ArtikelDiskursus

Perkara Ahmadiyah: Quo Vadis Kebebasan Berkeyakinan? (Bagian 4)

Presiden Soeharto, demikian juga menghargai eksistensi 2 Ahmadiyah, rujukannya boleh jadi teman seperjuangannya semasa Revolusi Kemerdekaan,  perwira santri bernama Muhammad Bahrun, seorang Muslim Ahmadi yang Pak Harto kenal dekat.

Tampak dalam foto di bawah, para perwira Divisi Diponegoro semasa Revolusi Kemerdekaan, dari kiri, Letkol Slamet Rijadi, Letkol Soeharto, sedang dari kanan, Letkol Ahmad Yani, Letkol Muhammad Bahrun dan Kolonel Gatot Soebroto.

Setelah Indonesia merdeka, Pak Bahrun menjadi Pangdam sedangkan Pak Harto mendampinginya sebagai Kasdam Divisi Diponegoro (1951-1956), jelas Pak Harto mengenal dekat atasannya waktu itu. Pak Bahrun, tentunya dikenalnya sebagai seorang perwira yang religius lulusan Pesantren Jamsaren dan Madrasah Mambaul ‘Ulum, Solo. Kemudian sama2 memasuki dinas militer Jepang, menjadi Gudantjo Deidan.

Kelak sebagai sesama perwira tinggi militer, [di kemudian hari, Pak Bahrun dipilih anggota Gerakan menjadi Ketua Umum Pedoman Besar GAi sepeninggal MD], dikenalnya memiliki keyakinan yang tegas: Kanjeng Nabi Muhammad adalah Nabi Penutup, tidak ada nabi2 lagi setelahnya; Semasa Revolusi Kemerdekaan, berjihad dengan pedang membela kemuliaan agama dan tanah air sebagai Patriot Pembela Tanah Air.

Di masa damai, berjihad dengan pena, menuntaskan terjemahan Qur’an tafsir Maulana Muhammad Ali, yang sebelumnya telah dirintis oleh Tjokroaminoto sekalipun baru Juz ‘Amma-nya saja. Terjemahan dan tafsir secara lengkap telah direview dan telah mendapatkan ijin Depag RI tgl 2 Juli 1971, sementara terjemahan Bahasa Jawa oleh M. Djojosoegito dan Mufti Sharif, ijin Depag diperoleh jauh sebelumnya tgl 3 Oktober 1958)

Adanya fatwa MUI yang pertama 1980 mengkafirkan Ahmadiyah pada masa Soeharto dulu, ya didengar saja sebagai wacana, cuman kebijakan Negara, harus didasarkan kepada ideologi Negara dan UU yang berlaku.

Semasa Bung Karno, jelas beliau ini mengadopsi faham Ahmadiyah Lahore, dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi, menentang pengeramatan HMGA sebagai Nabi (sebagaimana difahami kelompok Qadiani). Sementara Pak Harto, mendengar fatwa MUI 1980, dugaan saya [boleh jadi saya salah] orang Ahmadiyah yang beliau kenal adalah temannya semasa Revolusi perjuangan dulu Pak Bahrun, tidak ada klaim2an sebagai nabi atas diri HMGA [mungkin juga kurang memahami adanya perbedaan Lahore (GAi) – Qadiani (JAi)), maka dari itu, fatwanya yang menuding Ahmadiyah punya nabi baru, tidak digubris sama sekali.

Sekarang diributkan pasal penodaan agama, yang jadi pertanyaan bukankah pasal itu sudah ada sejak zaman Soekarno? Soekarno-nya saja pada waktu itu sungkem ke Mirza Wali Ahmad Baig di Pakistan. Zaman Pak Harto, seorang perwira tinggi TNI-AL Muslim Ahmadi dikaryakan sebagai Sekjen Depag, Laksda TNI-AL Drs. H. Bahrum Rangkuti (semasa kalau tidak salah ketika Menteri Agamanya Prof. Dr. Mukti Ali, note: saya agak lupa baca dimana)

Habib Rizieq (FPI) dalam artikelnya “Lima Perkara Tolak Ahmadiyah” (Republlika 29 Mei 2008), menuding Ahmadiyah sebagai pengkhianat dan antek penjajah, menuliskan

“Dalam sejarah perjuangan melawan penjajah Belanda, lnggris, Portugis dan Jepang di Indonesia tidak ada seorang Ahmadiyah pun yang terlibat. Adapun nama seorang Ahmadiyah yang disebut-sebut Shamsir Ali sebagai anggota Panitia Pemulihan Pemerintah RI dan mendapat Bintang Jasa Kehormatan dari Pemerintah RI masih harus diteliti dan diperiksa kebenarannya. Kalaupun benar, itu tidak berarti menjadi bukti kebenaran Ahmadiyah. Banyak antek penjajah saat menjelang kemerdekaan RI balik badan secara tiba2 untuk mendukung Pemerintah RI. Mereka menyalip di tikungan dan menjadi pahlawan kesiangan. Mereka pengkhianat yang mencari selamat dan manfaat.”

Tokoh2 pergerakan berlatar belakang Ahmadiyah yang disebut diatas merupakan fakta yang dengan sendirinya mematahkan tudingan Habib Rizieq (FPI), atau itu merupakan kesengajaan bagian dari fitnah/penghasutan untuk menimbulkan kebencian kepada Ahmadiyah? (mudah2an itu merupakan kebodohannya saja karena tidak sering membaca atau tidak mau tahu sejarah)

Kita sudah sangat tahu muara dan buah dari kebencian, segala tindakan2 perusakkan di muka bumi, hancurnya surau dan masjid2 Ahmadiyah, dibakarnya Madrasah beserta isinya Al-Qur’an di Sukabumi, tergerusnya rasa cinta kasih atas sesama anak bangsa dengan menganiaya tanpa pandang bulu terhadap ibu dan anak2 di Monas pada saat memperingati Hari Lahirnya Pancasila. Biarlah penegak hukum yang akan memeriksa kebenarannya.

Cukuplah tulisan Renungan Jum’at untuk hari ini, 6 Juni 2008, bertepatan dengan hari Ulang Tahun Soekarno, Bapak Pendiri Republik ini, yang tahu menghargai jasa2 Ahmadiyah bagi tegaknya kemerdekaan ibu pertiwi ini.[]

  • Penulis: Ahmad Setiawan Djojosoegito | Ketua Badan Urusan Hukum dan Hubungan Internasional PB GAI Masa Bakti 2019-2024
  • Bagian 1 | Bagian 2 | Bagian 3 | Bagian 4
Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here