Artikel

Pribumisasi Islam Model Kiai Bisri

Haji Oemar Said Tjokroaminoto mempunyai dua orang sepupu, yaitu K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Wahab Chasbullah. Di samping itu, ia juga mempunyai menantu bemama Soekamo, di belakang hari terkenal dengan panggilan Bung Karno.

Sejak 1919, mereka bertiga, dan Soekrno, mendialogkan semangat kebangsaan dan agama Islam. Mereka membentuk klub diskusi pada 1919 yang dinamai Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran). Langkah tersebut merupakan kelanjutan dari tindakan lain, yaitu mendirikan Syarikat Islam Cabang Mekkah pada 1913.

K.H. M. Bisri Syansuri, ipar K.H. A. Wahab Chasbullah, tidak mau turut serta dalam memimpin SI Cabang Mekkah itu. Ia menyatakan bahwa ia sedang mengajukan permintaan izin tertulis dari gurunya, K.H. M. Hasyim Asy’ari di Tebuireng (Kabupaten Jombang).

Perang Dunia Pertama pada 1914 membuat mereka segera pulang ke Tanah Air. Perkecualian dalam hal ini adalah K.H. A. Wahab Chasbulah yang tinggal di Mekkah hingga 1917. Sementara itu, sang ipar, yakni K.H. M. Bisri Syansuri, sudah diberi tanah oleh mertuanya di Denanyar, Jombang untuk membuat pesantren dan tinggal di kompleks itu.

Ia dan sang ipar, K.H. A. Wahab Chasbullah, aktif mengikuti pengajian-pengajian yang didatangi K.H. Abdul Mu’ti, tokoh Muhammadiyah yang belakangan menjadi sesepuh GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) di kawasan Menteng, Jakarta.

Kalau orang ingin tetap kering dan tidak basah, padahal ia sering mengikuti orang yang kerjanya sehari-hari membawa orang lain ke kamar mandi, ia juga akan basah. Dari ucapan itu jelas bahwa “menjadi basah” adalah keadaan sehari-hari seseorang yang mengikutinya. Nah, orang yang tidak rasional mengharapkan keadaan kering dari orang lain yang hidupnya memang di tempat basah.

Penggunaan perumpamaan seperti inilah yang sering digunakan para ulama kiai di lingkungan pondok pesantren.

Tindakan tiga orang bersaudara sepupu itu kemudian diteruskan tiga orang kemenakan mereka, yakni K.H. A. Wahid Hasyim, K.H. A. Kahar Muzakir (di belakang hari menjadi ketua PP Muhammadiyah), dan H. Ahmad Djojosugito (pendiri Gerakan Ahmadiyah). Ketiga orang ini meneruskan upaya orangtua mereka itu dengan melanjutkan diskusi bulanan tentang agama Islam dan semangat kebangsaan.

Pada 1926, Nahdlatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya, juga merupakan upaya saling mendekatkan tokoh-tokoh pondok pesantren itu. Tak mengherankan jika NU Ialu benar-benar mengenal nasionalisme dalam segala aspeknya melalui diskusi-diskusi yang tidak pemah berhenti. Ini dilakukannya, seperti ajaran Islam yang dikenal melalui pondok pesantren. Inilah yang membedakannya dari lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya.

Ketika Soekarno belajar di Sekolah Tinggi Teknik di Bandung (sekarang dikenal dengan nama ITB: Institut Teknologi Bandung), ia kemudian menetap di sana dan menikahi Inggit Ganarsih yang ditinggalkannya di Jawa Timur. Namun, kondisi itu tidak menghentikan diskusi bulanan mereka dan tetap mendialogkan hubungan antara Islam dengan nasionalisme.

Kerja ini menunjukkan hasil ketika pada 1935 NU menyelenggarakan Muktamar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Dalam forum itu dibahas wajib atau tidak ada negara Islam di negeri ini. Jawabnya: tidak wajib. Ia tidak sekadar berbicara semau mereka, tetapi didasarkan pada nalar yang sehat dan sumber tertulis yang benar untuk itu, yaitu Bugyah al-Mustarsyidin.

Jalan pikiran forum itu adalah sebagai berikut: jika koionialis Belanda membiarkan kaum muslim di Indonesia melaksanakan ajaran Islam/syariah secara utuh tanpa ada larangan, ditakutkan kolonialis lain tidak akan seperti itu sikapnya. Yang terpenting bagi kita adalah kenyataan bahwa nasionalisme dalam hal ini menjadi bagian kehidupan kaum beragama Islam (kaum santri) dengan segala dialognya dengan kaum nasionalis.

Dengan keputusan muktamar tersebut, jalan dipermudah untuk menerima perumusan Pancasila oleh Bung Kamo pada 1 Juni 1945, disusul Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 seperti juga halnya penerimaan rumusan adil dan makmur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu disusul dengan berbagai upaya berlainan untuk merumuskan semangat kebangsaan kita sebagai bangsa dan negara hingga saat ini dan di kemudian hari.

Penulis artikel ini merasa bahwa mereka yang sektarian juga akan merumuskan apa yang mereka namakan semangat kebangsaan itu karena memang UUD 1945 memerintahkannya. Hal seperti itu akan berlangsung dan ujungnya pada tumbuhnya semangat kebangsaan yang satu. Sebab, awal lahirnya rumusan semangat kebangsaan kita sekarang ini juga dari yang kelompok kecil, yaitu dari “kesadaran” sebuah keluarga, akhirnya menjadi kesadaran sebuah bangsa dan negara.

Namun, hal itu tidak usah membuat kita heran karena memang demikian perkembangan sejarah selamanya. Ini juga dialami imperium Romawi dengan kisah Julius Caesar yang ditikam Brutus, semuanya wajar saja, bukan? (*)

Penulis : KH Abdurrahman Wahid | Pengasuh Ponpes Almunawaroh, Ciganjur, Jakarta
Sumber Artikel : Koran Sindo, 28 Maret 2008

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here