Diskursus

Teologi Islam: Dari Khawarij yang radikal sampai Ahmadiyah yang kontroversial

Sejarah Islam mencatat bahwa setiap kali muncul suatu pemikiran baru, lebih-lebih dalam bidang teologi, hampir selalu menimbulkan penolakan dari kelompok konservatif yang ingin tetap bertahan pada pemikiran lama yang dianggap absolut dan final. Kendati demikian kemunculan ide-ide baru itu selalu pula menunjukkan dinamika umat Islam ke arah kemajuan.

Oleh: Mulyono | Sekretaris PB GAI

Latar belakang munculnya persoalan menyangkut teologi untuk pertama kalinya sepeninggal Rasulullah Muhammad saw. adalah gagalnya upaya penyelesaian konflik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan pada Perang Shiffin melalui perundingan damai.

Menurut beberapa riwayat, dalam perundingan tersebut Amru bin ‘Ash, yang bertindak sebagai juru runding pihak Muawiyah, berhasil memperdaya Abu Musa Al-Asy’ari, yang memaksa Khalifah Ali menerima kekalahan diplomatik tersebut. Sekelompok pendukung Khalifah Ali menolak kekalahan itu dan membentuk barisan untuk menentang, baik kepada Khalifah Ali yang menerima kekalahan itu maupun Muawiyah.

Gerakan yang muncul karena motif politik ini menjadi lebih menguat dengan dimasukkannya doktrin keagamaan, yakni menyangkut perbuatan dosa besar yang telah dilakukan oleh Muawiyah yang menempatkannya pada kedudukan kafir. Tetapi bukan hanya Muawiyah yang mereka anggap telah berbuat dosa besar, melainkan Khalifah Ali pun demikian. Dengan begitu kelompok yang dalam sejarah dikenal sebagai Khawarij ini menempatkan Muawiyah dan Khalifah Ali sekaligus sebagai musuh mereka, bahkan orang-orang yang tidak sependapat dengan pendirian mereka pun dianggap sebagai musuh.

Meskipun sebagai sebuah gerakan politik dapat dilumpuhkan oleh pasukan Ali, namun sebagai sebuah aliran teologi telah berkembang, meskipun di belakang hari terpecah-pecah dalam beberapa aliran. Sebagai respons atas perkembangan teologi Khawarij yang bercorak radikal, muncul aliran teologi Murji’ah, yang moderat. Dalam pandangan Murji’ah, orang Islam yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun tentang pembalasan bagi dosa besar merupakan otoritas Allah di Hari Kemudian.

Teologi Murji’ah ini segera mendapat perlawanan dengan munculnya paham baru yang dikenal dengan nama Mu’tazilah, yang berpendapat bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa besar berada pada posisi tengah antara mukmin dan kafir (al-manzilah baina al-manzilatain). Ciri lain yang cukup menonjol pada aliran pemikiran Mu’tazilah adalah pemakaian rasio dalam pemahaman keagamaan, yang ditengarai terpengaruh oleh filsafat Yunani.

Dalam perkembangan selanjutnya muncul teologi Qadariyah yang berpendapat bahwa manusia memiliki kemerdekaan/kebebasan untuk berpikir dan berbuat. Aliran teologi ini tampaknya lebih sebagai pengembangan dari paham Mu’tazilah yang cenderung rasionalis. Munculnya aliran teologi Qadariyah segera mendapat perlawanan dengan munculnya paham Jabbariyah yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu tindakan selain sekedar mengikuti kehendak Tuhan; Tuhan-lah yang menciptakan kehendak manusia, sedangkan manusia sekedar mengikuti Kehendak itu.

Paham Jabbariyah tampak mendapat dukungan penguasa, meskipun lebih disebabkan alasan politik. Penguasa yang cenderung korup — bahkan oleh sementara pihak tdianggap elah berlaku zalim — seakan-akan memperoleh justifikasi agama melalui paham Jabbariyah ini.

Dengan semakin kuatnya pengaruh filsafat dan logika Yunani ke dalam pemikiran keagamaan Islam, paham Mu’tazilah relatif semakin berkembang. Tetapi Abu Hasal al-Asy’ari, yang setia selama 40 tahun berkhidmat dalam paham ini, secara mengejutkan, menyatakan keluar dari paham ini setelah ia mengaku melihat Nabi Muhammad saw. mencap paham Mu’tazilah sebagai ajaran sesat, dalam mimpinya.

Berbeda dengan paham Mu’tazilah yang bercorak rasionalistik, Abu Hasan al-Asy’ari membuang corak itu dan dalam pemahaman keagamaannya lebih banyak mengadopsi Sunnah Nabi saw. melalui teks-teks Hadits. Itulah makanya, di kemudian hari, ia dikenal sebagai pendiri madzhab teologi Ahlu Sunnah wal Jama’ah, yang di kalangan orientalis lebih populer dengan sebutan Sunni.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, di Persi muncul pula aliran pemikiran teologi yang dibangun oleh Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi, yang dikenal sebagai aliran Maturidiyah. Kecuali dalam sedikit hal, paham keagamaan Maturidiyah tidak jauh berbeda dengan paham Asy’ariyah, sebutan lain dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah.

Teologi Ahmadiyah

Munculnya paham Asy’ariyah dan Maturidiyah seolah-olah mengakhiri polemik teologis dalam Islam. Hal ini nampaknya lebih disebabkan oleh persoalan politik yang cukup menyita konsentrasi. Hegemoni Bani Abbasiyyah semakin melemah setelah mencapai puncak kejayaan di masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid.

Al-Makmun, meskipun masih cukup mampu mempertahankan kejayaan ayahnya, namun di masa pemerintahannya mulai timbul pemberontakan kelompok-kelompok tertentu, misalnya pemberontakan kelompok Khawarij di Khurasan dan Syi’ah di Bashrah.

Sepeninggal al-Makmun hampir tidak ada lagi karya-karya prestatif yang lahir dari umat Islam, baik dalam bidang keagamaan maupun keilmuan. Agaknya, hal inilah yang diisyaratkan oleh Qur’an Surat As-Sajdah[32] ayat 5, yang artinya “Ia mengatur perkara dari langit ke bumi; lalu itu naik kepada-Nya dalam suatu hari yang ukurannya seribu tahun menurut hitungan kamu.”

Maulana Muhammad Ali,1 menafsiri ayat itu sebagai berikut:

“Al-Amr atau Perkara ialah Perkara Islam; adapun yang dimaksud mengatur perkara dari langit ke bumi ialah, bahwa Perkara Islam itu datang dari langit dan akan berdiri tengak di bumi. Selanjutnya kita diberitahu bahwa Perkara itu akan naik kepada Allah dalam suatu hari yang ukurannya seribu tahun menurut hitungan manusia; ini berarti bahwa Islam akan mengalami kemunduran selama seribu tahun.

Adapun jangka waktu tegaknya Islam di bumi, kita diberitahu dalam Hadits bahwa Islam tetap murni selama tiga abad. Nabi Suci bersabda: “Generasi yang paling adalah generasiku, lalu generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya, lalu sesudahnya akan datang orang-orang yang menyombongkan diri karena banyaknya harta dan suka kepada kegemukan.” (Tirmidzi, 31: 39). Menurut Hadits lain lagi berbunyi: “Lalu sesudahnya akan datang orang-orang yang tak memiliki kebaikan.” (K.U. VI: 2068) ….

Bahwa ayat ini merupakan ramalan, diterangkan oleh ayat berikutnya yang berbunyi: “Demikianlah Tuhan Yang Maha-tahu barang yang kelihatan dan barang yang tak kelihatan.” Jadi ayat ini adalah ramalan tentang hari depan Islam. Ramalan ini diundangkan pada waktu tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Islam akan berdiri tegak di muka bumi; itu terjadi pada zaman Makkah pertengahan, tatkala perkara Islam tak berdaya sama sekali. ….

Bahwa perkara Islam akan terus mengalami kemajuan selama tiga abad, ini diuraikan seterang-terangnya dalam Hadits. Setelah itu, perkara Islam akan berpecah belah dan mengalami kemunduran, yang itu berlangsung terus selama seribu tahun. Dibatasinya jangka waktu pecah belah menunjukkan bahwa setelah jangka waktu itu habis, kemajuan Islam tidak akan mengalami hambatan lagi ….”[2]

Jika orang memperhatikan latar belakang paham keagamaan yang dianut oleh Maulana Muhammad Ali, maka penafsiran seperti tersebut di atas tampaknya sebagai implikasi atau bahkan dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari paham keagamaan Ahmadiyah yang dibangun oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1935 – 1908 M.) pada tahun 1890.

Paham keagamaan Ahmadiyah yang menyangkut masalah teologis di antaranya sebagai berikut:

Wahyu Ilahi
Menurut paham Ahmadiyah, wahyu Ilahi tidak berakhir dengan berakhirnya kenabian pada diri Nabi Muhammad saw. Sebagaimana Dzat Allah bersifat abadi, maka Kalam (berfirman) adalah sifat Allah yang abadi pula; demikian juga sifat-sifat lainnya. Pemahaman seperti ini didasarkan atas interpretasi sejumlah ayat Qur’an.

Pertama-tama, berulang kali dinyatakan dalam Qur’an bahwa setiap kali Allah menciptakan segala sesuatu dengan berfirman Kun fayakûn (Jadi, maka jadilah). Ayat-ayat ini diinterpretasikan oleh Ahmadiyah bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan firman-Nya. Secara teknis firman Allah sebagai dimaksud disebut wahyu. Wahyu Ilahi bukan hanya diberikan kepada manusia, melainkan diberikan pula kepada ciptaan Allah yang lain, sebagaimana dinyatakan dalam sejumlah ayat berikut ini:

  1. Wahyu kepada langit dan bumi dinyatakan dalam Surat Al-Fushilat [41]: 11-12 dengan kata-kata wa auhâ (dan Ia mewahyukan).
  2. Wahyu Ilahi kepada binatang dinyatakan dalam Surat Al-Anfal [16]: 68-68 dengan kata-kata wa auhâ Rabbuka (Dan Rabb dikau mewahyukan).
  3. Wahyu Ilahi kepada Malaikat dinyatakan dalam Surat An-Nahl [8]: 12 dengan kata-kata idzyûhî Rabbuka (Tatkala Rabb dikau mewahyukan).
  4. Wahyu Ilahi kepada manusia biasa (bukan nabi) dinyatakan dalam Surat Al-Qashash [28]: 7 dengan kata-kata wa auhainâ (Dan Kami wahyukan), demikian juga dalam Surat Al-Maidah [5]: 111 dengan kata-kata wa idz-auhaitu (Dan tatkala Aku wahyukan).
  5. Wahyu Ilahi kepada para nabi, dinyatakan dalam Surat Al-Anbiya’ [21]: 7 dengan kata-kata illâ rijâlan nûhî ilaihim (kecuali hanya laki-laki yang Kami berikan wahyu kepada mereka), dan juga dalam Surat An-Nisa’ [4]: 163 dengan kata-kata innâ auhainâ ilaika (Sesungguhnya Kami telah memberi wahyu kepada engkau).

Berkenaan dengan wahyu kepada manusia, Ahmadiyah mendasarkan pada interpretasi terhadap Surat Asy-Syura [42]: 51, yang di sana dinyatakan bahwa Allah berfirman melalui 3 (tiga) cara. Cara pertama disebut wahyan (wahyu), cara kedua disebut min warâ-i hijâbin (dari belakang tirai), dan cara ketiga disebut yursila rasûlan fayûhiya bi-idznihî (mengutus seorang Utusan dan mewahyukan dengan izin-Nya).

Cara pertama disebut wahyu, makna aslinya ialah al-isyaratu-s sari’ah (isyarat yang cepat), yakni bisikan dalam hati, yang secara teknis disebut ilham. Cara kedua disebut dari balik tirai, yakni mengalami atau melihat sesuatu atau mendengar suara ketika dalam keadaan setengah sadar (in trance), antara tidur dan jaga. Secara teknis cara kedua ini disebut ru’yah dan/atau kasyaf. Cara ketiga dengan mengutus Utusan, yakni Malaikat Jibril yang disebut juga Ruhul Qudus (Ruh Suci) dan Ruhul Amin (Ruh yang terpercaya).Cara ketiga ini diyakini Ahmadiyah hanya diberikan kepada para nabi Utusan Allah, yakni dengan membacakan firman-firman Allah kepada mereka, yang secara teknis disebut sebagai wahyu matluw (wahyu yang diucapkan/dibacakan), sedangkan dua cara sebelumnya disebut wahyu ghairu matluw atau wahyu khafi (wahyu batin).

Al-Qur’an, menurut paham Ahmadiyah, seluruh ayatnya merupakan bentuk wahyu jenis ketiga ini, yakni dengan cara yang sama dibacakan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Suci Muhammad saw. Dengan demikian seluruh ayat Al-Qur’an adalah bentuk wahyu yang paling tinggi dan hanya diberikan khusus kepada Nabi Suci Muhammad saw. Wahyu jenis pertama dan kedua dapat diberikan kepada manusia biasa dan juga kepada para nabi, sedangkan wahyu jenis ketiga hanya diberikan kepada para nabi.

Wahyu Ilahi tidak terhenti
Dengan pengertian seperti tersebut di atas, maka wahyu Ilahi dalam jenis pertama dan kedua tidak terhenti sampai kapan pun, tetapi wahyu Ilahi dalam jenis ketiga (wahyu matluw) telah berakhir pada diri Nabi Suci Muhammad saw. Hal tersebut karena adanya keyakinan bahwa Al-Qur’an telah mencapai puncak kesempurnaan sebagai petunjuk bagi manusia, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Al-Maidah [5]: 3.

Sedangkan wahyu Ilahi dalam bentuk yang pertama dan kedua masih terus berlangsung hingga sekarang dan seterusnya. Oleh karena itu dalam pengertian seperti inilah keyakinan orang-orang Ahmadiyah bahwa pendiri gerakan ini, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, menerima wahyu.

Wahyu matluw adalah wahyu Ilahi yang mengandung syariat, sedangkan wahyu khafi tidak mengandung syariat. Dengan kata lain, setiap nabi Utusan Allah dipastikan membawa syariat, entah banyak atau sedikit. Dalam konteks “pembawa syariat” maka kenabian telah berakhir pada diri Nabi Suci Muhammad saw.[3]

Mahdiisme Ahmadiyah
Tampaknya, keyakinan akan turunnya Imam Mahdi pada zaman akhir (menjelang Hari Kiyamat[?]) bukan monopoli Ahmadiyah. Dengan konsep kemahdian yang berbeda, paling tidak golongan Syi’ah juga meyakini hal itu.[4] Dalam konteks Ahmadiyah, Mahdi dan Masih adalah satu pribadi. Pendapat tersebut didasarkan pada Hadits Nabi saw. dalam riwayat Ibnu Majah yang mengatakan: “Lâ mahdiya illâ ‘îsâ” (Tidak ada Mahdi selain ‘Isa).

Selain mendakwahkan diri sebagai mujaddid (pembaharu/reformer), pendiri Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, juga mengaku sebagai personifikasi Ibnu Maryam (Nabi Isa). Sejumlah Hadits Nabi saw. memang memberikan informasi akan datang Nabi Isa tersebut5, salah satunya yang populer adalah dalam riwayat Imam Bukhari dengan kalimat: “Kaifa antum idzâ nazala-bnu maryam fîkum wa imâmukum minkum” (Bagaimana kamu jika Ibnu Maryam turun di tengah-tengah kamu dan menjadi (sebagai) imam kamu dari antara kamu).

Ahmadiyah memahami Hadits itu secara majazi (metaforis). Jelasnya, yang akan turun di tengah-tengah umat Islam bukanlah Nabi Isa a.s. yang pada awal tarikh Masehi diutus oleh Allah kepada bangsa Israel, melainkan berasal dari antara kaum Muslimin sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam kata-kata terakhir Hadits itu sebagai minkum (dari kamu atau dari antara kamu).

Paling tidak ada 3 (tiga) alasan yang dipakai sebagai argumentasi Ahmadiyah, yakni pertama, Nabi Isa a.s. telah wafat secara wajar, sebagaimana diisyaratkan, sekurang-kurangnya, dalam Surat Al-Maidah [5]: 117 dan Surat Ali Imran [3]: 144, dan sebagaimana dinyatakan dalam Surat Az-Zumar [39]: 42 dan Surat Al-Mukminun [23]: 100, orang yang sudah mati tidak akan hidup kembali sebelum Hari Kiyamat.

Kedua, Nabi Isa a.s. hanya diutus kepada bangsa Israel, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Ali-Imran [3]: 49 dan Surat Ash-Shaf [61]: 6. Ketiga, kata nazala (turun) — sebagaimana yang digunakan dalam Hadits yang sedang dibahas ini — tidak selalu harus diartikan turun dari atas ke bawah. Hal ini terang dari pernyataan dalam Surat Al-Hadid [57]: 25 yang menerangkan diturunkannya besi dengan kata-kata anzalna-l hadîd dan juga dalam Surat Al-Anfal [7]: 26 yang menerangkan diturunkannya pakaian dengan kata-kata anzalnâ ‘alaikum libâsan, padahal kedua jenis benda ini muncul dari bumi.

Doktrin jihad
Klaim sebagai Masih dan Mahdi bagi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad juga memiliki implikasi lain, misalnya tentang doktrin jihad. Sebagaimana sikap Nabi Isa a.s. yang tidak secara revolusioner menentang penjajah Romawi, maka pendiri Ahmadiyah ini juga tidak mengambil sikap revolusioner dalam mentang penjajah Inggris. Maka bisa dipahami kalau kemudian banyak pihak yang menuduhnya sebagai kaki tangan penjajah Inggris.

Tampaknya ia memang menolak pengertian jihad sama dengan perang. Menurutnya, jihad tidak sama atau selalu berarti perang. Jihad memang bisa dilaksanakan dengan cara mengangkat senjata bila terpenuhi syarat-syaratnya, seperti yang dinyatakan dalam Surat Al-Baqarah [2]: 190 dan Surat Al-Hajj [22]: 39-40. Maksudnya, kaum Muslimin baru diperkenankan mengangkat senjata bila diperangi oleh pihak musuh, dianiaya atau diusir dari rumah mereka karena alasan agama.

Ia menganggap bahwa musuh-musuh Islam pada saat ini tidak melancarkan serangan terhadap Islam dengan senjata fisik, melainkan dengan melalui tulisan-tulisan. Oleh karena itu cara melawan mereka pun harus dengan cara yang sama, yakni dengan menerbitkan buku-buku keislaman, dan terutama sekali al-Qur’an. Itulah makanya, sejak tahun 1901 Ahmadiyah telah menerbitkan majalah Islam berbahasa Inggris, dan sejak tahun 1917 telah menerbitkan terjemah dan tafsir Qur’an dalam bahasa Inggris pula, yang kemudian diikuti dengan penerjemahan ke bahasa-bahasa dunia lainnya, termasuk bahasa Indonesia.

Penutup

Sejarah Islam mencatat bahwa setiap kali muncul suatu pemikiran baru, lebih-lebih dalam bidang teologi, hampir selalu menimbulkan penolakan dari kelompok konservatif yang ingin tetap bertahan pada pemikiran lama yang dianggap absolut dan final. Kendati demikian kemunculan ide-ide baru itu selalu pula menunjukkan dinamika umat Islam ke arah kemajuan.

Hal ini paling tidak dapat kita saksikan pada kurun waktu lebih kurang tiga abad awal perkembangan Islam, yang meskipun boleh dikatakan tidak pernah sunyi dari persoalan keagamaan dan politik, namun Islam terus berkembang hingga mencapai puncak kejayaannya pada sekitar abad 10 Masehi. Namun setelah masa itu telah terjadi kevakuman (stagnasi) dalam pemikiran keagamaan, sebagai akibat kuatnya dominasi ulama terhadap umat. Sikap taqlid kepada ulama seakan-akan menjadi ciri khas umat Islam sejak zaman pertengahan sampai kurun waktu yang panjang.

Terlepas dari benar atau salahnya aliran pemikiran teologi Ahmadiyah, muncul dan kemudian ditolaknya pemikiran itu oleh mayoritas umat Islam, tampaknya merupakan fenomena terjadinya dinamika umat Islam kembali untuk menuju kemajuan. Penolak terhadap paham Ahmadiyah, dan bahkan pelarangan terhadap paham ini, hampir dapat dipastikan tidak akan mempunyai pengaruh apa-apa terhadap perkembangan paham keagamaan yang kontroversial ini, sebagaimana aliran pemikiran-aliran pemikiran sebelumnya. (Wallahu a’lam).

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »