Artikel

Poligami Ala Rasulullah, Sunnah Nabi yang perlu kita teladani

Nabi Suci Muhammad saw. menikah untuk pertama kalinya pada usia 25 tahun. Beliau menikah dengan Khadijah, seorang janda berusia 40 tahun. Semua putra-putri Nabi Suci lahir dari Siti Khadijah, kecuali seorang putra bernama Ibrahim.

Khadijah meninggal lebih kurang tiga tahun sebelum Hijrah. Pada waktu itu, Nabi Suci berusia 50 tahun. Sehingga, selama 27 tahun penuh, Nabi Suci hanya beristri Khadijah seorang. Padahal, dalam adat kebiasaan di Tanah Arab kala itu, seorang suami biasanya beristri banyak.

Meninggalnya Khadijah membuat hati Nabi Suci terpukul. Melihat keadaan itu, istri salah seorang Sahabat menyarankan Nabi menikah dengan ‘Aisyah, putri Abu Bakar. Sebab, ia melihat ‘Aisyah sebagai wanita mulia, yang mempunyai sifat-sifat yang luar biasa.  Ia pun lantas meminangkannya ke Abu Bakar.

Tetapi ada dua persoalan yang harus dipecahkan. Pertama, Siti ‘Aisyah telah ditunangkan dengan Zubair. Sehingga, Abu Bakar tak dapat serta merta menyetujui lamaran itu, sebelum urusannya dengan Zubair selesai. Akan tetapi di kemudian hari Zubair sendiri memutuskan pertunangan itu, karena gelombongan permusuhan kaum kafir semakin besar, dan hal itu mempengaruhi juga Zubair, yang masih belum masuk Islam kala itu.

Persoalan kedua adalah anggapan bahwa ‘Aisyah kala itu belum cukup usia untuk menikah. Sehingga kemudian, pelaksanaan pernikahan pun ditangguhkan. Tetapi Nabi Suci tetap melangsungkan pertunangan dengan ‘Aisyah pada tanggal 9 Syawal tahun 10 Bi’tsah.

Dalam Kitab Ishabah fi Tamyizush-Shahabah karya Ibnu Hajar Al-Atsqalani, diterangkan bahwa usia ‘Aisyah lebih muda lima tahun dibandingkan Fatimah, putri Nabi Suci. Fatimah lahir pada tahun dimana Ka’bah tengah diperbaiki, yakni lima tahun sebelum Bi’tsah. Sehingga, Siti Aisyah saat dipertunangkan dengan Nabi Suci, berusia 13 tahun.

Siti ‘Aisyah sendiri meriwayatkan bahwa pada saat beliau menghafalkan surat Al-Qamar (Surat 54) yang baru saja diturunkan, beliau adalah gadis remaja yang masih suka bermain. Surat 54 diturunkan kurang lebih pada tahun kelima Bi’tsah.

Pernikahan Nabi Suci dan Siti ‘Aisyah secara resmi baru berlangsung pada tahun kedua Hijriah, lima tahun sesudah masa pertunangan itu. Sehingga Aisyah kala itu sudah berusia 18 tahun. Ini membuktikan bahwa riwayat Hadits yang menyatakan bahwa ‘Aisyah bertunangan pada usia 6 tahun dan kemudian menikah pasa usia 9 tahun adalah keliru.

Di tahun yang sama dengan pertunangannya dengan ‘Aisyah, Nabi Suci menikah dengan Saudah. Saudah sendirilah yang meminang Nabi Suci. Saudah adalah seorang janda yang ditinggal mati suaminya sepulang hijrah dari Abisenia. Ia ditinggal mati suaminya dalam keadaan tak berdaya, miskin, dan menanggung beberapa anak yatim.

Di tahun ketiga Hijriah, Nabi Suci menikahi Hafsah, putri Umar Ibn Khatab, yang ditinggal mati oleh suaminya, Khunais, yang gugur dalam Perang Badar. Di tahun yang sama, beliau juga menikahi Zainab, janda Abdullah bin Jahsy yang gugur dalam Perang Uhud. Lalu setahun kemudian, menikahi Ummi Salamah, janda Abu Salamah yang juga gugur di medan pertempuran.

Di tahun kelima Hijrah, Nabi Suci menikah dengan Zainab, janda Zaid bin Haritsah. Zainab adalah putri Umaimah binti Abdul Muthalib, bibi Nabi Suci sendiri.

Mulanya, Zainab diminta oleh Nabi Suci menikah dengan Zaid, budak belian yang telah menjadi anak angkat Nabi Suci. Meskipun pernikahan tetap dilangsungkan, tetapi Zainab maupun Umaimah, dan kerabat lainnya juga, tidak begitu suka dengan pernikahan itu. Mereka sebenarnya menghendaki Zainab menikah dengan Nabi Suci sendiri.

Pasalnya, dalam adat kebiasaan Arab kala itu, pernikahan antara bangsawan dan budak belian adalah sesuatu yang masih sangat tabu. Padahal, pernikahan itu memang dimaksudkan oleh Nabi Suci untuk menghapus adat kebiasan itu. Sehingga, pernikahan tidak melulu harus didasari oleh kesamaan derajat, keturunan dan status sosial yang setara.

Tetapi karena pernikahan antara Zainab dan Zaid tidak berlangsung baik, dan bahkan terus menerus menimbulkan perselisihan di antara kaum kerabat, akhirnya keduanya bercerai. Nabi Suci lantas menikahi Zainab, atas permintaan dari Umaimah dan kaum kerabat lainnya, sebagai pertanggung jawaban moral atas gagalnya pernikahan Zainab dan Zaid.

Masih di tahun kelima Hijrah, terjadi pertempuran antara kaum Muslimin dengan Bani Musthaliq. Kaum muslimin memenangkan pertempuran. Kaum muslimin pun memperoleh tawanan dari Bani Musthaliq, baik pria maupun wanita. Di antara mereka terdapat Juwariyah binti Harits, putri Pemimpin Bani Musthaliq. Sementara, suaminya telah mati dalam pertempuran.

Harits lantas menemui Nabi Suci, dan mengizinkan putrinya untuk dinikahi sebagai tebusan bagi para tawanan. Nabi Suci lantas membebaskan seluruh tawanan yang berjumlah hampir seratusan keluarga karena pernikahan itu.

Di tahun ketujuh Hijrah, Nabi Suci menikah dengan Ummi Habibah binti Abu Sufyan, janda Ubaidullah. Ummi Habibah dinikahi Nabi Suci setelah ia ditinggal mati oleh suaminya, yang sebelumnya mengungsi ke Abisenia dan telah memeluk agama Kristen.

Di tahun ini pula terjadi pertempuran antara kaum muslimin dengan kaum Yahudi di Khaibar. Kaum Muslimin berhasil menawan banyak tawanan. Di antaranya terdapat Safiyyah, puteri pemimpin suku Yahudi di Khaibar. Suaminya mati dalam Perang Khaibar ini. Nabi suci lantas menikahi Safiyyah, dengan tujuan mengakhiri perselisihan di antara kedua belah pihak.

Di tahun yang sama, Raja Mauquqis dari Mesir mempersembahkan banyak hadiah kepada Nabi Suci. Di antaranya terdapat seorang budak beliau bernama Mariyah Al-Qibtiyah. Budak ini kemudian dimerdekakan dan akhirnya dipersunting Nabi Suci. Darinya, Nabi Suci beroleh putera yang diberi nama Ibrahim. Sayangnya, di usia 19 bulan, Ibrahim wafat.

Dan di akhir tahun ketujuh hijriah ini, Nabi Suci menikasi seorang lagi janda bernama Maimunah, yang mengajukan pinangan kepadanya.

***

Dalam soal kehidupan rumah tangga, kehidupan Nabi Suci dapat dibagi menjadi empat periode. Periode pertama adalah masa membujang, dari kanak-kanak hingga usia 25 tahun. Periode kedua adalah masa monogami, menikah dengan satu istri, dari usia 25 sampai dengan 54 tahun. Periode ketiga adalah masa berpoligami, dari usia 54 sampai dengan 60 tahun. Dan periode keempat adalah masa tak lagi menikah, dimulai dari usia 60 tahun hingga wafat di usia 63 tahun.

Periode pertama menjadi tolak ukur apakah Nabi Suci menjadi budaknya nafsu atau tidak. Masa berkobarnya nafsu birahi terjadi pada usia muda. Orang yang dapat menguasai gejolak nafsu birahi di masa muda, tak mungkin jatuh sebagai korban syahwat di usia lanjut.

Pada periode ini, banyak kesaksian yang menyatakan bahwa Nabi Suci menjalani hidup dalam kesucian. Bahkan, kesaksian itu dinyatakan pula oleh orang-orang yang membenci dan memusuhi Nabi Suci. Muhammad muda dikenal sebagai orang yang nyaris tanpa noda dan cela. Beliau mendapat gelar al-Amin karena kejujuran serta keteguhannya dalam memegang amanah. Beliau juga dinilai sebagai sosok yang sopan tingkah lakunya dan santun tutur katanya, berbeda jauh dengan kebanyakan orang di zamannya.

Di periode kedua, ia menikah dengan Khadijah, seorang janda yang usianya terpaut 15 tahun di atasnya. Kehidupan rumah tangganya selama hampir 26 tahun bersama Khadijah berlangsung rukun dan penuh kasih sayang. Khadijah wafat pada waktu Nabi Suci berusia 50 tahun.

Nabi Suci adalah keturunan bangsawan Quraisy yang memiliki status sosial yang tinggi. Perkawinannya dengan Khadijah juga membuatnya bertambah kaya. Sekiranya mau, beliau tentu melakukan poligami, sebagaimana lumrah dilakukan oleh bangsawan Arab di masa itu. Lagipula, poligami seolah sudah menjadi adat kebiasaan yang mendarah daging di masyarakat Arab kala itu.

Tetapi nyatanya beliau tetap setia kepada Khadijah, istri beliau satu-satunya, hingga Khadijah wafat.

Barulah tak selang berapa lama, beliau menikahi Saudah. Itu pun semata untuk memberi penghormatan kepada Saudah, seorang janda yang meminangnya karena memiliki tanggungan banyak anak yatim. Suaminya meninggal saat hijrah ke Abisenia, untuk menghindari penganiayaan dari kaum Quraisy.

Dengan demikian, pernikahan Nabi Suci dari usia 25 hingga 54 tahun ini, mengisyaratkan contoh yang sudah seharusnya diteladani oleh para pengikut beliau. Monogami adalah aturan pokok dalam suatu perkawinan.

Periode ketiga kehidupan rumah tangga Nabi Suci dilatari oleh peristiwa hijrah dengan segala rangkaiannya. Di masa ini, terjadi banyak sekali peperangan antara kaum muslimin dengan kaum kafir Quraisy maupun kabilah Arab lainnya. Peperangan itu terjadi secara terus menerus hingga tahun ke delapan hijriyah. Pada masa inilah, Nabi Suci menjalankan poligami, dengan menikahi banyak perempuan.

Tetapi pernikahan-pernikahan Nabi Suci pada masa ini didasari oleh rasa iba dan belas kasih, bukan atas dasar hawa nafsu. Boswort Smith, seorang penulis Kristen, dalam Mohammad and Mohammadanism, menulis, “Motif poligami Muhammad sebagian besar disebabkan oleh rasa belas kasihnya kepada janda-janda yang seolah-olah tak memiliki pengharapan lagi dalam hidupnya. Hampir semuanya terdiri dari janda-janda yang tak menarik lagi secara lahiriah, baik dalam soal kecantikan maupun kekayaan.”

Tulisan Smith berdasarkan pada fakta. Tapak jejak perjalanan hidup Nabi Suci sedari bujang, menampilkan citra bahwa beliau bukanlah tipe lelaki yang gampang terjerat nafsu birahi dan syahwat duniawi. Tidak seperti umumnya laki-laki lain sebangsanya, dalam situasi adat budaya Arab yang sedemikian rupa itu, pada masanya.

Lagipua, sepeninggal Khadijah, Nabi Suci memperistri ‘Aisyah, satu-satunya perawan yang muda dan cantik. Tetapi sesudahnya, Nabi Suci menikah dengan banyak janda, yang keadaan lahiriahnya berbanding terbalik dengan ‘Aisyah.

Jadi sekali lagi, Nabi Suci berpolimagi tidak dengan menikahi perempuan-perempuan muda yang masih perawan dan cantik molek tidak terkira. Poligami Nabi Suci tidak didasari motif lain kecuali rasa iba dan belas kasih terhadap para janda tua yang tak berdaya, baik secara ekonomi maupun karena status sosial yang disandangnya.

Jadi, marilah kita ikuti Sunnah Nabi Suci Muhammad saw. dalam berpoligami yang semacam itu.

—————–
Ditulis ulang oleh Asgor Ali dari tulisan bersambung R. Soewindo S.H., saduran atas tulisan Maulana Muhammad Ali dalam buku Muhammad The Prophet. Judul Asli: Pernikahan dan Kehidupan Rumah Tangga Nabi Suci Muhammad saw. Sumber Artikel:  Warta Keluarga GAI No. 76-78/Maret-Juni 1977

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »