tidak terlepas dari pergolakan pemikiran Islam abad 18-20 dan keadaan dunia Islam yang pada saat itu mengalami degradasi terutama dalam ilmu pengetahuan.  Kontras dengan masa keemasan Islam pada abad pertengahan. Peradaban dunia Islam justru mengalami kemunduran akibat mandegnya keilmuan. “Islam itu kemajuan” dan “Islam harus mengejar zaman”, tulis Sukarno dalam “Surat-surat Islam dari Endeh”. Pintu ijtihad harus dibuka kembali, sebab menurut Sukarno sejak tertutupnya pintu ijtihad, dunia Islam mengalami titik balik menuju abad kegelapan, abad penuh takhayul. Sukarno mengajak kepada umat Islam untuk “Secepat-cepatnya mengawinkan agama dan ilmu. Inilah cara untuk bisa menemukan kembali Api Islam”, tegas Sukarno dalam amanatnya pada pembukaan Fakultas Hukum Islam (NU) di Sala tanggal 2 Oktober 1958. Hanya dengan ilmu pengetahuan, Islam akan kembali ke masa keemasannya yaitu periode ketika ilmu pengetahuan dan keimanan mengalami kemajuan.

Secara filosofi, pemikiran Islam Sukarno sejalan dengan pemikiran Ali Syariati, cendikiawan Muslim dari Iran. “Ilmu pengetahuan adalah kunci untuk menjadi manusia progresif”, demikian Syariati menguraikan filosofinya tentang penciptaan Adam (manusia). Menurut Syariati, perjalanan manusia dari being (basyar) menjadi becoming (ikhsan) tidak berhenti di sesuatu tetapi harus berlanjut dengan menjadi. Kalau tidak menjadi, manusia tidak berkembang. Tidak bergerak menuju kesempurnaan. Dalam al Quran diceritakan bahwa Adam diciptakan dari tanah dan Ruh Allah. Pada awal penciptaan Adam (manusia) berada pada titik netral, dan seiring perjalanan hidupnya manusia melakukan gerak evolusi, baik evolusi progresif menuju Ruh Allah maupun evolusi regresif menuju tanah yang bermakna kerendahan, stagnasi dan pasivitas mutlak. Untuk menuju pada kemuliaan dan kesempurnaan yang hakiki, kuncinya adalah ilmu. Manusia mendapatkan tugas di muka bumi untuk menjadi khalifah (pemimpin) akan memakmurkan bumi yang dibekali oleh Tuhan dengan tiga potensi dasar yaitu kesadaran diri, kehendak bebas dan kreatifitas. Manusia diundang oleh Tuhan untuk berubah dan mengubah menuju lebih baik. Caranya kenali dirimu dan ilmu sebagai modal untuk menuju kemajuan (progres).

Pada kesempatan yang lain, Sukarno berpendapat bahwa ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktek hidup manusia, atau prakteknya bangsa, atau praktek hidupnya dunia kemanusiaan. Tidak berbeda jauh dengan yang dikatakan oleh Imam al Ghazali: “Ilmu tanpa amal adalah gila dan pada masa yang sama, amalan tanpa ilmu merupakan suatu amalan yang tidak akan berlaku dan sia-sia.” Membangun adalah amal, demikian Sukarno menegaskan dalam amanat Maulid Nabi tahun 1959. Namun menurut Sukarno, membangun tidak asal membangun, “Jika nation building itu hanya urusan perut saja, itu sama saja dengan kehidupan yang thenguk-thenguk. Umat Muhammad bukan hanya menghendaki gorengan ayam terbang ke mulutnya (kisah Utara Kuru), umat Muhammad adalah umat yang bertempur, berjuang membanting tulang.”

Perlu ada pembaharuan dan perombakan total agar Islam kembali kepada masa kejayaannya. Umat Islam harus berani mereinterpretasi doktrin-doktrinnya yang ada dalam Islam guna melepaskan belenggu mereka dari kolonialisme-imperialisme Barat dan mengembalikan rasa percaya diri mereka mengejar ketertinggalan dari Barat. Caranya adalah seperti diutarakan oleh Sukarno dalam artikel Memudakan Pengertian Islam yang dipublikasikan dalam Majalah Panji Islam pada tahun 1940, “Marilah kita teruskan ajakannya pahlawan-pahlawan “rethinking of Islam” di negeri asing itu ketengahnya padang perjuangan Islam di negeri kita.”

Konsep rasionalisme dalam Islam menjadi obat penawar dekadensi umat Islam, mengingat pada masa puncak peradabannya, Islam berhasil merubah masa kegelapan Eropa (abad 1 hingga 15 masehi) menuju zaman pencerahan. Islam yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan telah berjasa pada kemajuan ilmu astronomi, aljabar, filsafat, ilmu hayat, ilmu sosial, dan lain sebagainya. Dengan mengembalikan rasionalisme, menurut Sukarno akan terbentuknya harmoni yang sejati antara otak dan hati, dan antara akal dan kepercayaan. Dengan mengangkat rasionalisme menjadi bintang penuntun maka Sukarno yakin akan terjadi perubahan dalam pola berpikir atau cara pandang umat Islam, yakni merdeka dalam berpikir. Sukarno juga dengan berani menegaskan bahwa rasionalisme juga tertuang dalam al Quran, “Sebab Allah sendiri di dalam Al-Quran berulang-ulang memerintah kita berbuat demikian itu. ‘Apa sebab kamu tidak berpikir’, ‘apa sebab kamu tidak menimbang’, ‘apa sebab kamu tidak renungkan’—itu adalah peringatan-peringatan Allah yang sering kita jumpai.”

Semangat rasionalisme dalam Islam pudar dikarenakan mereka telah salah menafsirkan doktrin Takdir. Umat Islam menganggap bahwa ketertindasan mereka dibawah hegemoni kolonialisme-imperialisme semata-mata ditentukan oleh Tuhan (fatalisme, predestinasi atau dalam Islam disebut dengan jabariyah.). Padahal menurut al Afghani dan Abduh, manusia mempunyai kehendak bebas (qadariyah) untuk merubah nasibnya.  Penyakit jabariyah dalam tubuh umat Islam mengakibatkan mereka tidak mau melawan kolonialisme-imperialisme karena mereka menyerah kepada takdir buta (jumud). Kejumudan berimplikasi kepada hilangnya semangat untuk menggunakan nalar atau rasio. Sehingga ilmu pengetahuan yang dulu menjadi simbol peradaban Islam mengalami kemunduran. Sukarno belajar dari para pembaharu Islam bahwa kebangkitan umat Islam dimulai dari kebangkitan nalarnya sendiri.

Rethinking of Islam atau interpretasi doktrin Islam bisa kita baca juga dalam Het evangelie van den daadyang menurut Sukarno adalah salah satu buku yang sangat briliant. Menurut pengarangnya, dekadensi umat Islam disebabkan karena mereka telah meninggalkan al Quran dan keliru menafsirkan beberapa doktrinnya. Ajaran Islam yang seharusnya memperbesar  “Power of Action” atau “Tenaga Perbuatan”, malah meninabobokan umat Islam. Khususnya dalam Bab VIII tentang Takdir, umat Islam tergelincir menjadi budak-budak asing karena salah menafsirkan takdir yang diartikan menjadi fatalisme. Padahal menurut Kamaluddin, doktrin Takdir harus juga dihubungkan dengan prinsip kemajuan manusia. Tuhan dalam surat al Baqarah ayat 286 mengajarkan bahwa keuntungan dan kerugianku adalah akibat langsung dari perbuatanku sendiri. Kebangkitan dan keruntuhan manusia adalah buah tangan manusia itu sendiri bukan dari manusia dan makhluk lain yang pada akhirnya menurut Kamaluddin jatuh pada kekufuran atau menuhankan Tuhan selain Tuhan.

Faktor lainnya yang berperan aktif di dalam melemahkan manusia yang terkukung oleh hegemoni bangsa asing, menurut Kamaluddin adalah konsep Maya dalam filsafat Hindu. Dunia dipandang sebagai khayalan, abstrak, tidak nyata, atau sekedar lamunan saja. Imperium Inggris menggunakan konsep ini untuk meracuni Rakyat India bahwa kesenangan duniawi termasuk kemerdekaan bukan sesuatu yang riil tetapi hanya khayalan atau maya belaka. Sehingga tidak ada kerugian yang dialami oleh bangsa India, ketika kesenangan duniawi dan kemerdekaannya dirampas oleh bangsa Inggris.

Kamaluddin mengajak umat Islam untuk menjadi “A Man of Action” manusia-manusia yang bertindak atau beraksi untuk merubah kedekadensian mereka dengan praktek perbuatan menggunakan “Power of Action”. Kebangkitan umat Islam menurut Kamaluddin, apabila umat Islam mempunyai “Will to Action” yaitu kemauan beramal atau kemauan untuk merubah nasibnya sendiri.  Pada akhirnya menurut Kamaluddin, manusia tidak boleh juga menuhankan konsep “Power of Action” karena tanpa adanya campur tangan Tuhan, segala perbuatan atau praktek hidup manusia menuju kemajuan tidak mungkin eksis. “Tuhanlah yang memberikan kekuatan bekerja, begitu juga memberikan bahan-bahan untuk dikerjakan”, demikian pandangan Kamaluddin. Konstruksi pemikiran para pembaharu Islam termasuk Kamaluddin diramu oleh Sukarno dan mensintesakannya dengan epistemologi Marxian untuk memperkuat epistemologi pemikirannya sendiri yakni “Ilmu Amaliah dan Amal Ilmiah”. [***]

Oleh: Darwin Iskandar | Alumnus Fakultas Ekonomi Beijing Jiatong University

Sumber : http://www.genial.id/read-news/rasionalisme-islam-pintu-masuk-ke-alam-pikiran-soekarno

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »